NIKAH MUT’AH JELAS DILAKUKAN DI ZAMAN
RASULULLAH SAWW, ZAMAN ABU BAKAR DAN SEBAGIAN DI ZAMAN UMAR
.
Pertanyaan
yang cukup menyentak dari ulama syiah adalah dalam ajaran Islam dikenal konsep
poligami. Lalu apakah dengan serta merta umat Islam mempraktikkan poligami. Dia
bertanya, apakah Anda dari Sunni yang menganggap sah poligami, lalu Anda bisa
melihat begitu mudah orang mempraktikkannya. Demikian pula dengan konsep
nikah Mut’ah pada masyarakat Syiah. Jawaban reflektif dia cukup menjadi bahan
renungan bagi saya bagaimana sebuah ajaran dipengaruhi oleh faktor-faktor dan
varian tradisi dalam masyarakat yang begitu kompleks dan bisa saja masyarakat
lain menyederhanakan ajaran itu tanpa melihat pemaknaan ajaran itu ketika
terbumikan di masyarakat mereka.
tangisilah
salah satu sahabat besar Rasulullah SAWW, Zubair bin Awwam, seorang sahabat
yang terkenal keberaniannya, suami Asma’ binti Abu Bakar, khalifah pertama.
Perkawinan mereka dilakukan melalui kawin mut’ah yang melahirkan Abdullah dan
urwah bin Zubair. Juga banyak sahabat yang lain, sebagaimana tercatat dalam
buku-buku tarikh Sunni kita. Mengapa anda tidak sekaligus mengkritik Rasulullah
karena ‘mengizinkan’ perkawinan mut’ah tersebut dan mengapa Rasulullah SAWW
tidak menangisinya?1
Mengenai kawin
mut’ah, Umar melarangnya, tetapi ayat Al-Quran tidak dapat dibuang. Islam tidak
mengajarkan kita untuk mengawini tiap wanita yang kita temui di jalan, kawin
biasa, kawin sirri atau kawin mut’ah.
Pernahkah
saudara menyaksikan kawin mut’ah di Iran?
Tanyailah
Amien Rais atau Lukman Harun yang pernah berkunjung ke Iran. Atau Smith
Alhadar, seorang pengamat Timur Tengah terkenal yang pernah mengelilingi Timur
Tengah, seorang Sunni dari dulu sampai sekarang, yang pernah tinggal di Saudi
Arabia maupun di Iran selama bertahun-tahun.
Apakah
saudara-saudara telah menyelidiki berapa banyak kaum Wahabi dari Timur Tengah
yang kawin disini untuk satu bulan samapai tiga tahun? Sudahkah saudara-saudara
memeriksa surat nikah mereka?
Seorang
kawan menceritakan kepada saya bahwa ia diberi uang Rp. 5.000.000,- (lima juta
rupiah) oleh seorang Timur Tengah agar dikawinkan mut’ah ala Wahabi. DIa
mencari seorang pelacur dan ‘menasihatinya’ agar tidak menceritakan profesinya
kepada suaminya. Setelah beberapa bulan, dia tinggalkan pelacur tersebut. Ia
datang kembali dan orang itu menyuguhkan pelacur lain untuk dikawin-kontrakkan
kepadanya selama tiga bulan.
Tahukah
saudara-saudara berapa banyak TKI kita yang diperkosa disana ?
Tanpa
ditanya, seorang teman yang telah lebih dari sepuluh tahun tinggal di Kerajaan
Saudi Arabia mengatakan kepada saya bahwa bila para lelaki bisa hamil, maka
jumlah kehamilan diluar nikah akan berlipat ganda.
Apakah
saudara-saudara punya statistik berapa banyak ulama yang punya istri lebih dari
sepuluh dan berapa banyak yang kawin sirri di Indonesia? berapa banyak yang
kawin antar agama dan membagi anak-anak dalam dua bagian, sebagian mengikuti
agama bapak sebagian mengikuti ibu? Apakah saudara-saudara juga punya statistik
serupa dikalangan Syi’ah? Metode berpikir komparatif sangat dibutuhkan dalam
berbagai cabang ilmu, seperti ilmu kedokteran, ilmu perbandingan agama atau
ilmu perbandingan mazhab.
Saudara-saudara
menyatakan bahwa kawin mut’ah haram. Padahal ini jelas dilakukan di zaman
Rasulullah SAWW, zaman Abu Bakar dan sebagian di zaman Umar. Kalau tidak
setuju, kita bahas nanti dibagian lain. Tapi mampukah saudara mengatakan bahwa
pelacuran dan lokalisasi pelacuran itu haram dalam Islam? Punyakah
saudara-saudara statistik jumlah bayi, yang ayahnya entah berada dimana, yang
dibungkus plastik dan dibuang ke selokan-selokan serta tempat-tempat sampah dan
yang digugurkan di klinik-klinik yang resmi atau pun tidak, terang-terangan
atau sembunyi-sembunyi ?
Mampukah
saudar-saudara mengeluarkan fatwa bahwa melacur itu haram dan dengan demikian
melokalisasinya juga haram? Dan tahukah saudara-saudara bahwa pelacur-pelacur
makin hari makin bertambah? Jangan-jangan saudara takut membuat fatwa yang
mengharamkan pelacuran dan menutup lokalisasi tersebut?
Pelacuran
tidak akan ada bila tidak ada sekelompok laki-laki ‘pencari seks’ yang hendak
memenuhi naluri seks mereka.
Ataukah
saudara-saudara takut jangan-jangan para ‘pencari seks’ memasuki
jendela-jendela kita dan meperkosa istri dan anak-anak kita, sehingga saudara-saudara
meras perlu menghalalkan lokalisasi tersebut? Bukankah berdiam diri dalam
masalah ini sama dengan menghalalkan pelacuran, perzinaham dan lokalisasi ?
Say
akhawatir saudara-saudara mengharamkannya karena mereka yang menjalankan mut’ah
berhujjah dengan nash yang tidak terbantahkan. Sebaliknya menghalalkan
pelacuran karena sudah jelas haramnya, meski pun beresiko anak yang lahir kelak
tak akan pernah mengetahui bapaknya. Dan pelacuran juga menyulitkan untuk
menjajaki, tracing, sumber penyakit kelamin. Kawin mut’ah ada masa iddah-nya,
dan suaminya dikenal, sehingga sulit menyebarkan penyakit kelamin. Kalau pun
ada, mudah dijajaki. Bukankah penyakit kelamin atau AIDS, terjadi karena
menganti-ganti pasangan ?
Silahkan
saudara-saudara mencukur jenggot dan kumis dan tinggal di tempat-tempat kost
sekitar kampus lalu saksikan dengan mata kepala sendiri sexual behaviour,
tingkah laku seks putra-putri saudara. Mungkin saudara-saudar akan pingsan
waktu menyaksikan apa yang dilakukan oleh putra saudara-saudara yang tiap hari
pulang ke rumah bak pangeran dan perjaka, serta putri bak perawan suci yang
baru turun dari kahyangan. Mampukah kita mengucapkan istighfar dan membenarkan
perzinahan sementara mengkambinghitamkan kawin mut’ah ?
Punyakah
saudara-saudara statistik berapa banyak putra-putri kita yang berzinah, yang
melakukan kawin sirri, atau kawin sembunyi-sembunyi ala Sunni atau kawin mut’ah
ala Sunni? Sebagian besar mungkin akan menjawab bahwa mereka membaca artikel
‘Mut’ah, Sebuah Perkawinan Alternatif’ dalam sebuah koran ibu kota yang ditulis
seorang tokoh Sunni.
Jangan
sekali-kali berprasangka buruk, bahwa pemuda-pemuda kita adalah bodoh, lalu
kawin mut’ah hanya karena dipengaruhi oleh orang Syi’ah.
Tahukah
saudara-saudara berapa banyak tokoh dan pemuda Sunni kita yang kawin mut’ah ?
Darimana mereka mendapat ‘fatwa’ bahwa mut’ah itu halal ?
Jangan
menuduh Syi’ah sebagai scape goat, pemikul beban, sebagai ‘kucing hitam’,
padahal Sunni sendiri yang mengeluarkan ‘fatwa’ dan kaum Sunni yang melakukan
kawin mut’ah menurut versi Sunni sendiri sesuai dengan pandangan kritis
Justru yang
harus menjaga anak-anak gadisnya adalah kaum Syi’ah, bukan Sunni!
[1] Bacalah
perdebatan antara Abdullah bin Abbas dan Ibnu Zubair: Ibn Abi’l-Hadid. Syarh
Nahju’l-Balaghah, jilid 20, hal, 129-131
.
Nikah Mut’ah, Halal atau Haram?
Nikah Mut’ah,
Halal atau Haram?
Salah satu
masalah fikih yang diperselisihkan antara pengikut Ahlulbait (Syiah) dan
Ahlusunnah adalah hukum nikah Mut’ah. Tentang masalah ini ada
beberapa hal yang perlu kita ketahui, berikut ini akan kita bahas bersama.
Pertama: Defenisi NikahMut’ah.
Kedua:
Tentang ditetapkannya mut’ah dalam syari’at Islam. Ketiga: Tidak adanya hukum
baru yang me-mansukh-kannya. Keempat:
Hadis-hadis
yang menegaskan disyari’atkannya. Kelima: Bukti-bukti bahwa Khalifah Umar-lah
yang mengharamkannya.
Difinisi Nikah Mut’ah:
Ketika
menafsirkan ayat 24 surah al-Nisa’-seperti akan disebutkan di bawah nanti,
Al-Khazin (salah seorang Mufasir Sunni) menjelaskan
difinisi nikah mut’ah sebagai berikut, “Dan menurut sebagian kaum
(ulama) yang dimaksud dengan hukum yang terkandung dalam ayat ini
ialah nikah mut’ah yaitu seorang pria menikahi seorang wanita sampai
jangka waktu tertentu dengan memberikan mahar sesuatu tertentu, dan jika waktunya
telah habis maka wanita itu terpisah dari pria itu dengan tanpa talaq (cerai),
dan ia (wanita itu) harus beristibrâ’ (menanti masa iddahnya selasai dengan
memastikan kesuciaannya dan tidak adanya janin dalam kandungannya_pen), dan
tidak ada hak waris antara keduannya. Nikah ini boleh/halal di awal
masa Islam kemudian diharamkan oleh Rasulullah saw.”[1]
Dan nikah Mut’ah dalam pandangan para pengikut Ahlulbait as. adalah
seperti difinisi di atas. NikahMut’ah Telah Disyari’atkan
Dalam
masalah ini telah disepakati bahwa nikah mut’ah telah disyari’atkan
dalam Islam, seperti juga halnya dengan nikah daa’im (permanen).
