Monday, January 19, 2015

RUKUN IMAN BAGI pecinta ahlulbait= konsep imamah

Oleh Budhi Setiyawan[1]



PENDAHULUAN
Semenjak meletusnya revolusi Iran tahun 1979 di bawah pimpinan Ayatullah Al-Imam Khomeini, Iran menjadi pusat perhatian dunia karena revolusinya yang sukses dan menggemparkan itu. Perhatian dunia pada Iran sekaligus identik dengan perhatian pada madzhab Syi’ah,[2] karena memang Iran merupakan kubu Syi’ah terbesar (mayoritas bangsa  Iran adalah beragama Islam Syi’ah madzhab Dua Belas Imam).[3] Namun karena silau memandang dan terpukau dengan semangat revolusioner Syi’ah, banyak yang terlupa dengan aqidah Syi’ah yang sebenarnya telah meleset dari rel aqidah Islam namun dibungkus dengan taqiyyah,[4] sebagai salah satu senjata muslihat yang paling ampuh untuk mempropagandakan aqidah mereka. Sampai sekarang, golongan Syi’ah banyak terdapat di India, Pakistan, Irak, Yaman dan terutama di Iran dimana Syi’ah menjadi madzhab resmi Negara.[5]
Jika kita menelaah lebih dalam, kita akan mendapati prinsip dan dasar yang pokok dalam madzhab Syi’ah Dua Belas Imamyaitu Imamah. Bahkan Imamah seperti halnya pokok agama (ushuluddin).Karena menurut mereka masalah tersebut adalah rangkaian kalimat tauhid. Barangsiapa tidak percaya kepada Imamah, ia sama dengan orang yangtidak percaya kepada kalimat syahadat. Sehingga perkataan para Imam merupakan hal yang wajib diikuti, sekalipun menyimpang dari ajaran agama. Dan konsep Imamah inilah yang memberi dampak sangat signifikan dalam seluruh ajaran Syi’ah Dua Belas Imam. Namun dikarenakan mereka masih menanti munculnya Imam kedua belas, Imam Mahdi Al-Muntazhar (Imam Mahdi yang ditunggu), seorang Imam yang muncul pada tahun 868 dan kemudian menghilang. Para pengikut Itsna Asyariyyah meyakini bahwa Imam Mahdi akan kembali untuk menghadapi dajjal dan akan membangun pemerintahan Islam. Selama masa penantian tersebut, Ayatullah Khomeini membentuk konsep yang dinamakan Wilayah al-Faqih sebagai konstitusi negaranya setelah revolusi 1979. Maka untuk mengetahui hakekat sebenarnya dari ajaran Syi’ah, dalam tulisan ini akan fokus membahas dua hal, pertama membahas konsep Imamah dan kedudukannya dalam ajaran Syi’ah Itsna ‘Asyariyah. Kedua menjelaskan implikasi konsep Imamah terhadap aqidah mereka. Dari kedua hal tersebut, pendapat Ulama Ahlu As-sunnah wa Al-jama’ah dijadikan sebagai acuan perbandingan secara proporsional.

DEFINISI IMAMAH
Imamah merupakan bahasa Arab yang berakar dari kata amma, menurut Ibnu Mandzur berarti yang berada di depan atau ketua.[6]Serupa dengan penjelasan dalam al-mu’jam asy-syamil limustholahat al-falsafah karya Dr. Abdul Mun’im Al-Hifny, imam ialah yang memiliki kekuasaan tertinggi didalam agama dan dunia, yang harus diikuti oleh seluruh umat.[7]Jadi, orang yang menjadi pemimpin harus selalu di depan untuk diteladani sebagai contoh. Kedudukan imam sama dengan penanggung jawab urusan umat.[8] Sedangkan menurut Muhammad Rasyid Ridho dalam bukunya Al Khilafah, kata Imamah, khilafah, serta amirul mukminin ketiganya mempunyai makna yang sama yaitu kepemimpinan satu pemerintahan Islam yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umatnya.[9]
Adapun pengertian Imamah menurut ulama Syi’ah, bahwa kepemimpinan spiritual atau rohani, pendidikan, agama dan politik bagi umat Islam telah ditentukan Allah secara turun-temurun (theo monarchi) sampai imam ke-12.[10] Sementara menurut al-Hilly, salah seorang ulama Syi’ah, imamah merupakan kepemimpinan umum dalam urusan dunia dan agama, oleh seseorang maupun beberapa orang, sebagai pengganti kepemimpinan Nabi SAW.[11] Muhammad Al-Husein Ali Kasyiful Ghita’, juga mengatakan dalam bukunya Ashlusy-Syi’ah wa Ushuluha, masalah Imamah merupakan dasar utama yang hanya dimiliki oleh Syi’ah Imamiyah dan menjadikan Syi’ah Imamiyah berbeda dari aliran-aliran dalam Islam lainnya. Ia adalah perbedaan yang bersifat dasar atau asasi, perbedaan lainnya hanya furu’iyah, tak ubahnya dengan perbedaan antarMadzahib (Hanafi, Syafi’i dan lain-lain). Lebih lanjut lagi, ia menyatakan bahwa Imamah semata-mata ialah anugerah Tuhan yang telah dipilih Allah dari zaman azali terhadap hambaNya, seperti Allah memilih Nabi dan memerintahkan kepada Nabi untuk menyampaikan kepada umat agar mereka mengikutinya. Syi’ah Imamiah berkeyakinan bahwa Allah telah memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menentukan ‘Ali r.a dan mengangkatnya sebagai pemimpin umat manusia setelah beliau.[12]
Berdasarkan tinjauan di atas dapat dikatakan bahwa konsepsi mengenai kepemimpinan dalam Islam memiliki makna lebih dari sekedar memimpin pada tataran konsepsi duniawi. Imamah ini menjadi prinsip dan dasar yang pokok dalam madzhab Syi’ah Dua Belas, seperti halnya pokok agama (ushuluddin)[13] karena menurut mereka masalah tersebut adalah rangkaian kalimat tauhid (Laa ilaaha illa Allah, Muhammad Rasulullah). Barangsiapa tidak percaya kepada Imamah, ia sama dengan orang tidak percaya kepada kalimat syahadat.
