Imam Ali dalam Kaca
Mata Hadis
Buku-buku literatur hadis, baik Shihâh maupun Sunan, dipenuhi oleh
hadis-hadis Nabi saw. yang bagaikan bintang-gumintang gemilang mene-gaskan
keutamaan pelopor keadilan Islam, Imam Ali as., dan mengang-katnya tinggi di tengah-tengah
masyarakat Islam.
Setiap orang yang mau merenungkan hadis-hadis yang masyhur dan
telah tersebar di kalangan para perawi hadis itu pasti memahami tujuan utama
Nabi saw. di balik hadis-hadis tersebut. yaitu ia ingin mengangkat Ali as.
sebagai khalifah sepeninggalnya sehingga ia menjadi penerus tong-kat estafet
kenabian dan tempat rujukan umat yang bertugas menegakkan tonggak kehidupan
mereka, memperbaiki kondisi mereka, dan menuntun mereka menapak jalan
kehidupannya sehingga umat Islam menjadi pelopor bagi bangsa-bangsa dunia yang
lain.
Bila kita mencermati hadis-hadis Nabi saw. mengenai keutamaan Imam
Ali as. itu, niscaya kita temukan sekelompok hadis dikhususkan untuk dia secara
khusus dan sekelompok hadis yang lain dikhususkan untuk Ahlul Bait Nabi as.,
yang secara otomatis kelompok hadis kedua ini juga meliputi Imam Ali as. Hal
itu lantaran ia adalah junjungan ‘Itrah.
Berikut ini kami nukilkan beberapa hadis tersebut.
1. Kelompok Hadis Pertama
Hadis-hadis kelompok ini memuat berbagai macam bentuk pemuliaan
dan pengagungan terhadap Imam Ali as. dan penegasan atas keutamaan-nya.
Hadis-hadis tersebut adalah berikut ini:
a. Kedudukan Imam Ali as. di Sisi Nabi saw.
Amirul Mukminin Ali as. adalah satu-satunya orang yang paling
dekat dengan Rasulullah saw. Ali as. adalah ayah untuk kedua cucunya dan pintu
kota ilmunya. Nabi saw. sangat menghormati dan mencintai Ali as. Beberapa hadis
Nabi saw. menegaskan betapa kecintaannya saw. kepada Ali as. sangat besar. Mari
kita simak bersama beberapa hadis berikut ini.
Imam Ali as. sebagai Diri Nabi saw.
Ayat Mubâhalah menegaskan kepada kita bahwa Imam Ali as. adalah
diri dan jiwa Nabi saw. Kami telah memaparkan hal ini pada pembahasan yang
lalu. Nabi saw. sendiri telah menjelaskan dalam berbagai hadis bah-wa Ali as.
adalah diri dan jiwanya.
Pada suatu hari, Walîd bin ‘Uqbah memberikan informasi kepada Nabi
saw. bahwa Bani Walî‘ah telah murtad dari Islam. Mendengar itu, Nabi saw.
sangat murka dan bersabda: “Apakah Bani Walî‘ah menghen-tikan perbuatan mereka
itu atau aku akan utus kepada mereka seorang laki-laki yang merupakan diri dan
jiwaku; ia akan memerangi mereka dan menyandera kaum wanita mereka. Laki-laki
itu adalah orang ini.” Setelah bersabda demikian, Nabi saw. menepuk pun-dak
Imam Ali as.[1]
Dalam sebuah hadis, ‘Amr bin ‘Ash berkata: “Ketika aku kembali
dari perang Dzâtus Salâsil, aku mengira bahwa tidak seorang pun yang lebih
dicintai oleh Rasulullah saw. daripada aku. Aku bertanya kepadanya, ‘Ya
Rasulallah, siapakah yang paling Anda cintai?’ Rasulullah saw. menyebutkan nama
beberapa orang. Aku bertanya lagi, ‘Ya Rasulallah, di manakah Ali?’ Nabi saw.
menoleh kepada para sahabat seraya bersabda, ‘Sesungguhnya ia bertanya kepadaku
tentang jiwaku.’”[2]
Imam Ali as. sebagai Saudara Nabi saw.