Semua kaum Muslim dari berbagai mazhab dan aliran tanpa terkecuali telah
sepakat bahwa nikah Mut’ah telah ditetapkan dan disyari’atkan dalam
Islam. Bahkan hal itu dapat digolongkan hal dharuruyyat minaddin (yang gamblang
dalam agama). Alqur’an dan sunah telah menegaskan
disyari’atkannya nikah Mut’ah. Hanya saja terjadi perbedaan pendapat
tentang apakah ia kemudian dimansukhkan atau tidak?
Al-Maziri
seperti dikutip al-Nawawi mengatakan, “Telah tetap (terbukti)
bahwa nikah Mut’ah adalah boleh hukumnya di awal Islam… .” [2] Ketika
menjelaskan sub bab yang ditulis Imam Bukhari: Bab Nahyu an-Nabi saw.
‘an Nikah al-Mut’ah Akhiran (Bab tentang larangan Nabi saw.
akan nikah mut’ah pada akhirnya).
Ibnu Hajar
mendifinisikan nikah mut’ah, “Nikah mut’ah ialah menikahi wanita
sampai waktu tertentu, maka jika waktu itu habis terjadilah perpisahan, dan
difahami dari kata-kata Bukhari akhiran (pada akhirnya) bahwa ia sebelumnya
mubaah, boleh dan sesungguhnya larangan itu terjadi pada akhir urusan.” [3]
Al-Syaukani
juga menegaskan bahwa nikah mut’ah adalah pernah diperbolehkan dan
disyari’atkan dalam Islam, sebelum kemudian, katanya dilarang oleh Nabi saw.,
ia berkata, “Jumhur ulama berpendapat sesungguhnya yang dimaksud dengan ayat
ini ialah nikah mut’ah yang berlaku di awal masa Islam. Pendapat ini
dikuatkan oleh qira’at Ubai ibn Ka’ab, Ibnu Abbas dan Said ibn Jubair dengan
tambahan إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى .” [4]
Ibnu Katsir menegaskan,
“Dan keumuman ayat ini dijadikan dalil nikah mut’ah, dan tidak
diragukan lagi bahwa sesungguhnya nikah mut’ah itu ditetapkan dalam
syari’at pada awal Islam, kemudian setelah itu dimansukhkan… .” [5]
Ayat Tantang
Disyari’atkannya Nikah Mut’ah
Salah satu
ayat yang tegas menyebut nikah bentuk itu seperti telah disinggung di
atas ialah firman Allah SWT.
فَمَا
اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوْهُنَّأُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً …
(النساء:24)
“Maka
wanita-wanita yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah
kepada mereka upah (mahar)nya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban…”
(QS:4;24)
Ayat di atas
mengatakan bahwa wanita-wanita yang telah kamu nikahi
dengan nikah mut’ah dan telah kamu gauli maka berikanlah kepada
mereka itu mahar secara sempurna. Kata اسْتَمْتَعْتُمْ
berartikan nikahmut’ah yaitu nikah berjangka waktu tertentu
sesuai kesepakatan antara kedua pasangan calon suami istri. Dan dipilihnya kata
tersebut disebabkan nikah mut’ah memberikan kesenangan, kenikmatan
dan manfaat.
Dalam bahasa
Arab kata mut’ah juga diartikan setiap sesuatu yang bermanfaat, kata kerja
istamta’a artinya mengambil manfaat[6].
Para sahabat
telah memahami ayat di atas sebagai ayat yang menegaskan
disyari’atkannya nikahtersebut, sebagian sahabat dan ulama tabi’in seperti
Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu Abbas, Said ibn Jubari, Mujahid dan as Suddi
membacanya:
فَمَا
اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ – إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى- فَآتُوْهُنَّ
أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً
dengan
memberi tambahan kata إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى (sampai jangka waktu tertentu).
Bacaan tesebut tentunya sebagai sekedar penjelasan dan tafsir, bukan dengan
maksud bahwa ia dari firman Allah SWT. Bacaan mereka tersebut dinukil oleh para
ulama besar Ahlusunah seperti Ibnu Jarir al-Thabari, Al-Razi, al-Zamakhsyari,
Al-Syaukani dan lainnya yang tidak mungkin saya sebut satu persatu nama-nama
mereka. Qadhi Iyaadh seperti dikutip al-Maziri, sebagaimana disebutkan Al
Nawawi dalam syarah Shahih Muslim, awal Bab Nikah Mut’ah bahwa Ibnu
Mas’ud membacanya dengan tambahan tersebut. Jumhur para ulama pun, seperti
telah Anda baca dari keterangan Al-Syaukani, memehami ayat tersebut sebagai
yang menegaskan disyari’atkannya nikah mut’ah.
Catatan:
Perlu Anda
cermati di sini bahwa dalam ayat di atas Allah SWT berfirman menerangkan apa
yang dipraktikkan kaum Muslim dari kalangan sahabat-sabahat Nabi suci saw. dan
membimbing mereka akan apa yang harus mereka lakukan dalam praktik yang sedang
mereka kerjakan. Allah SWT menggunakan kata kerja bentuk lampau untuk menunjuk
apa yang telah mereka kerjakan: اسْتَمْتَعْتُمْ, dan ia bukti kuat bahwa para
sahabat itu telah mempraktikan nikah mut’ah. Ayat di atas sebenarnya
tidak sedang menetapkan sebuah hukum baru, akan tetapi ia sedang membenarkan
dan memberikan bimbingan tentang apa yang harus mereka lakukan dalam bermut’ah.
Bukti lain bahwa ayat di atas sedang menerangkan hukum nikah mut’ah
ialah bahwa para ulama Sunni mengatakan bahwa hukum dalam ayat tersebut telah
dimansukhkan oleh beberapa ayat, seperti akan disinggung nanti. Itu artintya
mereka mengakui bahwa ayat di atas tegas-tegas menerangkan
hukum nikah Mut’ah!
Klaim
Pe-mansukh-an Hukum Nikah Mut’ah Dalam Al qur’an
Ketegasan
ayat diatas adalah hal yang tidak disangsikan oleh para ulama dan ahli tafsir.
Oleh sebab itu mereka mengatakan bahwa hukum itu walaupun telah disyari’atkan
dalam ayat tersebut di atas, akan tetapi ia telah dimansukhkan oleh beberapa
ayat. Para ulama’ Sunni telah menyebutkan beberapa ayat yang dalam hemat mereka
sebagai ayat naasikhah (yang memasukhkan) ayat Mut’ah. Di bawah ini akan saya
sebutkan ayat-ayat tersebut.
Ayat
Pertama:
Firman Allah
SWT:
و الذين هُمْ
لِفُرُوْجِهِمْ حافِظُونَ إلاَّ علىَ أَزْواجِهِمْ أَوْ ما مَلَكَتْ أَيْمانُهُمْ،
فَإِنَّهُمْ غيرُ مَلُوْمِيْنَ. (المؤمنون:5-6)
“Dan
orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka
atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal yang tiada
tercela.” (QS:23;5-6) Keterangan Ayat:
Dalam
pandangan mereka ayat di atas menerangkan bahwa dibolehkan/ dihalalkanya menggauli
seorang wanita karena dua sebab; pertama, hubungan pernikahan (permanen).Kedua,
kepemilikan budak.
Sementara
itu kata mereka wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah, bukan bukan seorang
istri.
Tanggapan:
Pertama-tama
yang perlu difahami ialah bahwa mut’ah adalah sebuah ikatan pernikahan dan
perkawinan, baik dari sudut pandang bahasa, tafsir ayat maupun syari’at,
seperti telah dijelaskan sebelumnya. Jadi ia sebenarnya dalam keumuman ayat di
atas yang diasumsikan sebagai pemansukh, tidak ada alasan yang membenarkan
dikeluarkannya dari keumuman tersebut. Kata Azwaajihim dalam ayat di atas
mencakup istri yang dinikahi baik dengan akad nikah daim (permanent)
maupun akadnikah Mut’ah.
Kedua,
selain itu ayat 5-6 Surah Mu’minun (sebagai pemansukh) berstatus Makkiyah
(turun sebelum Hijrah) sementara ayat hukum Mut’ah (ayat 24 surah al-Nisa’)
berstatus Madaniyah (turun setelah Hijrah). Lalu bagaimana mungkin ayat
Makkiyah yang turun sebelum ayat Madaniyah dapat memansukhkannya?! Ayat yang
memansukh turun lebih dahulu dari ayat yang sedang dimansukhkan hukumnya.
Mungkinkah itu?!
Ketiga,
Tetap diberlakukannya hukum nikah Mut’ah adalah hal pasti, seperti
telah ditegaskan oleh para ulama Sunni sendiri. Az- zamakhsyari menukil Ibnu
Abbas ra.sebagai mengatakan, “Sesungguhnya ayat Mut’ah itu muhkam (tidak
mansukh)”. Pernyataan yang sama juga datang dari Ibnu Uyainah.
Keempat,
Para imam Ahlubait as. menegaskan bahwa hukum yang terkandung dalam ayat
tersebut tetap berlaku, tidak mansukh.
Kelima, Ayat
5-6 Surah Mu’minun sedang berbicara tentang hukum nikah permanen
dibanding tindakan-tindakan yang diharamkan dalam Syari’at Islam, seperti
perzinahan, liwath (homo) atau kekejian lain. Ia tidak sedang berbicara
tentang nikah Mut’ah, sehingga diasumsikan adanya saling bertentangan
antara keduanya.
Adapun
anggapan bahwa seorang wanita yang dinikahi dengan nikah Mut’ah itu
bukan berstatus sebagai isrti, zawjah, maka anggapan itu tidak benar. Sebab:
1. Mereka
mengatakan bahwa nikah ini telah dimansukhkan dengan ayat إلاَّ علىَ
أَزْواجِهِمْ … atau ayat-ayat lain atau dengan riwayat-riwayat yang mereka
riwayatkan bahwa Nabi saw. telah memansukhnya setelah sebelumnya pernah
menghalalkannya. Bukankah ini semua bukti kuat bahwa Mut’ah itu adalah sebuah
akad nikah?! Bukankah itu pengakuan bahwa wanita yang dinikahi dengan akad
Mut’ah itu adalahh seorang isrti, zawjah?! Sekali lagi, terjadinya pemansukhan
-dalam pandangan mereka- adalah bukti nyata bahwa yang dimansukh itu
adalah nikah!