Dengan dimasukkannya Imamah (kepala negara dan pemerintahan) dalam bagian keimanan yang harus diyakini kebenarannya, tentu saja berlainan dengan Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Karena sesuai dengan metode pemahaman Ahlu Sunnah wal Jama’ah bahwa penetapan dasar aqidah menggunakan At-Taufiq bainan-naqli wal-‘aqli (Alqur’an, hadist dan An-Nazhar), maka dasar-dasar keimanan yang enam itu diambil sepenuhnya dari nash Alqur’an dan hadist-hadist Nabi SAW, terutama hadist yang dikenal dengan hadist Jibril.[14]
Maka pada paragraf selanjutnya akan dipaparkan dalil penetapan Imamah menurut Syi’ah dan bagaimana keyakinan mereka terhadap Imamah serta implikasinya dalam aqidah mereka.

DUA BELAS IMAM SYI’AH
Sebelum membahas tentang dalil penetapan Imamah, kita perlu mengetahui Imam-imam mereka. Syi’ah Itsna ‘Asyariyah berkeyakinan, ada 12 orang imam yang telah ditetapkan sesudah Rasulullah SAW dan mereka anggap ma’shum (terhindar dari dosa)Dan mereka-lah yang akan memimpin manusia sampai hari kiamat dan mereka itulah yang harus memerintah manusia sampai hari kiamat. Mereka adalah[15]:
1)     Ali bin Abi Thalib (Abu al Hasan) Bergelar “al Murtadla”. Lahir pada 10 tahun sebelum kenabian dan syahid pada tahun 40 Hijriyah. Khalifah Muslim keempat, sepupu dan anak mantu Rasulullah.
2)     Hasan bin Ali (Abu Muhammad) Bergelar “az Zaki”. Hidup antara tahun 3 – 50 Hijriyah. Putera Ali dan Fatimah.
3)     Husein bin Ali (Abu Abdillah) Bergelar “Penghulu para Syahid”. Hidup antara tahun 4 – 61 Hijriyah. Karakter yang paling disukai Syi’ah Iran, putera termuda Ali dan Fatimah.
4)     Ali bin Husein (Abu Muhammad) Hidup antara tahun tahun 38 – 95 Hijriyah. Putera dari Imam Husein, memiliki dua nama julukan: Sajjad (Ahli Sujud), dan Zein al-Abedin (penyembah terbaik)
5)     Muhammad bin Ali al Baqir (Abu Ja’far) Hidup antara tahun 57 – 114 Hijriyah. Putera Ali bin Husein, dipanggil baqir(secara harfiah berarti pembuka) karena ia secara kiasan membedah pelajaran Islam, memiliki otoritas yang memiliki pengetahuan dan tradisi Islam.
6)     Ja’far bin Muhammad ash Shadiq (Abu Abdillah) Hidup antara tahun 83 – 148 Hijriyah. Putera dari Muhammad bin Ali, bergelar Sadeq (kebenaran dan adil).
7)     Musa bin Ja’far al Kadzim (Abu Ibrahim) Hidup antara tahun 128 – 183 Hijriyah. Putera Imam Ja’far ash Shadiq, bergelar Kazem (menyembunyikan amarahnya)
8)     Ali bin Musa ar Ridla (Abu al Hasan) Hidup antara tahun 148 – 202/203 Hijriyah. Putera Musa al-kadzim, satu-satunya imam Syi’ah yang dimakamkan di Iran, di juluki Reza/Ridla(senang dan melawan)
9)     Muhammad bin Ali al Jawad (Abu Ja’far) Hidup antara tahun 195 – 220 Hijriyah. Putera imam Reza, memiliki gelar Javad /Jawad (Murah Hati)
10)  Ali Bin Muhammad al Hadi (Abu al Hasan) Hidup antara tahun 212 – 254 Hijriyah. Putera Imam Javad, memiliki julukan Hadi (penuntun).
11)  Hasan bin Ali al Askari (Abu Muhammad) Hidup antara tahun 232 – 260 Hijriyah. Putera imam Hadi, bergelarAsgari/askari (diawasi oleh kaum militan) karena ia dijaga secara ketat untuk memiliki keturunan.