Nabi saw. pernah mengumumkan di hadapan para sahabat bahwa Ali as.
adalah saudaranya. Masalah ini telah direkam oleh banyak hadis. Antara lain
ialah:
At-Turmudzî meriwayatkan dengan sanad dari Ibn Umar. Ibn Umar
berkata: “Rasulullah saw. telah mempersaudarakan para sahabatnya. Ke-mudain
datanglah Ali as. dengan air mata yang berlinang seraya berkata: ‘Ya
Rasulallah, engkau telah mempersaudarakan para sahabatmu. Tetapi mengapa Anda
tidak mempersaudarakanku dengan siapa pun?’ Rasulu-llah saw. Bersabda: ‘Engkau
adalah saudaraku di dunia dan di akhirat.’”[3]
Nabi saw. mempersaudarakan Ali dengan dirinya bukan hanya di dunia
ini saja. Tetapi persaudaraan antaranya Imam Ali as. ini berlanjut hingga hari
akhirat yang tak berbatas.
Anas bin Malik berkata: “Rasulullah saw. naik ke atas mimbar.
Setelah usai berpidato, ia bertanya, ‘Di manakah Ali bin Abi Thalib?’ Ali as.
segera bangkit dan berkata: “Aku di sini, ya Rasulullah.’ Tak lama kemudian
Nabi saw. memeluk Ali as. dan mencium keningnya seraya bersabda dengan suara
yang lantang: ‘Wahai kaum Muslimin, Ali adalah saudaraku dan putra pamanku. Dia
adalah darah dagingku dan rambutku. Dia adalah ayah kedua cucuku Hasan dan
Husain, penghulu para pemu-da penghuni surga.’”[4]
Dalam sebuah riwayat, Ibn Umar berkata: “Aku pernah mendengar
Rasulullah saw. bersabda pada saat melaksanakan haji Wadâ‘ semen-taranya
menunggangi unta sembari menepuk pundak Ali as.: “Ya Allah, saksikanlah. Ya
allah, aku telah menyampaikan seruan-Mu bahwa orang ini adalah saudaraku, putra
pamanku, menantuku, dan ayah kedua cucu-ku. Ya Allah, sungkurkanlah orang yang
memusuhinya ke dalam api ne-raka.’”[5]
Nabi saw. dan Imam Ali as. Berasal dari Satu Pokok
Nabi saw. pernah menegaskan bahwa ia saw. dan Ali as. berasal dari
satu pohon yang sama. Hal ini telah disebutkan dalam beberapa hadis. Berikut
ini adalah contoh dari hadis-hadis tersebut:
Dalam sebuah hadis, Jâbir bin Abdillah berkata: “Aku pernah
mendengar Rasulullah saw. bersabda kepada Ali as.: ‘Hai Ali, sesungguh-nya umat
manusia berasal dari berbagai pohon yang berbeda. Sementara engkau dan aku
berasal dari satu pohon yang sama.’ Kemudian beliau membacakan ayat:
“Dan di atas bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdam-pingan
(tapi berbeda-beda), dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman, dan pohon kurma
yang bercAbâng dan yang tidak bercAbâng, disirami dengan air yang sama ...”
(QS. Ar-Ra’d [13]:4)
Rasulullah saw. bersabda: “Aku dan Ali as. berasal dari satu
pohon, se-dangkan umat manusia berasal dari pohon yang berbeda-beda.”[6]
Sungguh betapa agung dan mulia pohon tersebut yang telah
melahirkan junjungan alam semesta, Rasulullah saw., dan pintu kota ilmunya,
Amirul Mukminin Ali as. Pohon ini adalah pohon yang penuh berkah; pohon yang
akarnya menghujam ke dalam bumi dan ranting-ran-tingnya menjulang ke langit,
dan membuahkan hasil bagi umat manusia pada setiap generasi.
Imam Ali as. sebagai Wazîr Nabi saw.
Dalam beberapa hadis, Nabi saw. sangat menekankan bahwa Ali as.
adalah wazîrnya. Di antara hadis-hadis tersebut ialah berikut ini:
Dalam sebuah hadis, Asmâ’ binti ‘Umais berkata: “Aku pernah
mendengar Rasulullah saw. Bersabda: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku ber-kata
sebagaimana saudaraku, Mûsâ berkata: ‘Ya Allah, jadikanlah untukku seorang
wazîr dari keluargaku, yaitu saudaraku Ali. Kokohkanlah aku dengannya,
sertakanlah dia dalam urusanku agar kami banyak bertasbih kepada-Mu dan
senantiasa mengingat-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui kondisi kami”.[7]
Imam Ali as. sebagai Khalifah Nabi saw.