2. Tafsiran
para ulama dan para mufassir Sunni terhadap ayat surah An Nisaa’ bahwa yang
dimaksud adalah nikah Mut’ah adalah bukti nyata bahwa akad Mut’ah
adalah akad nikah dalam Islam.
3. Nikah Mut’ah
telah dibenarkan adanya di masa hidup Nabi saw. oleh para muhaddis terpercaya
Sunni, seperti Bukhari, Muslim, Abu Daud dll.
4. Ada
ketetapan emas kawin, mahar dalam nikah Mut’ah adalah bukti bahwa ia
adalah sebuah akadnikah. Kata أُجُوْرَهُنَّ (Ujuurahunna=mahar mereka). Seperti
juga pada ayat-ayat lain yang berbicara tentang pernikahan.
Perhatikan
ayat 25 surah An Nisaa’, ayat 50 surah Al Ahzaab(33) dan ayat 10 surah Al
Mumtahanah (60). Pada ayat-ayat di atas kata أُجُوْرَهُنَّ diartikan mahar.
Ayat Kedua
dan Ketiga:
Allah SWT
berfirman:
وَلَكُمْ
نِصْفُ ما تَرَكَ أَزْواجُكُمْ. (النساء:12)
Dan bagimu
(suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu.”
(QS:3;12)
Dan
وَ إِذا
طَلَّقْتُمُ النِساءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ. (الطلاق:1)
“Jika kamu
menceraikan isteri-isterimu maka hendaknya kamu ceraikan mereka pada waktu
mereka dapat (menghadapi)iddahnya (yang wajar).” (QS65;1)
Keterangan:
Ringkas
syubhat mereka dalam masalah ini ialah bahwa seorang istri itu dapat mewarisi
suaminya, dan dapat diceraikan dan baginya hak mendapatkan nafkah dari suami.
Semua ini adalah konsekuensi ikatan tali pernikahan. Sementara itu, dalam kawin
Mut’ah hal itu tidak ada, seorang istri tidak mewarisi suaminya, dan hubungan
itu berakhir dengan tanpa talak/tidak melalui proses penceraian, dan tiada atas
suami kewajiban nafkah. Maka dengan memperhatikan ini semua Mut’ah tidak dapat
disebut sebagai akad nikah, dan wanita itu bukanlah seorang istri!
Tanggapan Atas Syubhat di Atas
1. Syarat
yang diberlakukan dalam akad Mut’ah sama dengan yang diberlakukan
dalam nikah daim (permanen), sebagimana dalam nikah daim
disyaratkan beberapa syarat, seperti, harus baligh, berakal (waras jiwanya),
bukan berstatus sebagai hamba sahaya, harus ada saling rela, dan …demikian pula
dalam nikah Mut’ah tanpa ada sedikitpun perbedaan. Adapun masalah
talak, dan saling mewarisi, misalnya, ia bukan syarat sahnya akad pernikahan…
ia adalah rentetan yang terkait dengannya dan tetap dengan tetap/sahnya akad
itu sendiri. Oleh sebab itu hal-hal di atas tidak disebutkan dalam akad. Ia
berlaku setelah terjadi kematian atau penceraian. Seandainya seorang istri mati
tanpa meninggalkan sedikitpun harta waris, atau ia tidak diceraikan oleh
suaminya hingga ia mati, atau suami menelantarkan sebagian kewajibannya, maka
semua itu tidak merusak kebashan akad nikahnya. Demikian pula tentang nafkah
dan iddah.
2. Redaksi
akad yang dipergunakan dalam nikah daim tidak berbeda dengan yang
dipergunakan dalam nikah Mut’ah, hanya saja pada Mut’ah disebutkan
jangka waktu tertentu.
3. Antara
dua ayat yang disebutkan dengan ayat Mut’ah tidak ada sedikit pertentangan.
Anggapan itu hanya muncul karena ketidak fahaman semata akan batasan Muthlaq
(yang mutlak tanpa ikatan) dan Muqayyad (yang diikat), yang umum dan yang
khusus. Karena sesungguhnya ayat Mut’ah itu mengkhususkan ayat tentang
pewarisan dan talak.
4. Adapun anggapan
bahwa seorang wanita yang dinikahi dengan akad nikah Mut’ah itu bukan
seorang istri, maka anggapan itu tidak benar karena:
A. Sebab
pewarisan itu bukanlah konsekuensi yang berkalu selamanya dalam pernikahan,
yang tidak dapat berpisah sama sekali. Di sana ada pengecualian- pengecualian.
Seorang wanita ditetapkan sebagai sitri namun demikian ia tidak mewairisi
suaminya, seperti seorang istri yang berbeda agama (Kristen misalnya) dengan
suaminya (Muslim), atau istri yang membunuh suaminya, atau seorang wanita yang
dinikahi seorang laki-laki dalam keadaan sakit kemudian suami tersebut mati
sebelum sempat berhubungan badan dengannya, atau apabila istri tersebut
berstatus sebagai budak sahaya… bukankan dalam contoh kasus di atas wanita itu
berstaus sebagai isri, namun demikian -dalam syari’at Islam- ia tidak mewarisi
suaminya.
B. Ayat
tentang warisan (ayat 12 surah An Nisaa’) adalah ayat Makkiyah sementara ayat
Mut’ah adalah madaniyah. Maka bagaimana mungkin yang menasakh turun lebih
dahulu dari yang dimansukh?!
5. Adapun
anggapan bahwa ia bukan seorang istri sebab tidak ada keharusan atas suami
untuk memberi nafkah, maka anggapan ini juga tidak tepat, sebab:
A. Nafkah,
seperti telah disinggung bukan konsekusensi pasti/tetap berlaku selamanya atas
seorang suami terhadap istrinya. Dalam syari’at Islam, seorang istri yang
nasyizah (memberontak kepada suaminya, tidak mau lagi berumah tangga), tiada
kewajiban atas suami memberinya nafkah. Demikian disepakati para ulama dari
seluruh mazhab.
B. Dalam
akad Mut’ah sekali pun, kewajiban nafkah tidak selamanya gugur. Hal itu dapat
ditetapkan berdasarkan syarat yang disepakati antara keduannya. Demikian
diterangkan para fuqaha’ Syi’ah.
6. Adapun
anggapan karena ia tidak harus melakukan iddah (menanti janggak waktu tertentu
sehingga dipastikan ia tidak sedang hamil dari suami sebelumnya = tiga kali
masa haidh) maka ia bukan seoarng istri. anggapan ini adalah salah, dan sekedar
isu palsu, sebab seorang wanita yang telah berakhir janggka
waktu nikah Mut’ah yang telah ditentukan dan disepakati oleh
keduanya, ia tetap wajib menjalani proses iddah. Dalam fikih Syi’ah para
fuqaha’ Syi’ah menfatwakan bahwa masa iddah atasnya adalah dua kali masa haidh.
7. Adapun
anggapan bahwa ia bukan seorang istri sebab ia berpisah dengan suaminya tanpa
melalui proses perceraian, sementara dalam Al qur’an ditetapkan hukum
perceraian bagi suami istri yang hendak berpisah. Maka hal itu tidak benar,
sebab:
A.
Perceraian bukan satu-satunya yang merusak akad penikahan. Seorang istri dapat
saja berpisah dengan suaminya dengan tanpa perceraian, seperti pada kasus,
apabila istri tersebut murtad, atau apabila ia seorang hamba sahaya kemudian ia
dijual oleh tuannya, atau istri yang masih kanak-kanak, kemudian istri suami
tersebut menyusuinya (sehingga ia menjadi anak susunya), atau ketika ibu suami
itu menyusui anak istrinya… Atau istri seorang laki-laki yang murtad, atau
istri yang terbukti terdapat padanya cacat, ‘uyuub yang menyebabkan gugurnya
akad nikah, seperti apabila istri itu ternyata seorang wanita gila dan ….
Bukankah dalam semua kasus di atas istri itu berpisah dari suaminya tanpa
melalui proses talak?!
B. Seorang
wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah tidak berarti selamanya menjadi
monopoli suami itu yang tidak akan pernah bisa berpisah. Dalam nikah Mut’ah
ketetapan tentang waktu berada di tangan si wanita dan pri itu. Merekalah yang
menetukan jangka waktu bagi pernikahan tersebut.
C. Kedua
ayat itu tidak mungkin dapat menasikhkan hukum nikah Mut’ah yang
disepakati kaum Muslim (Sunni-Syi’ah) akan adanya di awal masa Islam.
Dan saya
cukupkan dengan memaparkan contoh-contoh ayat yang diasumsikan sebagai penasakh
hukum nikah Mut’ah yang telah ditetapkan dalam Ayat Mut’ah (ayat 24
surah An Nisaa’). Dalil Sunnah
Adapun bukti
dari sunnah Nabi saw. bahwa nikah mut’ah pernah disyari’atkan dalam
Islam dan tidak pernah dimansukhkan oleh sesuatu apapun adalah banyak sekali,
di antaranya ialah apa yang diriwayatkan “Imraan ibn Hushain” yang menegaskan
bahwa ayat di atas turun berkaitan dengan hukum nikah mut’ah dan ia
tetap, muhkam (berlaku) tidak dimansukhkan oleh sesuatu apapun sampai Umar
mengharamkannya. Selain riwayat dari “Imraan ibn Hushain”, sahabat-sabahat lain
seperti Jabir ibn Abdillah, Salamah ibn al-Akwa’, Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu
Abbas, Ibnu Umar, Akwa’ ibn Abdullah, seperti diriwayatkan hadis-hadis mereka
oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dan juga Imam Muslim dalam Shahihnya juga
menegaskan disyari’atkannya nikah mut’ah. Al-hasil, hadis tentang
pernah disyari’atkannya bahkan masih tetap dihalalkannya nikah mut’ah
banyak sekali dalam buku-buku hadis andalan Ahlusunah.
Hukum Nikah Mut’ah
Tidak Pernah Dimansukhkan
Para Imam
suci Ahlubait as., dan tentunya juga para pengikut setia mereka (Syi’ah
Imamiyah) meyakini bahwa nikah mut’ah masih tetap disyari’atkan oleh
Islam dan ia halal sampai hari kiamat tiba, tidak ada sesuatu apapun yang
menggugurkan hukum dihalalkannya.
Dan seperti
telah Anda baca sebelumnya bahwa nikah mut’ah pernah disyari’atkan
Islam; Alqur’an turun untuk membenarkan praktik nikah tersebut, Nabi
saw. mengizinkan para sahabat beliau melakukannya, dan beliau juga
memerintahkan juru penyampai untuk mengumandangkan dibelohkannya
praktik nikah mut’ah. Jadi atas yang mengaku bahwa
hukum nikah mut’ah yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya itu
sekarang dilarang, maka ia harus mengajukan bukti.