12)  Muhammad bin Hasanal Mahdi (Abu al Qasim) Inilah yang disebut “Imam yang ghaib” dan “dinantikan kedatangannya” untuk menegakkan keadilan di muka bumi. Dikatakan bahwa “al Mahdi” (dijaga Allah) lahir pada tahun 256 Hijriyah mengalami “masa ghaib kecil (Ghaibah Shugra)” pada tahun 260 Hijriyah, dan “masa ghaib besar (Ghaibah Kubro)” pada tahun 329 Hijriyah. Ia hidup sampai hari kiamat sehingga bumi tidak sunyi dari Imam. Dan keimanan terhadap Imamah tidak sempurna kecuali dengan meyakini adanya Imam Mahdi. Ia merupakan orang yang dipercayai tidak dapat meninggal dan orang yang dijanjikan juru selamat agama Ibrahim. Ia dikenal dengan julukan Vali-yeAsr atau sahibal-Zaman (penguasa zaman)

ARGUMENTASI PENETAPAN IMAMAH
Syi’ah Itsna ‘Asyariyah berkeyakinan bahwa Nabi SAW telah menunjuk pengganti sepeninggal beliau. Melalui beberapa nash –secara eksplisit maupun implisit- Nabi SAW menetapkan Ali bin Abi Thalib sebagai Amirul Mu’minin, penerima amanat wahyu serta imam bagi manusia. Mereka berpendapat tentang keimanan Sayyidina Ali r.a sesudah Nabi SAW berdasar nash yang dhohir, penetapan yang benar, dengan tanpa ada yang menentang dengan sifat, bahkan isyarat dengan terang.[16] Beliau telah mengangkat dan membai’atnya sebagai Amirul Mu’minin pada hari Ghadir Khum. Rasulullah SAW juga menjelaskan bahwa para imam setelah Nabi adalah 12 orang imam yang nama-nama dan urutannya telah ditentukan.
Banyak ulama Syi’ah menyatakan bahwa peristiwa di Ghadir Khum merupakan bukti nyata pengangkatan Imam Ali sebagai penerus tampuk kepemimpinan pascawafatnya Nabi. Salah satunya ialah Athabthabai, seorang tokoh Syi’ah Ja’fariyah abad kedua puluh ini mengatakan bahwa alasan utama yang mendukung pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pertama ialah beberapa hadist peristiwa Haji Wada’ yang bersejarah di Ghadir Khum.[17] Dari hadist tersebut, sekiranya perlu untuk diteliti kembali bagaimana kualitas hadist tersebut ditinjau dari otentisitas sanad dan validitas matannya.Apakah hadist tersebut shahih dan bagaimana analisis hadist tentang riwayat kepemimpinan Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti Rasulullah SAW tersebut. Dengan harapan menjawab kesalahpahaman yang terjadi selama ini di kalangan umat Islam tentang kepemimpinan dalam sejarah khulafaurrasyidin.
Matan hadist yang diambil sesuai yang tertera dalam kitab aslinya, dengan menggunakan al-Mu’jam al-Hadist.[18] Berdasarkan keterangan dari mu’jam hanya didapatkan dua riwayat hadist, yang satu di kitab hadist Sunan al-Tirmidzi,[19] dan Musnad Ahmad ibn Hanbal,[20]
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الضُّبَعِىُّ عَنْ يَزِيدَ الرِّشْكِ عَنْ مُطَرِّفِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم جَيْشًا وَاسْتَعْمَلَ عَلَيْهِمْ عَلِىَّ بْنَ أَبِى طَالِبٍ فَمَضَى فِى السَّرِيَّةِ فَأَصَابَ جَارِيَةً فَأَنْكَرُوا عَلَيْهِ وَتَعَاقَدَ أَرْبَعَةٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالُوا إِذَا لَقِينَا رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَخْبَرْنَاهُ بِمَا صَنَعَ عَلِىٌّ وَكَانَ الْمُسْلِمُونَ إِذَا رَجَعُوا مِنَ السَّفَرِ بَدَءُوا بِرَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَسَلَّمُوا عَلَيْهِ ثُمَّ انْصَرَفُوا إِلَى رِحَالِهِمْ فَلَمَّا قَدِمَتِ السَّرِيَّةُ سَلَّمُوا عَلَى النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم فَقَامَ أَحَدُ الأَرْبَعَةِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَمْ تَرَ إِلَى عَلِىِّ بْنِ أَبِى طَالِبٍ صَنَعَ كَذَا وَكَذَا. فَأَعْرَضَ عَنْهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ثُمَّ قَامَ الثَّانِى فَقَالَ مِثْلَ مَقَالَتِهِ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ قَامَ إِلَيْهِ الثَّالِثُ فَقَالَ مِثْلَ مَقَالَتِهِ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ قَامَ الرَّابِعُ فَقَالَ مِثْلَ مَا قَالُوا فَأَقْبَلَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَالْغَضَبُ يُعْرَفُ فِى وَجْهِهِ فَقَالَ « مَا تُرِيدُونَ مِنْ عَلِىٍّ مَا تُرِيدُونَ مِنْ عَلِىٍّ مَا تُرِيدُونَ مِنْ عَلِىٍّ إِنَّ عَلِيًّا مِنِّى وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَلِىُّ كُلِّ مُؤْمِنٍ بَعْدِى – )رواه الترمذي(