Nabi saw. memproklamasikan bahwa Ali as. adalah khilafah
sepeninggal-nya dari sejaknya memulai dakwah. Hal itu terjadi Ketika ia
mengundang kaum Quraisy agar memeluk Islam. Di akhir pertemuan tersebut, ia
saw. berkata kepada mereka: “Dengan demikian, orang ini—yaitu Ali as.—adalah
saudaraku, washî-ku, dan khalifahku setelahku untuk kalian. De-ngarkan dan
taatilah dia!”[8]
Rasulullah saw. telah menggandengkan kekhalifahan Ali as.
sepe-ninggalnya dengan permulaan dakwah Islam. Ia juga telah menying-kirkan
kemusyrikan dan penyembahan terhadap berhala. Banyak sekali riwayat yang telah
menegaskan kekhalifahan Ali as. ini. Berikut ini seba-gian darinya:
Rasululllah saw. bersabda: “Hai Ali, engkau adalah khalifahku
untuk umatku.”[9]
Beliau saw. juga bersabda: “Di antara mereka, Ali bin Abi Thalib
paling dahulu memeluk Islam, paling banyak ilmu pengetahuannya, dan dia adalah
imam dan khalifah setelahku.”
Imam Ali as. di Sisi Nabi saw. Sepadan Hârûn di Sisi Mûsâ
Banyak sekali hadis dan riwayat telah diriwayatkan dari Nabi saw.
yang memiliki kandungan yang sama. yaitu ia bersabda kepda Ali as.: “Engkau di
sisiku seperti kedudukan Harus di sisi Mûsâ as. ...” Berikut ini kami nukilkan
sebagian hadis tersebut:
Nabi saw. bersabda kepada Ali as.: “Tidakkah engkau rela bahwa
engkau di sisiku sebagaimana kedudukan Hârûn di sisi Mûsâ as., hanya saja tidak
ada nabi lagi setelahku?”[10]
Sa‘îd bin Mûsâyyib meriwayatkan hadis dari ‘Âmir bin Sa‘d bin Abi
Waqqâsh, dari ayahnya, Sa’d. Sa‘d berkata: “Rasulullah saw. pernah ber-sabda
kepada Ali as.: “Engkau di sisiku seperti kedudukan Hârûn di sisi Mûsâ as.,
hanya saja tidak ada nabi lagi setelahku.’”
Sa‘îd berkata: “Aku ingin menyampaikan informasi tersebut kepada
Sa‘d. Aku menjumpainya dan kuceritakan apa yang diceritakan oleh ‘Âmir. Sa‘d
berkata: “Aku pun telah mendengarnya.’ Aku bertanya: “Sungguh engkau telah
mendengarnya?” Ia meletakkan jarinya di kedua telinganya seraya berkata: “Ya,
aku telah mendengarnya. Jika tidak, berarti aku tuli.’”[11]
Imam Ali as. sebagai Gerbang Kota Ilmu Nabi saw.
Satu hal lagi tentang ketinggian dan keagungan kedudukan Ali as.
yang ditegaskan oleh Nabi saw. adalah bahwa ia telah menjadikannya sebagai
pintu kota ilmunya. Hadis-hadis mengenai hal ini telah diriwayatkan melalui
beberapa jalur sehingga mencapai peringkat qath‘î (meyakinkan). Hadis-hadis ini
telah diriwayatkan dari Rasulullah saw. pada beberapa kesempatan. Di antaranya
adalah berikut ini:
Jâbir bin Abdillah berkata: “Pada peristiwa Hudaibiyah, aku
mende-ngar Rasulullah saw. bersabda sambil memegang tangan Ali as.: “Orang ini
adalah pemimpin orang-orang saleh, pembasmi orang-orang zalim, akan ditolong
siapa yang membelanya, dan akan terhina siapa yang menghinanya.’ Lalunya
mengeraskan suaranya: “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya. Barang
siapa yang ingin memasuki rumah, hendaklah ia masuk melalui pintunya.’”[12]
Ibn Abbâs berkata: “Rasulullah saw. bersabda: “Aku adalah kota
ilmu dan Ali adalah pintunya. Barang siapa yang ingin memasuki kota, maka
hendaklah ia mendatangi pintunya.”[13]
Rasulullah saw. bersabda: “Ali adalah pintu ilmuku dan penjelas
risalahku kepada umatku sepeninggalku nanti. Mencintainya adalah iman,
memurkainya adalah kemunafikan, dan memandangnya adalah kasih sayang.”[14]
Amirul Mukminin Ali as. adalah pintu kota ilmu Nabi saw. Setiap
ajaran agama, hukum syariat, akhlak yang mulia, dan tata krama luhur yang
datang darinya, semua itu bersumber dari Nabi saw. Konse-kuensinya, kita harus
mematuhi dan mengikutinya.