Sementara
itu, seperti akan Anda saksikan nanti, bahwa klaim adanya pengguguran
(pe-mansuk-han) hukum tersebut adalah tidak berdasar dan tidak benar, ayat-ayat
Alqur’an yang kata mereka sebagai pemansukh ayat mut’ah tidak tepat sasaran dan
hanya sekedar salah tafsir dari mereka, sedangkan hadis-hadis yang mereka
ajukan sebagai bukti adanya larangan juga centang perentang, saling
kontradiksi, di samping banyak darinya yang tidak sahih. Di bawah ini akan saya
sebutkan beberapa hadis yang tegas-tegas mengatakan
bahwa nikah mut’ah adalah halal dan tidak pernah ada hukum Allah SWT
yang mengharamannya.
Hadis
Pertama: Hadis Abdullah ibn Mas’ud
Imam Bukhari
dan Muslim meriwayatkan dari Qais ibn Abi Hazim ia mendengar Abdullah ibn
Mas’ud ra. berkata:
“Kami
berperang keluar kota bersama Rasulullah saw., ketika itu kami tidak bersama
wanita-wanita, lalu kami berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami mengebiri
diri?”, maka beliau melarang kami melakukannya lalu beliau mengizinkan kami
mengawini seorang wanita dengan mahar (emas kawin) bitstsaub, sebuah baju.
Setelah itu Abdullah membacakan ayat:
يَا أَيُّها
الذِيْنَ آمَنُوا لاَ تُحَرِّمُوا طَيِّباتِ ما أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ وَ لاَ
تَعْتَدُوا، إِنَّ اللهَ لا يُحِبُّ المعْتَدِيِنَ.
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik yang
telah Allah halalkan bagi kamu dan jangan kamu melampaui batas. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.(QS:5;87)“
Hadis di
atas dapat Anda temukan dalam:
1. Shahih
Bukhari:
· Kitabut
tafsir, bab Qauluhu Ta’ala يَا أَيُّها الذِيْنَ آمَنُوا لاَ تُحَرِّمُوا
طَيِّباتِ ما أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ .[7]
·Kitabun Nikah,
bab Ma Yukrahu minat Tabattul wal Khashbaa’.[8]
2. Shahih
Muslim:
·
Kitabun Nikah, bab Ma Ja’a fi Nikah al-Mut’ah[9]
Ketika
menerangkan hadis di atas, Ibnu Hajar dan al-Nawawi mengatakan:
“kata-kata
‘beliau mengizinkan kami mengawini seorang wanita dengan mahar (emas kawin)
sebuah baju’ sampai jangka waktu tertentu dalam nikah mut’ah… .” Ia
juga mengatakan bahwa pembacaan ayat tersebut oleh Ibnu Mas’ud adalah isyarat
kuat bahwa beliau meyakni dibolehkannya nikah mut’ah, seperti juga
Ibnu Abbas. Hadis Kedua: Hadis Jabir Ibn Abdillah dan Salamah ibn al-Akwa’ ra.
A. Imam
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Hasan ibn Muhammad dari Jabir ibn Abdillah
dan Salamah ibn Al-Akwa’ keduanya berkata:
“Kami
bergabung dalam sebuah pasukan, lalu datanglah rasul (utusan) Rasulullah sa.,
ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah saw. telah mengizinkan kalian untuk
menikah mut’ah, maka bermut’ahlah kalian.”
Hadis di
atas dapat Anda baca dalam:
1. Shahih
Bukhari: Kitabun Nikah, bab Nahyu Rasulillah saw ‘An-Nikah al-Mut’ah
‘Akhiran.[10] 2. Shahih Muslim: Kitabun Nikah,
bab Nikah al-Mut’ah.[11]
B. Jabir ibn
Abdillah dan Salamah ibn al-Akwa’: Sesungguhnya Rasulullah saw. datang menemui
kami dan mengizinkan kami untuk bermut’ah.[12]
Hadis
Ketiga: Hadis Jabir ibnAbdillah:
A. Muslim
meriwayatkan dari Atha’, ia berkata:
“Jabir ibn
Abdillah datang untuk umrah, lalu kami mendatanginya di tempat tinggalnya dan
orang-orang bertanya kepadanya banyak masalah, kemudian mereka menyebut-nyebut
mut’ah, maka Jabir berkata, “Kami bermut’ah di masa Rasulullah saw., masa Abu
Bakar dan masa Umar.”[13]
B. Dari Abu
Bashrah, ia berkata:
“Aku berada
di sisi Jabir lalu datanglah seseorang dan berkata, ” Ibnu Abbas dan Ibnu
Zubair berselisih tentang dua jenis mut’ah”. Jabir berkata,” Kami melakukannya
bersama Rasululah saw., kemudian Umar melarang melaksanakan keduanya, maka kami
tidak kembali (melakukannya) lagi.”[14]
C. Abu
Zubair berkata, “Aku mendengar Jabir ibn Abdillah berkata:
“Kami
bermut’ah dengan emas kawin (mahar) segenggam kurma dan tepung untuk jangka
waktu beberapa hari di masa Rasulullah saw. dan masa Abu Bakar, sampai Umar
melarangnya kerena kasus Amr ibn Huraits.”[15] Ibnu Jakfari berkata:
Jelaslah
bahwa maksud Jabir dengan ucapannya bahwa “Kami bermut’ah di masa Rasulullah…”,
“Kami melakukannya bersama Rasululah saw” bukanlah bahwa saya sendirian
melakukannya hanya sekali saja, akan tetapi ia hendak menjelaskan bahwa kami
(saya dan rekan-rekan sahabat Nabi saw.) melakukannya banyak kali, dan dengan
sepengetahuan Nabi saw., beliau membenarkannya dan tidak melarangnya sampai
beliau dipanggil Allah SWT ke alam baqa’. Dan ini adalah bukti kuat bahwa tidak
pernah ada pengharaman dari Allah dan Rasul-Nya, nikah mut’ah tetap
halal hingga hari kiamat, sebab “halalnya Muhammad saw. adalah halal hingga
hari kiamat dan haramnya Muhammad adalah haram hingga hari kiamat”, kecuali
jika kita meyakini bahwa ada nabi baru setelah Nabi Muhammad saww dan ada wahyu
baru yang diturunkan Jibril as. setelah sempurnanya agama Islam.
Adapun
arahan sebagian ulama, seperti al-Nawawi yang mengatakan bahwa para sahabat
mulia itu mempraktikan nikah mut’ah di masa hidup Nabi saw. dan juga
di masa kekhalifahan Abu Bakar dan beberapa tahun masa kekhalifahan Umar itu
dikarenakan mereka belum mengetahui pemansukhan hukum tersebut, adalah ucapan
tidak berdasar, sebab bagainama mungkin pemansukhan itu samar atas para sahabat
itu -dan tidak jarang dari mereka yang dekat persahabatannya dengan Nabi saw.-,
sementara pemansukhan itu diketahui oleh sahabat-sabahat “cilik” seperti
Abdullah ibn Zubair atau yang lainnya?!
Bagaimana
mungkin juga hukum pengharaman mut’ah itu juga tidak diketahui oleh Khalifah
Umar, sehingga ia membiarkan praktik nikah mut’ah para sabahat, dan
baru sampai kepadanya berita pemansukhan itu di masa akhir kekhalifahannya?!
Ketika menerangkan ucapan Jabir, “sampai Umar melarangnya”, Al-Nawawi berkata,
“Yaitu ketika sampai kepadanya berita pemansukhan.”[16]
Selain itu
jelas sekali dari ucapan Jabir bahwa ia menisbatkan pengharaman/ larangan itu
kepada Umar “sampai Umar melarangnya kerena kasus Amr ibn Huraits”. Jadi
larangan itu bukan datang dari Allah SWT dan Rasul-Nya, ia datang dari Khalifah
Umar dalam kasus Amr ibn Huraits. Umar sendiri seperti telah Anda baca dalam
pidatonya menegakan bahwa dua jenis mut’ah itu ada di masa Rasululah saww. dan
beliau menghalalkannya, namun ia (Umar) melarangnya!
Coba Anda
perhatikan hadis di bawah ini: Al-Baihaqi meriwayatkan dalam as-Sunan
al-Kubranya dari Abu Nadhrah dari Jabir ra.:
saya (Abu
Nadhrah) berkata, ” Sesungguhnya Ibnu Zubair melarang mut’ah dan Ibnu Abbas
memerintahkannya”. Maka jabir berkata, “Di tangan sayalah hadis ini berputar,
kami bermut’ah bersama Rasulullah saw. dan Abu Bakar ra. dan ketika Umar
menjabat sebagai Khalifah ia berpidato di hadapan orang-orang, “Hai sekalian
manusia, sesungguhnya Rasulullah saw. adalah Rasul utusan Allah, dan Alqur’an
adalah Alqur’an ini. Dan sesungguhnya ada dua jenis mut’ah yang berlaku di masa
Rasulullah saw., tapi aku melarang keduanya dan memberlakukan sanksi atas
keduanya, salah satunya adalah nikah mut’ah, dan saya tidak menemukan
seseorang yang menikahi wanita dengan jangka tertentu kecuali saya lenyapkan
dengan bebatuan. Dan kedua adalah haji tamattu’, maka pisahkan pelaksanaan haji
dari umrah kamu karena sesungguhnya itu lebih sempurna buat haji dan umrah
kamu.”[17]
Dan selain
hadis yang telah disebutkan di atas masih banyak hadis-hadis lain yang sengaja
saya tinggalkan, sebab apa yang telah disebut sudah cukup mewakili.
Dan kini
mari kita meyimak hadis-hadis yang mengharamkan nikah Mut’ah.
Riwayat-riwayat
Pengharaman Nikah Mut’ah
Setelah kita
simak sekelumit hadis yang menerangkan tetap berlakunya hukum
kehalalan nikah mut’ah, maka sekarang kami akan mencoba menyajikan
beberapa hadis terkuat yang dijadikan hujjah oleh mereka yang meyaniki bahwa
hukum halalnya nikah mut’ah telah dimansukhkan.