“Menceritakan kepada kami dari Qutaibah, diceritakan dari Ja’far bin Sulaiman adh-Dhuba’i, dari Yazid Ar-Risyk, dari Mutharrif bin ‘Abdillah, dari Imran bin Husain berkata bahwa Rasulullah SAW. Mengutus (mengirimkan) bala tentara dan menjadikan Ali sebagai pimpinan perang. Ali melewati kawanan perang. Kemudian Ali berjima’ dengan salah satu tawanan wanita (budak). Kemudian para tentara mengingkari apa yang diperbuat oleh Ali. Ada empat orang sahabat yang saling bersepakat bahwa apabila kita berjumpa dengan Rasul maka kita akan mengadukan apa yang diperbuat oleh Ali. Kaum muslimin setelah mereka kembali dari perjalanan mereka menemui Rasul dan mengucapkan salam kepadanya. Kemudian melanjutkan perjalanan. Ketika rombongan perang itu sampai dan juga mengucapkan salam kepada Rasulullah, salah satu dari empat sahabat mengadu kepada Rasulullah SAW. “Apa pendapatmu wahai Rasulullah atas apa yang dilakukan Ali, dia berbuat demikian, demikian? Maka Rasulullah SAW berpaling dari sahabat tersebut. Kemudian sahabat yang kedua juga mengadukan hal serupa kepada Rasulullah SAW, kemudian Rasul berpaling.  Kemudian sahabat yang ketiga juga mengadukan hal serupa kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasul berpaling. Kemudian sahabat yang keempat juga mengadukan hal serupa kepada Rasulullah SAW, kemudian Rasul merespon, dan wajahnya menunjukkan kemarahan.” Apa yang engkau harapkan dari Ali, apa yang engkau harapkan dari Ali, apa yang engkau harapkan dari Ali? Sesungguhnya Ali dariku dan aku dari Ali, dan dia adalah pemimpin seluruh mu’min setelahnya” (HR. Tirmidzi)
Sedangkan Hadist yang sama juga didapati dari jalur Imam Ahmad ibn Hanbal melalui sumber yang sama yaitu Ja’far bin Sulaiman.
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ وَعَفَّانُ الْمَعْنَى وَهَذَا حَدِيثُ عَبْدِ الرَّزَّاقِ – قَالاَ ثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ قَالَ حَدَّثَنِى يَزِيدُ الرِّشْكُ عَنْ مُطَرِّفِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم سَرِيَّةً وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ عَلِىَّ بْنَ أَبِى طَالِبٍ فَأَحْدَثَ شَيْئاً فِى سَفَرِهِ فَتَعَاهَدَ  قَالَ عَفَّانُ فَتَعَاقَدَ  أَرْبَعَةٌ مِنْ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم أَنْ يَذْكُرُوا أَمْرَهُ لِرَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم. قَالَ عِمْرَانُ وَكُنَّا إِذَا قَدِمْنَا مِنْ سَفَرٍ بَدَأْنَا بِرَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَسَلَّمْنَا عَلَيْهِ. قَالَ فَدَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَامَ رَجُلٌ مِنْهُمْ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عَلِيًّا فَعَلَ كَذَا وَكَذَا . فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ قَامَ الثَّانِى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عَلِيًّا فَعَلَ كَذَا وَكَذَا. فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ قَامَ الثَّالِثُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عَلِيًّا فَعَلَ كَذَا وَكَذَا. فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ قَامَ الرَّابِعُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عَلِيًّا فَعَلَ كَذَا وَكَذَا. قَالَ فَأَقْبَلَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى الرَّابِعِ وَقَدْ تَغَيَّرَ وَجْهُهُ فَقَالَ « دَعُوا عَلِيًّا دَعُوا عَلِيًّا دَعُوا عَلِيًّا إِنَّ عَلِيًّا مِنِّى وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَلِىُّ كُلِّ مُؤْمِنٍ بَعْدِى   –  )رواه أحمد(
Sanad[21] hadist yang diteliti adalah yang melalui jalur hadist Imam Tirmidzi, sedangkan sanad hadist riwayat Imam Ahmad hanya sebagai pendukung hadist pertama. Penelitian hadits ini dimulai dari sanad terakhir dan  kemudian dilanjutkan pada perawi sebelumnya hingga sanad teratas yang menerima hadits langsung dari Nabi SAW. Jika dilihat dari sanad hadist yang telah diteliti di atas, maka tidak terdapat masalah besar pada kualitas perawi, (misal kadzdzab atau Dajjal), semua dikategorikan dalam perawi tsiqah dan shaduq.[22]Namun, perawi pada jalur hadist tersebut ditemukan seorang  perawi yang bermasalah, sehingga kualitas sanad tersebut perlu ditinjau kembali. Meskipun Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadist yang telah disampaikan di atas adalah Hasan Gharib.[23] Karena terdapat sedikit masalah pada perawi ke-2 (urutan terakhir) yaitu Ja’far bin Sulaiman yang bergelar Adh-Dhubba’i sebenarnya dapat dipercaya namun sikapnya cenderung berpihak pada riwayat-riwayat dari Syi’ah. Ada pendapat ulama hadist tentang persolan tersebut, seperti yang disebutkan dalam kitab tahdzibut Tahdzib dikatakan bahwa perawi yang tasayyu’ diterima riwayatnya, apabila hadist yang diriwayatkannya tidak berkenaan dengan ajaran yang mendukung aliran Syi’ah.Artinya hadist yang diriwayatkan oleh perawi Tasyayyu’ ditolak apabila riwayat tersebut berkenaan dengan Syi’ah.[24]
Berdasarkan penelitian kualitas dan persambungan sanad tersebut di atas, diketahui bahwa seluruh perawi yang terdapat dalam sanad Imam Tirmidzi yang menjadi penekanan inti dalam penelitian ini, perawinya tsiqah dan sanadnya bersambung mulai dari At-Tirmidzi selaku mukharrij sampai kepada ‘Imran bin Husain, selaku perawi pertama yang terkait langsung dengan Rasulullah SAW.