Sesungguhnya Nabi saw. telah meninggalkan sumber ilmu pengetahuan
untuk memenuhi kehidupan ini dengan hikmah dan kesejahteraan. Sumber itunya
titipkan kepada Ali as. agar umat ini dapat menimba darinya. Tetapi sangat
sekali, kekuatan zalim yang dengki kepada Imam Ali as. telah menutup jendela
cahaya tersebut, mencegah umat untuk mengambil manfat darinya, dan membiarkan
mereka terperosok ke dalam kebodohan hidup ini.
Imam Ali as. Serupa dengan Para Nabi
Suatu ketika Nabi saw. berada di tengah-tengah para sahabat. Ia
berkata kepada mereka: “Jika kalian ingin melihat ilmu pengetahuan Adam as.,
kesedihan Nuh as., ketinggian akhlak Ibrahim as., munajat Mûsâ as., usia Isa
as., dan petunjuk serta kelembutan Muhammad saw., maka hendaklah kalian melihat
orang yang akan datang sebentar lagi.” Setelah agak lama mereka menanti-nanti
siapa yang akan datang, tiba-tiba Amirul Mukmini Ali as. muncul.”
Seorang penyair terkenal, Abu Abdillah Al-Mufajji‘, telah banyak
menyusun bait- bait syair tentang keagungan dan kemuliaan Imam Ali as. Ketika
mengungkapkan realita tersebut di atas, ia menulis:
Wahai pendengki kekasihku Ali, masuklah ke dalam neraka Jahim
dengan terhina.
Masihkah engkau menyindir manusia terbaik, sedang engkau
tersingkir-kan dari petunjuk dan cahaya?
Dialah yang mirip para nabi di kala kanak dan muda, di kala
menyusu, disapih dan di kala makan.
Ilmunya bagai Adam di kala ia menjelaskan nama-nama dan alam
semesta.
Bagai Nuh di kala selamat dari maut ketika ia turun di bukit Jûdî.[15]
Mencintai Ali as. adalah Keimanam; Membencinnya adalah
Kemunafikan
Nabi Muhammad saw. menegaskan kepada umat bahwa mencintai Ali as.
adalah tanda keimanan dan ketakwaam. Sementara membencinya adalah kemunafikan
dan maksiat. Beriktu ini sebagian riwayat yang telah diri-wayatkan darinya
tentang hal ini:
Ali as. berkata: “Demi Dzat yang membelah biji-bijian dan mencip-takan
manusia, sesungguhnya janji Nabi yang ummî kepadaku adalah bahwa tidak ada yang
mencintaiku kecuali orang mukmin dan tidak membenciku melainkan orang munafik.”[16]
Al-Musâwir Al-Humairî meriwayatkan hadis dari ibunya. Ibunya
berkata: “Ummu Salamah datang menjumpaiku dan aku mendengar ia mengatakan bahwa
Rasulullah saw. bersabda: “Orang munafik tidak akan mencintai Ali dan orang
mukmin tidak akan membencinya.’”[17]
Ibn Abbâs pernah meriwayatkan sebuah hadis. Ia berkata:
“Rasu-lullah saw. memandang kepada Ali as. seraya bersabda: “Tidak mencin-taimu
melainkan orang mukmin dan tidak membencimu kecuali orang munafik. Barang siapa
yang mencintaimu, berarti ia mencintaiku. Barang siapa yang membencimu, berarti
ia membenciku. Kekasihku adalah kekasih Allah dan pendengkiku adalah pendengki
Allah. Sungguh celaka orang yang mendengkimu setelahku nanti.’”[18]
Dalam sebuah riwayat, Abu Sa‘îd Al-Khudrî berkata: “Rasulullah
saw. pernah bersabda kepada Ali as., ‘Mencintaimu adalah keimanan dan membencimu
adalah kemunafikan. Orang yang pertama masuk surga adalah pecintamu dan orang
pertama yang masuk neraka adalah pen-dengkimu.’”[19]
Hadis-hadis di atas telah tersebar luas di kalangan para sahabat
nabi saw. Mereka menerapkan hadis-hadis tersebut kepada orang yang mencintai
Ali as. dan menyebutnya sebagai orang mukmin. Sementara orang yang mendengkinya
mereka sebut sebagai orang munafik.