Sebelumnya
perlu diketahui bahwa kasus pengharaman nikah mut’ah -dalam pandangan
yang mengharamnkan- adalah terbilang kasus aneh yang tidak pernah dialami oleh
satu hukum Islam lainnya, yaitu dihalalkan kemudian diharamkan, kemudian
dihalalkan dan kemudian diharamkan lagi. Dan sebagiannya hanya berlangsung
beberapa hari saja.[18]
Imam Muslim
dalam kitab Shahihnya menulis sebuah judul, “Bab Nikah-ul Mut’ah wa
Bayaanu ‘Annahu Ubiiha Tsumma Nusikha Tsumma Ubiiha Tsumma Nusikha wa istaqarra
Tahriimuhu Ila yaumil Qiyamah (Bab tentang Nikah mut’ah dan
keterangan bahwa ia dibolehkan kemudian dimansukkan kemudian dibolehkan
kemudian di mansukhkan dan tetaplah pengharaman hingga hari kiamat)”.
Dalam
tafsirnya, Ibnu Katsir mengatakan, “Imam Syafi’i dan sekelompok ulama berpendapat
bahwanikah mut’ah dibolehkan kemudian dimansukhkan kemudian dibolehkan
kemudian dimansukhkan, dua kali.” [19]
Al-Qurthubi
dalam tafsirnya mengatakan:
“Masalah
kesepuluh: para ulama berselisih pendapat berapa kali ia dibolehkan dan
mansukhkan… ia mengatakan bahwa mut’ah pada awalnya dilarang kemudian
dibolehkan kemudian Nabi melarang pada perang Khaibar kemudian mengizinkan lagi
pada fathu Makkah kemudian mengharamkannya setelah tiga hari berlaku dan ia
haram hingga hari kiamat. Ibnu al-Arabi berkata: “Adapun nikah mut’ah
ia termasuk hukum syari’at yang aneh sebab ia dibolehkan pada awal masa Islam
kemudian diharamkan pada perang Khaibar kemudian dibolehkan pada perang Awthas
kemudian di haramkan setelah itu dan tetaplah pengharaman, dan tidak ada yang menyamainya
kecuali masalah kiblat… ulama lain yang telah merangkum hadis-hadis masalah ini
mengatakan ia meniscayakan adanya penghalalan dan pengharaman sebanyak tujuh
kali…”.[20]
Kemudian ia
menyebutkan tujuh peristiwa dan kesempatan penghalalan dan pengharaman nikahmut’ah
tersebut yang terbilang aneh yang tetuntunya mengundang kecurigaan akan
kebenarnnya itu. Sebab kesimpulan ini diambil sebenarnya karena mereka menerima
sekelompok hadis yang mengharamkan nikah tersebut, sementara hadis-hadis
itu tidak sepakat dalam menyebutkan waktu ditetapkannya pengharaman, akaibatnya
harus dikatakan bahwa ia terjadi bebarapa kali. Hadis-hadis tentangnya dapat
kita kelompokkan dalam dua klasifikasi global,
pertama,
hadis-hadis yang dipandang lemah dan cacat baik sanad maupun matannya oleh para
pakar dan ulama Ahlusunnah sendiri. Hadis-hadis kelompok ini tidak akan saya
sebutkan dalam kajian kali ini, sebab pencacatan para pakar itu sudah cukup dan
tidak perlu lagi tambahan apapun dari saya, dan sekaligus sebagai penghematan
ruang dan pikiran serta beban penelitian yang harus dipikul.
Kedua,
hadis-hadis yang disahihkan oleh para ulama Ahlusunnah, namun pada dasarnya ia
tidak sahih, ia lemah bahkan sangat kuat kemungkinan ia diproduksi belakangan
oleh para sukarelawan demi mencari “keridhaan Allah SWT”, hasbatan, untuk
mendukung dan membenarkan kebijakan para khulafa’.
Dan untuk
membuktikan hal itu saya perlu melakukan uji kualitas kesahihan hadis sesuai
dengan kaidah-kaidah yang dirancang para pakar dan ulama.
Hadis Pertama:
Dalam Shahih
Muslim, Sunan al-Nasa’i, al-Baihaqi dan Mushannaf Abdir Razzaq, (dan teks yang
saya sebutkan dari Mushannaf) dari Ibnu Syihab al-Zuhri, dari Abdullah dan
Hasan keduanya putra Muhammad ibn Ali (Hanafiyah) dari ayah mereka, bahwa ia
mendengar Ali berkata kepada Ibnu Abbas, “Sesungguhnya kamu benar-benar seorang
yang taaih (bingung dan menyimpang dari jalan mustaqiim), sesungguhnya
Rasulullah saw. telah melarangnya (nikah mut’ah) pada hari peperangan
Khaibar dan juga mengharamkan daging keledai jinak.” [21]
Hadis di
atas dengan sanad yang sama dan sedikit perbedaan dalam redaksinya dapat Anda
jumpai dalam Shahih Bukhari, Sunan Abu Daud, Ibnu Majah, al-Turmudzi,
al-Darimi, Muwaththa’ Imam Malik, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, Musnad Ahmad dan
al-Thayalisi dll.[22] Hadis kedua:
Para
muhaddis meriwayatkan dari Abu Dzar al-Ghiffari ra. bahwa ia berkata:
“Sesungguhnya nikah mut’ah
itu hanya dihalalkan khusus untuk kami para sahabat Rasulullah saw. untuk
jangka waktu tiga hari saja kemudian setelahnya Rasulullah saw. melarangnya.”
Dalam riwayat lain disebutkan, “Itu dibolehkan karena rasa takut kita dan
karena kita sedang berperang.” [23]
Hadis
Ketiga:
Dalam Shahih
Muslim, Sunan al-Darimi, Ibnu Majah, Abu Daud, dan lainnya (redaksi yang saya
sebutkan in dari Muslim) dari Saburah al-Juhani, sesungguhnya ia berperang
bersama Rasulullah saw. menaklukkan kota Mekkah. Ia berkata,
“Kami
tinggal selama lima belas hari (tiga puluh malam dan siang), maka Rasulullah
saw. mengizinkan kami menikahi wanita dengan nikah mut’ah. Lalu saya
dan seseorang dari kaumku keluar, dan aku memiliki kelebihan ketampanan di
banding dia, ia sedikit jelek, masing-masing kami membawa selimut, selimutku
agak jelek adapun selimut miliknya baru, sampailah kami dibawah lembah Mekkah
atau di atasnya, kami berjumpa dengan seorang wanita tinggi semanpai dan
lincah, kami berkata kepadanya, “Apakah Anda sudi menikah mut’ah dengan salah
seeoarng dari kami?” wanita itu bertanya, “Apa yang akan kalian berikan sebagai
mahar?”. Maka masing-masing dari kami membeberkan selimutnya, wanita itu
memperhatikan kami, dan ia melihat bahwa temanku memperhatikan dirinya dari
kaki hingga ujung kepala, temanku berkata, “Selimut orang ini jelek sedangkan
selimutku baru”. Kemudian wanita itu megatakan, “Selimut orang itu lumayan. Ia
ucapkan dua atau tiga kali. Kemudian saya menikahinya
dengan nikah mut’ah, dan aku belum menyelesaikan jangka waktuku
melainkan Rasululah saw. telah mengharamkannya. [24]
Dalam
riwayat lain: Rasulullah saw. bersabda, “Hai manusia! Sesungguhnya aku telah
mengizinkan kalian bermut’ah dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya
sekarang hingga hari kiamat.” [25]
Dalam
riwayat lain: “Aku menyaksikan Rasulullah berdiri diantara rukun dan maqam (dua
sudut ka’bah) sambil bersabda…. (seperti sabda di atas)”. [26]
Dalam
riwayat lain: “Rasululah memerintah kami bermut’ah pada tahun penaklukan kota
Mekkah ketika kami memasuki kota tersebut, kemudian kami tidak keluar darinya
melainkan beliau telah melarangnya”. [27]
Dalam
riwayat lain: “Aku benar-benar telah bermut’ah di masa Rasulullah saw. dengan
seorang wanita dari suku bani ‘Amir dengan mahar dua helai selimut berwarna
merah kemudian Rasulullah saw. melarang kami bermut’ah”. [28]
Dalam
riwayat lain: “Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang nikah mut’ah
pada Fathu Makkah”.[29]
Dalam
riwayat lain: “Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang mut’ah, beliau bersabda,
“Sesungguhnya ia haram sejak hari ini hingga hari kiamat”. [30]
Dalam Sunan
Abu Daud, al-Baihaqi dan lainnya diriwayatkan dari Rabi’ ibn Saburah, ia
berkata, “Aku bersaksi atas ayahku bahwa ia menyampaikan hadis bahwa Rasulullah
saw. melarang nikah mut’ah pada haji wada“. [31]
Dalam
riwayat lain: “Rasulullah saw. melarang nikah mut’ah pada fathu
Mekkah”. [32] Hadis Keempat:
Dalam Shahih
Muslim, Mushannaf Ibn Abi Syaibah, Musnad Ahmad dan lainya (dan redaksi yang
saya kutip adalah dari Muslim) diriwayatkan dari Salamah ibn al-Akwa’, ia
berkata, “Rasulullah saw. mengizinkan pada tahun perang Awthas untuk bermut’ah
selama tiga hari kemudian beliau melarangnya.” [33] Awthas adalah lembah di
kota Thaif. Dan perlu Anda ketahui bahwa peristiwa Awthas terjadi beberapa
bulan setelah fathu Mekkah, walaupun dalam tahun yang sama.[34]
Inilah
beberapa hadis yang menjadi andalah dan sandaran terkuat pengharaman nikah mut’ah
oleh Nabi saw. dan saya berusaha meriwayatkannya dari sumber-sumber terpercaya.
Dan kini mari kita telaah hadis-hadis di atas tersebut.
Tentang
hadis Imam Ali as. Ada pun tentang hadis Imam Ali as. yang diriwayatkan Zuhri
melalui dua cucu Imam Ali as.; Abdullah dan Hasan putra Muhammad ibn Ali as.
yang mendapat sambutan luar biasa sehingga hampir semua kitab [35] hadis
berebut “hak paten” dalam meriwayatkannya, -tidak seperti biasanya dimana
kitab- kitab itu kurang antusias dalam meriwayatkan hadis-hadis dari beliau as.
dan tidak memberikan porsi layak bagi hadis-adis Imam Ali as. seperti porsi
yang diberikan kepada riwayat-riwayat para sahabat yang berseberangan dengan
beliau dan yang diandalkan oleh para penentang Ali as. dan Ahlulbait Nabi
saw.-.
Adapun
tentang hadis Imam Ali di atas maka ada beberapa hal yang perlu Anda ketahui
tentangnya.