Dalam riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Tirmidzi ini, dari perawi terakhir yaitu Qutaibah, di sana akan terlihat bahwa Imam Tirmidzi tidak sebagai murid dari Qutaibah. Yang ada hanya Imam Ahmad ibn Hanbal sebagai murid Qutaibah. Mungkin menurut penulis dalam kasus ini Imam Tirmidzi mengambil Hadist dari Imam Ahmad bin Hanbal. Jika dilihat dari sanad dan matannya pun tidak ada perbedaan dari hadist yang dikeluarkan Imam Ahmad. Hanya perawi terakhir melalui jalur Hadist Imam Ahmad yang berbeda yaitu, bersumber dari ‘Abdur Razak dan Affan
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa sanad dari hadist Imam Tirmidzi ini bersambung, namun hadist tersebut bermasalah dari ada salah satu perawi yang Tasyayyu’. Maka dalam hal ini kita juga akan melihat bagaimana analisis terhadap matan hadist tersebut, untuk kemudian di akhir bisa disimpulkan.
Untuk menyelesaikan matan hadist yang dibahas tersebut di atas, mungkin perlu dilakukan peninjauan tentang kemungkinan adanya sisi bertentangan yang dikandung oleh matan hadist tersebut. Jika mengikuti pola analisis di atas kita akan menemukan bahwa ada riwayat lain dari hadist shahih yang juga membahas tentang persolan kepemimpinan setelah Rasulullah SAW. Di antaranya ada riwayat dari Ibnu Abbas, Imam Ahmad meriwayatkan,[25]
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا أَبِى عَنْ صَالِحٍ قَالَ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ أَخْبَرَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ عَلِىَّ بْنَ أَبِى طَالِبٍ خَرَجَ مِنْ عِنْدِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِى وَجَعِهِ الَّذِى تُوُفِّىَ فِيهِ فَقَالَ النَّاسُ يَا أَبَا حَسَنٍ كَيْفَ أَصْبَحَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ أَصْبَحَ بِحَمْدِ اللَّهِ بَارِئاً. قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فَأَخَذَ بِيَدِهِ عَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ أَلاَ تَرَى أَنْتَ وَاللَّهِ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم سَيُتَوَفَّى فِى وَجَعِهِ هَذَا إِنِّى أَعْرِفُ وُجُوهَ بَنِى عَبْدِ الْمُطَّلِبِ عِنْدَ الْمَوْتِ فَاذْهَبْ بِنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَلْنَسْأَلْهُ فِيمَنْ هَذَا الأَمْرُ فَإِنْ كَانَ فِينَا عَلِمْنَا ذَلِكَ وَإِنْ كَانَ فِى غَيْرِنَا كَلَّمْنَاهُ فَأَوْصَى بِنَا. فَقَالَ عَلِىٌّ وَاللَّهِ لَئِنْ سَأَلْنَاهَا رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَمَنَعَنَاهَا لاَ يُعْطِينَاهَا النَّاسُ أَبَداً فَوَاللَّهِ لاَ أَسْأَلُهُ أَبَداً. ( رواه أحمد)
“Ali bin Abi Thalib keluar dari sisi Rasulullah SAW ketika sakit beliau parah. Maka orang-orang (sahabat) bertanya, ‘Wahai Abu Hasan, bagaimanakah kondisi Rasulullah SAW?’Ali menjawab, ‘Alhamdulillah, beliau telah membaik. “Ibnu Abbas berkata, “Maka Abbas bin Abdul Muthalib memegang tangan Ali dan berkata, “Bagaimana pendapatmu? Demi Allah, saya melihat wajah bani Abdul Muthalib layu apabila beliau meninggal. Maka pergilah bersama kami kepada Rasulullah untuk menanyakan tentang siapakah yang akan diserahi kepemimpinan setelahnya? Jika itu dalam tangan kita, maka akan kita terima. Dan jika di tangan selain kita, maka kita akan menyampaikan kepada beliau untuk mewasiatkan kepada kita.“ Ali berkata, “Demi Allah, jika kami meminta kepada Rasulullah SAW lalu menolaknya, maka orang-orang tidak akan memberikannya kepada kita. Demi Allah, kami tidak akan meminta hal itu kepadanya.” (HR. Ahmad).
Riwayat tersebut sangat jelas menggambarkan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib tidak punya ambisi untuk menjadi khalifah setelah Rasulullah SAW wafat. Hal ini terlihat dari penolakannya atas bujukan Abbas bin Abdul Muthalib supaya meminta kepemimpinan diwasiatkan kepada Ali bin Abi Thalib.
Selain dari riwayat lain di atas, Penambahan ‘بَعْدِى‘ pada hadist yang dibahas
إِنَّ عَلِيًّا مِنِّى وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَلِىُّ كُلِّ مُؤْمِنٍ بَعْدِى  menunjukkan kerancuan berfikir kelompok Syi’ah.[26] Hal ini diperkuat oleh beberapa riwayat yang disebutkan Ahmad bin Hanbal sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْنٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِى غَنِيَّةَ عَنِ الْحَكَمِ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ بُرَيْدَةَ قَالَ غَزَوْتُ مَعَ عَلِىٍّ الْيَمَنَ فَرَأَيْتُ مِنْهُ جَفْوَةً فَلَمَّا قَدِمْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ذَكَرْتُ عَلِيًّا فَتَنَقَّصْتُهُ فَرَأَيْتُ وَجْهَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَتَغَيَّرُ فَقَالَ « يَا بُرَيْدَةُ أَلَسْتُ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ ». قُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ مَنْ كُنْتُ مَوْلاَهُ فَعَلِىٌّ مَوْلاَهُ.[27]
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِى سَرِيَّةٍ. قَالَ لَمَّا قَدِمْنَا قَالَ « كَيْفَ رَأَيْتُمْ صَحَابَةَ صَاحِبِكُمْ ». قَالَ فَإِمَّا شَكَوْتُهُ أَوْ شَكَاهُ غَيْرِى. قَالَ فَرَفَعْتُ رَأْسِى وَكُنْتُ رَجُلاً مِكْبَاباً. قَالَ فَإِذَا النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم قَدِ احْمَرَّ وَجْهُهُ. قَالَ وَهُوَ يَقُولُ  مَنْ كُنْتُ وَلِيَّهُ فَعَلِىٌّ وَلِيُّهُ[28]
Berdasarkan keterangan di atas disimpulkan bahwa penambahan kata “بَعْدِى“ tertolak. Dengan demikian pendapat Syi’ah yang mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah pengganti tunggal Rasul juga tertolak. Menurut Ibnu Taimiyah, riwayat yang menyatakan, “Dia pemimpin umat setelahku” adalah sebuah kebohongan yang ditujukan pada Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi maksud hadist tersebut adalah bahwa “Ali kekasih umat Islam, dan umat Islam juga menjadi kekasih Ali, hal ini berlaku baik ketika hidup atau sepeninggalnya (Rasulullah SAW).”[29]
Jadi  penjelasan tentang matan hadist tersebut adalah bahwa kata وَلِىُّyang dimaksud bukan pemimpin tapi orang yang dikasihi. Dan menurut Imam Tirmidzi, hadist di atas adalah hadist Marfu’ karena sanad bersambung langsung dengan Rasulullah SAW. Menurutnya, berdasarkan sanad yang bersambung dan juga tidak didapatkan perawi yang cacat, maka secara kualitas hadist ini adalah Hasan Gharib.[30] Dikatakan Gharib karena hanya memiliki satu jalur riwayat hadist yang menyendiri. Hadist hasan gharib ini bisa diterima jika dari sanad dan matannya tidak mengandung masalah. Meskipun hadist yang dibahas berstatus hasan, namun keberadaan hadist-hadist yang diriwayatkan Imam Ahmad -yang disebutkan dalam pembahasan sebelumnya- sebagai penjelas (syarah) terhadap hadist tersebut. Dengan demikian, kesimpulan bahwa tidak ada kata “ba’dii” jelas dapat diterima.
Berdasarkan penelitian hadist tentang kepemimpinan Ali r.a tersebut, dapat disimpulkan bahwa hadist tersebut jika dilihat dari kualitasnya adalah Hasan Gharib. Meskipun di dalamnya terdapat perawi Tasyayyu’, namun hadist ini telah disyarah oleh hadist lain yang shahih sekaligus menjelaskan dengan sempurna makna hadist tersebut.
Jika merujuk pada pendapat Imam Ahmad, maka jelas terlihat bahwa hadist tersebut tertolak berdasarkan riwayat  lain yang juga terdapat dalam kitab musnadnya. Dan memungkinkan hadist tersebut telah dimansukh oleh hadist yang menjelaskan hadist yang menjadi fokus dalam pembahasan ini.

KEDUDUKAN IMAMAH
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa Imamah dalam pandangan Syi’ah tidak hanya merupakan suatu sistem pemerintahan, tetapi juga rancangan Tuhan yang absolut dan menjadi dasar syariat, yang kepercayaan kepadanya dianggap sebagai penegas keimanan. Oleh karena itu Syi’ah berpendapat bahwa Imamah merupakan bagian dari ushuluddin, yang mana tidak akan sempurna keimanan kecuali dengan keyakinan terhadap Imamah. Mereka juga berkeyakinan bahwasanya imamah sama seperti kenabian,[31] lutf (petunjuk) dari Allah SWT dan sudah menjadi keharusan di dalam setiap zaman ada seorang Imam sebagai penerus tugas kenabian dalam memberi petunjuk kepada umatnya. Para Imam juga memiliki hak-hak Nabi dalam memimpin manusia untuk mengurus berbagai permasalahan mereka, menegakkan keadilan dan menghilangkan kezaliman dan permusuhan di antara mereka.