Pertama,
ia dari
riwayat Zuhri, nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ubaidillah bin Abdullah bin
Syihab Az Zuhri lahir pada tahun 58 H dan wafat tahun 124H. Ia dekat sekali
dengan Abdul Malik bin Marwan dan Hisyam bin Abdul Malik dan pernah dijadikan
qodhi (jaksa) oleh Yazid bin Abdul Malik. Ia dipercaya Hisyam menjadi guru
privat putra-putra istana. Ibnu Hajar dalam kitab Tahdzib-nya[36]menyebutkan,
“Hisyam memerintahnya untuk mengajarkan kepada putra-putranya hadis, lalu ia
mendektekan empat ratus hadis”.
Tampaknya
Zuhri sangat diandalkan untuk meramu riwayat demi mendukung kepentingan rezim
bani Umayyah yang berkuasa saat itu dengan menyajikan riwayat-riwayat yang
berseberangan dengan ajaran Ahlulbait as. namun justru dia sajikan dengan
menyebut nama para pemuka Ahlulbait as. sendiri, atau riwayat-riwayat yang
justru melecehkan keagungan Ahlulbait as., namun sekali lagi ia sajikan dengan
mengatas-namakan pribadi-pribadi agung Ahlulbait as., seperti tuduhannya
melalui riwayat yang ia produksi bahwa Imam Ali dan Fatimah as. melakukan
tindakan kekafiran dengan menentang Nabi saw. Zuhri tampaknya memilih
spesialisasi dalam bidang ini. Dan adalah aneh seorang Zuhri yang dikenal benci
kepada Imam Ali as. tiba-tiba sekarang tampil sebagai seorang muhaddis yang
sangat peduli dalam menyampaikan riwayat-riwayat dari Ali as.
Ibnu Abi
al-Hadid, ketika menyebut nama-nama para perawi yang membenci Imam Ali as, ia
menyebut, “Dan Zuhri adalah termasuk yang menyimpang dari Ali as”.[37]
Sufyan bin
Wakii’ menyebutkan bahwa Zuhri memalsukan banyak hadis untuk kepentingan Bani
Marwan. Ia bersama Abdul Malik melaknat Ali as. Asy-Syadzkuni meriwayatkan dari
dua jalur sebuah berita yang menyebutkan bahwa Zuhri pernah membunuh seorang
budaknya tanpa alasan yang dibenarkan.[38] Kedua,
terlepas
dari penilaian kita terhadap kualitas salah satu mata rantai perawi dalam hadis
tersebut yang telah Anda baca, maka di sini ada beberapa catatan yang perlu
Anda perhatikan. Pertama: Dalam hadis tersebut ditegaskan bahwa Imam Ali as.
menegur dan menyebut Ibnu Abbas ra. sebagai seorang yang menyimpang karena ia
masih menghalalkan nikah mut’ah padahal nikah tersebut telah
diharamkan pada peristiwa peperangan Khaibar. Selain nikah mut’ah,
daging keledai jinak juga diharamkan saat itu. Jadi menurut Imam Ali as.
keduanya diharamkan pada peristiwa tersebut.
Di sini kita
perlu meneliti kedua masalah ini, akan tetapi karena yang terkait dengan masalah
kita sekarang adalah nikah mut’ah maka telaah saya akan saya batasi
pada pengharaman nikah mut’ah pada hari Khaibar.
Pengharaman nikah Mut’ah
pada hari Khaibar
Pengharaman
Nabi saw. atas nikah mut’ah pada peristiwa Khaibar, seperti
ditegaskan para ulama Ahlusunnah sendiri, seperti Ibnu Qayyim, Ibnu Hajar dkk.
tidak sesuai dengan kanyataan sejarah, sebab beberapa tahun setelah
itu nikah mut’ah masih dibolehkan oleh Nabi saw., seperti contoh pada
tahun penaklukan kota Mekkah. Oleh karenanya sebagian menuduh Imam Ali as.
bodoh dan tidak mengetahui hal itu, sehingga beliau menegur Ibnu Abbas dengan
teguran yang kurang tepat, sebab, kata mereka semestinya Imam Ali as. berhujjah
atas Ibnu Abbas dengan pengharaman terakhir yaitu pada penaklukan kota Mekkah agar
hujjah sempurna, dan kalau tidak maka hujjah itu tidak mengena[39].
Selain itu,
dalam peristiwa penyerangan ke kota Khaibar, tidak seorangpun dari sahabat Nabi
saw. yang bermut’ah dengan wanita-wanita yahudi, dan mereka tidak juga memohon
izin kepada Nabi saw. untuk melakukannya. Tidak seorangpun menyebut-nyebut
praktik sabahat dan tidak ada sebutan apapun tentang mut’ah. Di kota Khaibar
tidak ada seorang wanita muslimahpun sehingga sah untuk dinikahi secara mut’ah,
sementara dihalalkannya menikah dengan wanita yahudi itu belum disyari’atkan,
ia baru disyari’atkan setelah haji wada’ dengan firman Allah ayat 5 surah
al-Maidah. Demikian ditegaskan Ibnu Qayyim dalam Zaad al-Ma’aad.[40]
Ketika
menerangkan hadis Imam Ali as. dalam kitab al-Maghazi, bab Ghazwah Khaibar,
Ibnu Hajar al-Asqallani menegaskan, “Dan kata pada hari Khaibar bukan
menunjukkan tempat bagi diharamkannyanikah mut’ah, sebab dalam ghazwah
(peperangan) itu tidak terjadi praktik nikah mut’ah”.[41]
Ibn Hajar
juga menukil al-Suhaili sebagai mengatakan, “Dan terkait dengan hadis ini ada
peringatan akan kemusykilan, yaitu sebab dalam hadis itu ditegaskan bahwa
larangan nikah mut’ah terjadi pada peperangan Khaibar, dan ini
sesuatu yang tidak dikenal oleh seorangpun dari ulama pakar sejarah dan perawi atsar/data
sejarah.[42]
Al-hasil,
hadis tersebut di atas tegas-tegas mengatakan bahwa pada peristiwa Khaibar Nabi
mengharamkan nikah mut’ah dan juga keledai, Ibnu Hajar berkomentar,
“Yang dzahir dari kata-kata (dalam hadis itu) pada zaman Khaibar adalah menunjuk
waktu pengharaman keduanya (mut’ah dan daging keledai)”[43], sementara sejarah
membuktikan bahwa pada peristiwa itu sebenarnya tidak terjadi pengharaman,
sehingga untuk menyelamatkan wibawa hadis para muhadis agung itu, mereka meramu
sebuah solusi yang mengatakan bahwa hadis Imam Ali as. itu hanya menujukkan
pengharaman keledai saja, adapun pengharaman nikah mut’ah sebenarnya
hadis itu tidak menyebut-nyebutnya barang sedikitpun!
Penafsiran
nyeleneh ini disampaikan oleh Sufyaan ibnu Uyainah, ia berkata, “Kata-kata
(dalam hadis itu) pada zaman Khaibar hanya terkait dengan waktu pengharaman
keledai jinak bukan terkait dengannikah mut’ah.”[44]
Dan upaya
untuk mengatakan bahwa hadis itu tidak menunjukkan
pengharaman nikah mut’ah pada zaman Khaibar yang dilakukan sebagian
ulama hanya karena mereka terlanjur mensahihkan hadis-hadis yang mengatakan
bahwa sebenarnya nikah mut’ah itu masih dibolehkan setelah zaman
Khaibar. Demikian diungkap oleh Ibnu Hajar.[45]
Akan tetapi
arahan itu sama sekali tidak benar, ia menyalahi kaidah bahasa Arab dan lebih
mirip lelucon, sebab;
A. Dalam
dialek orang-orang Arab dan juga bahasa apapun, jika Anda mengatakan, misalnya
أَكْرَمْتُ
زَيْدًا و عَمْروًا يَوْمَ الجمعةِ
“Saya
menghormati Zaid dan ‘Amr pada hari jum’at”
maka semua orang
yang mendengarnya akan memahami bahwa penghormatan kepada keduanya itu terjadi
dan dilakukan pada hari jum’at.
Bukan bahwa
dengan kata-kata itu Anda hanya bermaksud menghormati ‘Amr saja, sementara
terkait dengan pak Zaid Anda tidak maksudkan, penghormatan itu mungkin Anda
berikan pada hari lain. Sebab jika itu maksud Anda semestinya Anda mengatakan
أَكْرَمْتُ
زَيْدًا و أَكْرَمْتُ عَمْروًا يَوْمَ الجمعةِ
“Saya
menghormati Zaid , dan saya menghormati ‘Amr pada hari jum’at”.
Dalam
riwayat itu kata kerja nahaa itu hanya disebut sekali, oleh karena itu ia mesti
terkait dengan kedua obyek yang disebutkan setelahnya. Dan saya tidak yakin
bawa para ulama itu tidak mengerti kaidah dasar bahasa Arab ini.
B. Anggapan
itu bertentangan dengan banyak riwayat hadis Imam Ali as. dan juga dari Ibnu
Umar yang diriwayatkan para tokoh muhadis, seperti Bukhari, Muslim, Ibnu Majah
dan Ahmad yang tegas-tegas menyebutkan bahwa waktu
pengharaman nikah mut’ah adalah zaman Khaibar. Merka meriwayatkan:
نَهَى رسولُ
اللهِ (ص) عن مُتْعَةِ النساءيَومَ خيْبَر، و عن لُحُومِ الحمرِ الإنْسِيَّةِ.
“Rasulullah
saw. melarang nikah kmut’ah pada hari Khaibar, dan juga daging
keledai”. [46]
Ibnu Jakfari
berkata:
Bagaimana
kita dapat benarkan riwayat-riwayat kisah pengharaman itu baik di hari Khaibar
maupun hari dan kesempatan lainnya, sementara telah datang berita pasti dan
mutawatir bahwa Khalifah Umar ra. berpidato mengatakan bahwa dua jenis mut’ah
itu ada dan berlaku di masa hidup Nabi saw. akan tetapi saya (Umar) melarang,
mengharamkan dan merajam yang melakukan nikahnya:
مُتْعَتانِ
كانَتَا على عَهْدِ رَسُول ِاللهِ أنا أَنْهَى عَنْهُما وَ أُعاقِبُ عليهِما :
مُتْعَةُ الحج و متعة النِّسَاءِ.