Sebagian ulama Syi’ah menyatakan bahwa Imamah merupakan estafet dari kenabian, dan dalil yang menetapkan diutusnya Nabi dan Rasul  juga menetapkan diutusnya seorang Imam setelah Rasul.[32]Senada dengan hal itu, Ali Kasyifu al-Ghita’ juga menyatakan bahwa Imamah itu merupakan kedudukan Ilahiyah (manshobun ilahiyyun) seperti halnya kenabian. Allah-lah yang memilih para Imam, sebagaimana Allah berkehendak untuk memilih seorang Nabi dan memberikan mu’jizat kepada para Nabi.[33] Oleh sebab itu, teramat sulit bagi manusia untuk membedakan antara Nabi dan Imam.[34]
Pendapat yang lain mengatakan, barangsiapa tidak mempercayai Imamah dianggap kafir bahkan lebih buruk daripada mengingkari kenabian. Hal ini dikarenakan masih memungkinkannya sebuah zaman tanpa adanya seorang Nabi, tidak seperti halnya Imam yang selalu ada di setiap zaman. Karena Imamah merupakan petunjuk yang lebih umum (lutf ‘am), sedangkan kenabian hanya petunjuk khusus (lutf khos).[35]Adapun dalam beberapa kitab Syi’ah disebutkan perbedaan antara Rasul, Nabi dan Imam. Seperti dalam kitab awailu al-maqalat karya Al-Mufid, bahwa Rasul ialah seseorang yang turun Jibril kepadanya dan ia melihatnya serta mendengar perkataannya, kemudian turunlah wahyu. Dan Nabi ialah seseorang yang melihat jibril dalam mimpi dan mendengar perkataannya. Sedangkan Imam mendengar perkataan Jibril akan tetapi tidak melihatnya di dalam mimpi maupun secara langsung.[36]
Maka dapat disimpulkan bahwa Imamah menurut Syi’ah Imamiyah berada di luar otoritas manusia. Lebih dari itu, Ibnu Babawie al-Qummi, yang lebih dikenal dengan as-Shaduq, berpendapat bahwa iman kepada kenabian Muhammad SAW tidak ada artinya jika tidak dibarengi dengan keimanan kepada Imamah. Karenanya, Imam tak dapat dipilih berdasarkan keputusan manusia. Seperti Nabi SAW, Imam ditunjuk berdasarkan ketetapan Allah Swt. Bedanya, Nabi berhubungan langsung dengan Allah Swt, sedangkan Imam diangkat oleh Nabi SAW setelah mendapat perintah dari Allah Swt.[37] Jadi posisi para Imam identik dengan posisi kenabian.[38] Bahkan ada yang beranggapan bahwa Imam lebih tinggi derajatnya daripada Nabi.[39]
Oleh karena itu, Imam yang menggantikan Nabi SAW bukanlah sembarang orang, tetapi harus memiliki sejumlah sifat yang dimiliki Nabi SAW. Dan persyaratan menjadi Imam tidak cukup harus seorang Quraisy, seperti yang diyakini sahabat ketika itu, tetapi harus pula memiliki syarat-syarat lain, yaitu ‘ismah (bebasnya para Imam dari kesalahan dan dosa atau  kemampuan menjaga diri dari dosa walau sekecil apapun) dan ilm (ilmu yang sempurna).[40] Imamah yang memiliki sifat ‘ismah itu perlu, karena syariat tidak akan dapat berjalan tanpa adanya kekuasaan mutlak yang berfungsi memelihara serta menafsirkan pengertian yang benar dan murni (tanpa melakukan kesalahan) terhadap syariat itu. Begitu pula dengan ilmu imam, mestilah suci dan bersifat hudhuri (kehadiran langsung objek ilmu) dan syuhudi (tersaksikan dengan mata batin) atau bantuan gaib dan taufik ilahiah. Selain itu, struktur jasmani, otak serta urat syaraf, dan potensi ilmiah para imam sempurna dan senantiasa mendapat pertolongan ilahi. Semua itu, mutlak diperlukan untuk sampainya pesan-pesan ilahi secara jelas dan sempurna, tanpa cacat dan kesalahan.[41] Jadi bagi Syi’ah, orang yang memenuhi syarat untuk berperan sebagai penafsir hukum Tuhan hanyalah perantara ‘supra manusiawi’ yang diberi petunjuk oleh pencipta hukum tersebut, yaitu para Imam. Karenanya, Syi’ah mengembangkan teori tentang Imamah sesuai dengan ketentuan imam yang dipilih oleh Tuhan dan bukan hasil pilihan umat manusia.[42]
Mengenai penetepan Imamah, ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah, salah satunya Asy-syahrastani, menyatakan bahwa Imamah ditetapkan dengan musyawarah, pemilihan, pendapat dan ijma’, bukan dengan pengangkatan dan penunjukkan (Allah dan RasulNya / Nash wa Ta’ayun).[43] Karena Imamah bukanlah termasuk kategori ushuluddin, tetapi masalah furu’iyyah. Memang sebagian besar ulama Ahlu Sunnah mengharuskan imam berasal dari keturunan Quraisy, tetapi pendapat ulama mutaakhirin (abad IV dan sesudahnya) tidak mensyaratkan nasab tersebut. Dan juga syarat seorang imam ialah wujud (ada), bukan tersembunyi  dan juga bukan ditunggu. Tidak diisyaratkan harus ma’shum, namun seorang imam diharuskan memiliki ilmu pengetahuan, kemampuan dan sempurna anggota badan.[44] Namun apabila Syi’ah berpendapat imam itu haruslah ma’shum (terbebas dari dosa besar maupun dosa kecil), apakah mereka tidak memahami firman Allah SWT dalam surat ‘Abasa, bahwa seorang Nabipun pernah melakukan kesalahan dan mendapat teguran dari Allah karena mengabaikan seorang Ibnu Maktum yang buta.