“Ada dua
bentuk mut’ah yang keduanya berlaku di sama Rasulullah saw., aku melarang
keduannya dan menetepkan sanksi atas (yang melaksanakan) keduanya: haji
tamattu’ dan nikah mut’ah.[47]
Bagaiamana
dapat kita benarkan riwayat-riwayat itu sementara kita membaca bahwa Jabir ibn
Abdillah ra. berkata dengan tegas, “kami bermut’ah di masa Rasulullah saw.,
masa Abu Bakar dan masa Umar.”[48]
Dalam
kesempatan lain ia mengatakan, “Kami bermut’ah dengan emas kawin (mahar)
segenggam kurma dan tepung untuk jangka waktu beberapa hari di masa Rasulullah
saw. dan masa Abu Bakar, sampai Umar melarangnya kerena kasus Amr ibn
Huraits.”[49]
Bagaimana
kita dapat menerima riwayat hadis-hadis yang mengatakan
bahwa nikah mut’ah telah diharamkan di masa Nabi saw. oleh beliau
sendiri, sementara itu Khalifah Umar tidak pernah mengetahuinya, tidak juga
Khalifah Abu Bakar dan tidak juga para sahabat dan tabi’in mengetahuinya,
bahkan sampai zaman kekuasaan Abdullah ibn Zubair -setelah kematian Yazid ibn
Mu’awiyah- dan tidak juga seorang dari kaum Muslim mengetahui riwayat-riwayat
sepeti itu. Andai mereka mengetahuinya pasti ia sangat berharga dan sangat
mereka butuhkan dalam mendukung pendapat mereka tentang
pengharaman nikah mut’ah tersebut.
Dan pastilah
para pendukung kekhalifahan akan meresa mendapat nyawa baru untuk membela diri
dalam pengharaman sebagai tandingan bukti-bukti sunah yuang selalu di bawakan
sahabat-sabahat lain yang menhalalkan nikah mut’ah seperti Ibnu
Abbas, Abdullah ibn Mas’ud dan Jabir, misalnya.
Dalam
perdebatan yang terjadi antara pihak yang mengharamkan dan pihak yang
menhalalkan mereka yang mengharamkan tidak pernah berdalil bahwa Rasulullah
saw. telah mengharamkannya di Khaibar… atau pada peristiwa penaklukan kota
Mekkah dan lain sebaigainya. Bagaimana mungkin hadis Imam Ali as. dapat kita
terima sementara kita menyaksikan bahwa beliau bersabda:
,لَوْ لاَ
أَنَّ عُمر نَهَى الناسَ عَنِ المُتْعَةِ ما زَنَى إلاَّ شَقِيٌّ.
“Andai bukan
karena Umar melarang manusia melakukan nikah mut’ah pastilah tidak
akan berzina kecuali orang yang celaka”.Demikian disebutkan ar Razi dari
al-Thabari. [50]
Dan Muttaqi
al-Hindi meriwayatkan dari Imam Ali as. beliau bersabda:
لَوْ لا ما
سَبَقَ مِنْ نَهْيِ عُمر بن الخطاب لأَمَرْتُ بالمُنْعَةِ، ثُمَّ ما زنى إلا شقي
“Andai bukan
karena Umar ibn Khaththab sudah melarang nikah mut’ah pastilah akan
aku perintahkan dengannya dan kemudian tidaklah menlakukan zina kecuali orang
yang celaka”. [51]
Bagaimana
mungkin kita menerima riwayat para ulama itu dari Imam Ali as. yang menegur
Ibnu Abbas ra. sementara kita menyaksikan Ibnu Abbas adalah salah satu sahabat
yang begitu getol menyuarakan hukum halalnya nikah mut’ah, beliau
siap menerima berbagai resiko dan teror dari Abdullah ibn Zubair pembrontak
yang berhasil berkuasa setelah kematian Yazid?
Apakah kita
menuduh bahwa Ibnu Abbas ra. degil, angkuh menerima kebenaran yang disampaikan
maha gurunya; Imam Ali as. sehingga ia terus saja dalam kesesatan pandangannya
tentang halalnyanikah mut’ah? Adapun dongeng-dengeng yang dirajut para
sukarelawan bahwa Ibnu Abbas bertaubat dan mencabut fatwanya tentang
halalnya nikah mut’ah, adalah hal mengelikan setelah bukti-bukti
tegak dengan sempurna bahwa ia tetap hingga akhir hayatnya meyakni
kehalalan nikah mut’ah dan mengatakannya sebagai rahmat dan kasih
sayang Allah SWT untuk hamb-hamba-Nya:
ما كانَتْ
المُتْعَةُ إلاَّ رَحْمَةً رَحِمَ اللهُ بِها أُمَّةَ محمد (ص)، لَوْ لاَ نَهْيُهُ
(عمر) ما احْتاجَ إلى الزنا إلاَّ شقِي
Tiada lain
mut’ah itu adalah rahmat, dengannya Allah merahmati umat Muhammad saw., andai
bukan karena larangan Umar maka tiada membutuhkan zina kecuali seorang yang
celaka. [52].
Bagaimana
dongeng rujuknya Ibnu Abbas ra. dapat dibenarkan sementara seluruh ahli fikih
kota Mekkah dan ulama dari murid-muridnya meyakini
kehalalan nikah mut’ah dan mengatakan bahwa itu adalah pendapat guru
besar mereka?!
Telaah
terhadap Hadis Rabi’ ibn Saburah
Adapun
tentang riwayat-riwayat Rabi’ ibn saburah, Anda perlu memperhatikan poin-poin
di bawah ini.
Pertama,
seperti Anda
saksikan bahwa banyak atau kebanyakan dari riwayat-riwayat para muhadis
Ahlusunnah tentang pengharaman nikah mut’ah adalah dari riwayat Rabii’
-putra Saburah al-Juhani- dari ayahnya; Saburah al-Juhani. Hadis-hadis riwayat
Saburah al-Juhani tentang masalah ini berjumlah tujuh belas, Imam Muslim
meriwayatkan dua belas darinya, Imam Ahmad meiwayatkan enam, Ibnu Majah
meriwayatkan satu hadis. Dan di dalamnya terdapat banyak berbeda-beda dan
ketidak akuran antara satu riwayat dengan lainnya.
Di antara
kontradiksi yang ada di dalamnya ialah:
A. Dalam
satu riwayat ia menyebutkan bahwa yang bermut’ah dengan wanita yang ditemui
adalah ayahnya, sementara dalam riwayat lain adalah temannya.
B. Dalam
sebuah riwayat ia menyebutkan bahwa bersama ayahnya adalah temannya dari suku
bani Sulaim, sementara dalam riwayat lain adalah anak pamannya.
C. Dalam
beberapa riwayat ia mengatakan bahwa mahar yang diberikan kepada wanita itu
adalah sehelai kain selimut, sementara dalam riwayat lainnya ia mengatakan dua
selimut berwarna merah.
D. Sebagian
riwayatnya mengatakan bahwa wanita itu memilih ayahnya karena ketampanan dan
ayahnya masih muda sementara yang lain mengatakan karena selimut ayahnya masih
baru.
E. Dalam
beberapa riwayat ia mengatakan bahwa ayahnya sempat bersama wanita itu selama
tiga hari sebelum akhirnya dilarang Nabi saw. sementara yang lainnya mengatakan
bahwa hanya semalam, dan keesokan harinya telah dilarang.
F. Dalam
beberapa riwayat ia mengatakan bahwa ayahnya sejak hari pertama kedatangan di
kota Mekkah telah keluar mencari wanita yang mau dinikahi secara mut’ah,
sementara yang lainnya mengatakan bahwa itu setelah lima belas hari, setelah
Nabi saw. mendapat laporan bahwa wanita-wanita di Mekkah tidak mau
kecuali nikah dengan jangka waktu, kemudian Nabi saw. mengizinkan dan
Saburah pun keluar mencari wanita yang mau dinikahi. Dan masih banyak
pertentangan lain yang dapat disaksikan dalam riwayat-riwayat yang dikutip dari
Rabi’ ibn Saburah, seperti apakah ayahnya sebelumnya telah mengetahui
konsep nikah mut’ah, atau belum, ia baru tahu dan diizinkan Nabi saw.
setelah wanita-wanita kota Mekkah enggan kecuali nikah dengan jangka
waktu.
Kedua,
disamping
itu kita menyaksikan bahwa Saburah ayah Rabi’ -sang perawi- mendapat izin
langsung dari Rasulullah saw. untuk bermut’ah, atau dalam riwayat lain Nabi-lah
yang memerintah para sahabat beliau untuk bermut’ah dihari-hari penaklukan
(fathu) kota Mekkah, dan setelah ia langusng merespon perintah atau izin itu,
dan ia mendapatkan pada hari itu juga wanita yang ia nikahi secara mut’ah
tiba-tiba keesokan harinya ketika ia salat subuh bersama Nabi saw. beliau
berpidato mengharamkan nikahmut’ah yang baru saja beliau perintahkan para
sahabat beliau untuk melakukannya, logiskah itu?! Dalam sekejap mata, sebuah
hukum Allah SWT berubah-ubah, hari ini memerintahkan keesokan harinya
mengharamkan dengan tanpa sebab yang jelas!Tidakkah para pakar kita perlu
merenungkan kenyataan ini?!
Ketiga,
terbatasnya
periwayatan kisah Saburah hanya pada Rabi’ putranya mengundang kecurigaan,
sebab kalau benar ada pe-mansuk-han kehalalan nikah mut’ah pastilah
para sahabat besar mengetahuinya, seperti tentang penghalalan yang diriwayatkan
oleh para sahabat besar dan dekat.
Keempat,
riwayat
Rabi’ ibn Saburah itu bertentangan dengan riwayat para sahabat lain seperti
Jabir ibn Abdillah, Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu Abbas, ‘Imraan ibn Hushain,
Salamah ibn al-Akwa’ dan kawan-kawan.
Dan
riwayat-riwayat mereka tidak mengahadapi masalah-masalah seperti yang
menghadangf riwayat-riwayat Rabi’ ibn Saburah.
Catatan
Penting!
Sebenarnya
dalam peristiwa itu tidak ada pengharaman yang ada hanya Nabi saw. memerintah
para sahabat yang bermut’ah dan jangka waktunya belum habis agar meninggalkan
wanita-wanita itu sebab Rasulullah saw. bersama rombongan akan segera
meninggalkan kota Mekkah. Akan tetapi para sukarelawan itu memanfaatkan hal ini
dan memplesetkannya dengan menambahkan bahwa Nabi berpidato mengharamkannya. Sekali
lagi, Nabi saw. hanya memerintahkan para sahabat beliau yang bermut’ah agar
menghibahkan sisa waktu nikah mut’ah mereka kepada wanita-wanita itu
sebab rombongan segera meninggalkan kota suci Mekkah.
Hal ini
dapat Anda temukan dalam riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya, Ahmad dalam
Musnadnya, dan al-Baihaqi dalam Sunannya, juga dari Sabrah. Dari Rabi’ ibn
sabrah al-Juhani dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah saw. mengizinkan kami
bermut’ah, lalu aku bersama seorang berangkat menuju seeorang wanita dari suku
bani ‘Amir, wanita itu muda, tinggi semampai berleher panjang, kami menawarkan
diri kami, lalu ia bertanya, “Apa yang akan kalian berikan?” Aku menjawab,
“Selimutku”. Dan temanku berkata, “Selimutku”. Selimut temanku itu lebih bagus
dari selimutku tapi aku lebih muda darinya. Apabila wanita itu memperhatikan
selimut temanku, ia tertarik, tapi ketika ia memandangku ia tertarik denganku.
Lalu ia berkata, “Kamu dan selimutmu cukup buatku! Maka aku bersamanya selama
tiga hari, kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa di sisinya ada
seorang wanita yang ia nikahi dengan mut’ah hendaknya ia biarkan ia
pergi/tinggalkan”.[53]
Dalam
pernyataan itu tidak ada pengharaman dari Nabi saw. Ada pun hadis Abu Dzar,
adalah aneh rasanya hukum itu tidak diketahui oleh semua sahabat sepanjang masa
hidup mereka sepeninggal Nabi saw. termasuk Abu Bakar dan Umar, hingga sampai
dipenghujung masa kekhalifahan Umar, ia baru terbangun dari tidur panjangnya
dan mengumandangkan suara pengharaman itu. Jika benar ada hadis dari Nabi saw.,
dimanakah hadis selama kurun waktu itu.Yang pasti para sukarelawan telah
berbaik hati dengan membantu Khalifah Umar ra. jauh setelah wafat beliau dalam
memproduksi hadis yang dinisbatkan kepada Nabi saw., agar kebijakan pengharaman
itu tidak berbenturan dengan sunah dan ajaran Nabi saw. dan agar Khalifah Umar
tampil sebagai penyegar sunah setelah sekian belas tahun terpasung.
Dan kebaikan
hati sebagian ulama dan muhadis berhati luhur dengan memalsu hadis bukan hal
aneh, dan saya harap anda tidak kaget. Karena memang demikian adanya di dunia
hadis kita; kaum Muslim. Tidak semua para sukarelawan yang memalsu hadis orang
bejat dan jahat, berniat merusak agama, tidak jarang dari mereka berhati luhur,
rajin dan tekun beribadah, hanya saja mereka memiliki sebuah kegemaran memalsu
hadis atas nama Rasulullah saw. Dan para sukarelawan model ini adalah paling
berbahaya dan mengancam kemurnian agama, sebab kebanyakan orang akan terpesona
dan kemudian tertipu dengan tampilan lahiriah yang khusu’ dan simpatik mereka.
Demikian ditegaskan ulama seperti Al Nawawi dan Al Suyuthi.
(bersambung)————–***————–
CATATAN KAKI
[1] Tafsir
Khazin (Lubab al-Ta’wiil).1,506
[2] Shahih
Muslim dengan syarah al-Nawawi.9179, bab Nikah al-Mut’ah.
[3] Fathu
al-Baari.19,200, Ktaabun- Nikah, bab Nahyu an-Nabi saw.
‘an Nikah al-Mut’ah Akhiran (bab tentang larangan Nabi saw.
akan nikah mut’ah pada akhirnya).
[4] Tafsir
Fathu al-Qadir.1,449.
[5] Tafsir
Ibnu Katsir.1,474.
[6] Ibid.
[7] Fathu
al-Baari.17,146, hadis no.4615.
[8]
Ibid.19,142-143, hadis no.5075.
[9] Shahih
Muslim dengan syarah al-Nawawi.9,182.
[10] Fathu
al-Baari.19,206-207, hadis no.5117-5118.
[11] Shahih
Muslim dengan syarah al-Nawawi.9,182. hanya saja kata rasul (utusan) diganti
dengan kata munaadi (pengumandang pengumuman).
[12]
Ibdi.183.
[13]
Ibid.183.
[14]
Ibdi.184.
[15]
Ibid.183-184.
[16]
Ibid.183.
[17]
Al-Sunan al-Kubra, Kitab al-Mut’ah, Bab Nikah-ul Mut’ah.7,206 dan ia
mengatakan bahwa hadis ini juga diriwayatkan Muslim dari jalur lain dari
Hummam.
[18]
Keterangan lebih lanjut baca Fath al-Baari.19,201 203 dan Syarah al-Nawawi atas
Shahih Muslim,9179-180.
[19] Tafsir
Ibnu Katsir.1,484, pada tafsir ayat 24 surah al-Nisaa’.
[20]
Al-Jaami’ Li Ahkaami Alqur’an.5130-131.
[21] Shahih
Muslim (dengan syarah al-Nawawi), Kitab al-Nikah, bab Nikah-ul
Mut’ah.9,189-190, dua hadis terakhir dalam bab tersebut, Sunan al-Nasa’i, bab
Tahriim al-Mut’ah, Sunan al-Baihaqi, Kitab al-Nikah,
bab Nikah al-Mut’ah.7,201, Mushannaf Abdur Razzaq.7,36 dan Majma’
al-Zawaid.4,265.
[22]
Bukhari, Kitab al-Maghazi, bab Ghazwah Khaibar, dan bab Nahyu Rasulillah
‘an nikah al-mut’ah akhiran, bab al-hiilah fi al-nikah, Sunan Abu
Daud.2,90, bab Tahriim al-Mut’ah, Sunan Ibnu Majah.1,630, Kitab-un Nikah,
bab an-nahyu ‘an Nikah al-Mut’ah, hadis no.1961, Sunan al-Turmudzi
(dengan syarah al-Mubarakfuuri).4,267-268, bab Ma ja’a
fi Nikah al-Mut’ah(27), hadis no.1130 Muwaththa’,
bab Nikah mut’ah, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah.4,292 Sunan
al-Darimi.2,140 bab al-Nahyu ‘an Mut’ah al-Nisa’, Musnad al-Thayalisi hadis
no.111 dan Musnad Imam Ahmad.1,79,130 dan142, dan Anda dapat jumpai dalam Fathu
al-Baari dalam baba-baba tersebut di atas.
[23] Baca
Sunan al-Baihaqi.7,207.
[24] Shahih
Muslim.9,185.
[25]
Ibid.186.
[26] Ibdi.
[27]
Ibid.187.
[28]
Ibdi.188-189.
[29]
Ibid.187.
[30] Ibid.189.
[31] Abu
Daud.2,227, Kitab al-Nikah, bab Nikah al-Mut’ah dan Sunan
al-Baihaqi.7,204.
[32] Sunan
al-Baihaqi.7,204.
[33] Shahih
Muslim.9,184, Mushannaf.4,292, Musnad Ahmad.4,55, Sunan al-Baihaqi.7,204 dan
Fath al-Baari.11,73.
[34] Baca
Sunan al-Baihaqi.7,204.
[35] Seperti
Anda saksikan bahwa hadis tersebut telah saya kutipkan dari empat belas sumber
terpercaya.
[36] 9,449.
[37]Syarh
Nahjul Balaghah 1, 371-372.
[38]
Ash-Shirath al-Mustaqim.3,245.
[39] Fathu
al-Baari.19,202 menukil pernyataan al-Baihaqi.
[40] Zaad
al-Ma’aad.2,204, pasal Fi Ibaahati Mut’ati al-Nisaa’i tsumma Tahriimuha
(tentang dibolehkannya nikah mut’ah kemudian pengharamannya). Dan
keterangan panjang Ibnu qayyim juga dimuat Ibnu Hajar.
[41] Fath
al-Baari.16,62. hadis no.4216.
[42] Ibid.19,202.
[43]
Ibid.201.
[44]
Ibdi.202.
[45] Ibid.
[46] Bukhari
Bab Ghazwah Khaibar, hadis no.4216, Kitab al-Dzabaaih, bab Luhuum al-Humur
al-Insiyyah, hadis no.5523, Shahih Muslim, bab Ma Ja’a Fi Nikahi al-Mut’ah
(dengan syarah a-Nawawi).9,190, Sunan Ibnu Majah.1, bab al-Nahyu
‘an Nikah al-Mut’ah (44) hadis no1961 dan Sunan Al-Baihaqi.7,201, dan
meriwayatkan hadis serupa dari Ibnu Umar. Dan di sini sebagian ulama melakukan
penipuan terhadap diri sendiri dengn mengatakan bahwa sebenarnya dalam hadis
itu ada pemajuan dan pemunduran, maksudnya semestinya yang disebut duluan
adalah Luhum Humur insiyah bukan Mut’ah al-Nisaa’. (Fath al-baari.16,62)
Mengapa? Sekali lagi agar riwayat Bukhari dkk. di atas tetap terjaga wibawanya
dan agar tidak tampak bertentang dengan kenyataan sejarah.
[47] Ucapan
pengharaman ini begitu masyhur dari Umar dan dinukil banyak ulama dalam
buku-buku mereka, di antaranya: Tafsir al-Razi.10,50, Al-Jashshash. Ahkam
Alqur’an.2,152, Al-Qurthubi. Jami’ Ahkam Alqur’an.2,270, Ibnu Qayyim. Zaad
al-Ma’ad.1,444 dan ia megatakan” dan telah tetap dari Umar…, Ibnu Abi al-Hadid.
Syarh Nahj al-Balaghah.1,182 dan 12,251 dan 252, Al-Sarakhsi al-Hanafi.
Al-Mabsuuth, kitab al-Haj, bab Alqur’an dan ia mensahihkannya, Ibnu Qudamah.
Al-Mughni.7,527, Ibnu Hazam. Al-Muhalla.7,107, Al-Muttaqi al-Hindi. Kanz
al-Ummal.8,293 dan294, al-Thahawi. Syarh Ma’ani al-Akhbaar.374 dan Sunan
al-Baihaqi.7,206.
[48]
Ibid.183.
[49]
Ibid.183-184.
[50]
Mafaatiih al-Ghaib (tafsir al-Razi).10,51
[51] Kanz
al-Ummal.8,294.
[52] Dan
dalam sebagian riwayat إلاَّ شفي dengan huruf faa’ sebagai ganti huruf qaaf,
dan artinay ialah jarang/sedikit sekali. Pernyataan Ibnu Abbas diriwayatkan
banyak ulama, seperti Ibnu al-Atsir dalam Nihayahnya, kata kerja syafa.
[53] Shahih
Muslim.9,184-185, Sunan al-Baihaqi.7,202, dan Musnad Ahmad.3,405.
Terkait