Selain itu, Muhammad bin Ya’qub Al-Kulainy, pakar hadist Syi’ah, meriwayatkan sejumlah hadits yang menunjukkan bahwa Imamah merupakan rukun Islam terbesar.[45] Ia pun menambahkan bahwa Imamah yang paling utama, sebab ia kunci dari yang lainnya, sementara seorang imam adalah pemandu.[46] Jadi, barangsiapa yang meninggal dan tidak mengetahui Imam, maka mereka itu meninggal dalam kebodohan (maata maitatan jaahiliyyah).[47] Ia pun menjelaskan beberapa kelebihan para Imam dan menuliskan bab khusus tentang hal tersebut, seperti sesungguhnya bumi tidak pernah sunyi daripada al-hujjah (imam) sebanyak 13 riwayat, sesungguhnya para imam adalah saksi-saksi Allah ke atas makhluk-Nya 5 riwayat, sesungguhnya para imam a.s adalah uli amri llahi dan penyimpan ilmu-Nya 6 riwayat, sesungguhnya para imam a.s adalah khalifah Allah SAW di bumi-nya dan pintu-pintu-nya yang didatangi 3 riwayat, sesungguhnya para imam a.s di sisi mereka semua kitab yang diturunkan oleh Allah SAW dan sesungguhnya mereka mengetahuinya sekalipun bahasanya berbeda 2 riwayat, sesungguhnya tidak seorangpun yang telah mengumpulkan al-qur’an kesemuanya melainkan para imam a.s. sesungguhnya mereka mengetahui semua ilmuNya 6 riwayat, tanda-tanda para Nabi a.s dimiliki oleh para imam a.s 5 riwayat, sesungguhnya para imam a.s mengetahui semua ilmu yang telah keluar kepada malaikat, para nabi dan para rasul a.s 4 riwayat, sesungguhnya para imam a.s mengetahui bila mereka akan mati dan sesungguhnya mereka tidak akan mati melainkan dengan pilihan mereka sendiri 8 riwayat.[48] Itulah beberapa kelebihan para Imam yang tertulis dalam kitab Al-Kaafi dan sebagian lainnya dalam kitab Bihar al-Anwar.
Dalam pandangan ahlu as-sunnah dan hampir seluruh kelompok dan sekte Islam sepakat bahwa imamah (kepemimpinan) merupakan kebutuhan kemanusiaan serta kewajiban agama, dimana tidak mungkin sebuah masyarakat dimana saja mereka berada dapat menjalani kehidupan mereka secara ideal kecuali di bawah naungan sebuah negara atau pemerintahan. Karena dalam sebuah masyarakat pasti dibutuhkan pemimpin yang akan memimpin dan mengatur seluruh urusan rakyatnya.Namun Syi’ah Imamiah mengatakan bahwa Imamah merupakan kewajiban ketuhanan dan salah satu rukun iman. Dengan kata lain, mengangkat imam merupakan kewajiban bagi Allah, sebagaimana dikatakan oleh al-Hilly. Dan jika kita perhatikan pemaparan tentang kelebihan para imam di atas, dapat kita simpulkan bagaimana sikap mereka yang berlebihan (Al-Ghuluw) terhadap para Imam. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari penetapan Imamah sebagai salah satu aqidah Syi’ah Imamiah. Sikap tersebut mendesain dan berimplikasi terhadap seluruh pandangan-pandangan Syi’ah lainnya.

IMPLIKASI AQIDAH IMAMAH
Telah disebutkan sebelumnya bahwa Syi’ah Itsna ‘Asyariyah berkeyakinan bahwa Imamah (kepemimpinan) dua belas imam telah ditunjuk melalui nash wa-l-washiyyah (naskah tertulis serta wasiat).Keyakinan inilah yang kemudian menjadi pangkal bagi konsepsi dan keyakinan-keyakinan yang lain. Dengan kata lain, konsep Imamah merupakan konsep pokok dalam pemikiran Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, sementara konsepsi yang lainnya merupakan konsepsi pendukung yang merupakan implikasi dari konsepsi pokok, yaitu Imamah.
Pengaruh Imamah secara eksplisit lebih menonjol dalam kegiatan dan moralitas Syi’ah, sehingga mewarnai semua ajarannya seperti aqidah, syariah dan tasawuf. Imamah menjadi sumber penafsiran Al-Quran, penjelasan hadits dan sumber kekuasaan setelah Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Implikasi konsepsi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :


No comments:

Post a Comment