Seorang sahabat terkemuka yang bernama Abu Dzar Al-Gifârî pernah
berkata: “Kami tidak mengenal orang-orang munafik, kecuali ketika mereka
berdusta kepada Allah dan Rasul-Nya, meninggalkan salat, dan mendengki Ali bin
Abi Thalib as.”[20]
Seorang sahabat Nabi terkemuka lainnya yang bernama Jâbir bin
Abdillah Al-Anshârî juga pernah berkata: “Kami tidak pernah mengenal
orang-orang munafik kecuali ketika mereka mendengki Ali bin Abi Thalib as.”[21]
b. Kedudukan Imam Ali as. di Sisi Allah swt.
Selanjutnya kita beralih menjelaskan sebagian hadis yang telah
diriwa-yatkan dari Nabi saw. berhubungan dengan keagungan Imam Ali as. di sisi
Allah swt. dan kemuliaan-kemuliaan yang ia miliki.
Sejumlah hadis yang telah diriwayatkan dari Rasulullah saw.
Ber-hubungan dengan kemuliaan Imam Ali as. di sisi Allah di akhirat kelak.
Sebagian hadis tersebut adalah berikut ini:
Imam Ali as. sebagai Pembawa Bendera Pujian
Banyak sekali hadis sahih dari Nabi saw. yang menjelaskan bahwa
Imam Ali as. pada Hari Kiamat kelak akan diberikan kemuliaan oleh Allah swt.
untuk membawa bendera pujian. Hal ini adalah anugerah khusus yang tidak
diberikan kepada siapa pun selainnya. Di antara hadis-hadis terse-but adalah
hadis berikut ini:
Rasulullah saw. bersabda kepada Imam Ali as.: “Pada Hari Kiamat
kelak, engkau akan berada di hadapanku. Ketika itu aku diberi bendera pujian,
lalu bendera tersebut kuserahkan kepadamu. Sementara engkau sedang mengusir
orang-orang (yang tidak berhak) dari telagaku.”[22]
Imam Ali as. sebagai Pemilik Telaga Haudh Nabi saw.
Banyak sekali hadis Nabi saw. yang menjelaskan bahwa Imam Ali as.
adalah pemilik telaga Haudh Nabi saw., sungai di surga yang paling sejuk,
paling manis, dan sangat indah dipandang mata itu. Tak seorang pun da-pat
meneguk airnya kecuali orang yang ber-wilâyah dan mencintai Imam Ali as.
Berikut ini kami paparkan sebagian hadis tersebut:
Rasulullah saw. bersabda: “Ali bin Abi Thalib as. adalah pemilik
te-laga Haudh-ku kelak di Hari Kiamat. Di sekelilingnya berjejer gelas-gelas
sebanyak bilangan bintang di langit. Luas telaga Haudh-ku itu sejauh antara
Jâbiyah dan Shan’a.”[23]
Imam Ali as. sebagai Pemilah Surga dan Neraka
Di antara posisi agung dan mulia yang diberikan oleh Rasulullah
saw. kepada pintu kota ilmunya ini adalah bahwa ia adalah pemilah surga dan
nereka. Ibn Hajar pernah meriwayatkan sebuah hadis bahwa Imam Ali as. pernah
berkata kepada anggota Dewan Syura yang telah dipilih oleh Umar: “Demi Allah,
apakah di antara kalian ada seseorang yang pernah disebut oleh Rasulullah saw.
dengan sabda: ‘Wahai Ali, engkau adalah pe-milah surga dan neraka pada Hari
Kiamat kelak’, selainku?”
“Tak seorang pun”, jawab mereka pendek.
Ibn Hajar memberikan catatan atas hadis ini. Ia menulis: “Maksud-nya
ialah ucapan yang pernah diriwayatkan dari Imam Ar-Ridhâ as. Sabda Nabi saw.
kepada Ali as.: ‘Engkau adalah pemilah surga dan neraka pada Hari Kiamat
kelak’, berarti engkau, hai Ali, berkata kepada neraka: ‘Ini adalah bagianku
dan yang ini adalah bagianmu.’”[24]
Dapat dipastikan bahwa tak seorang wali Allah pun, baik sebelum
maupun setelah Islam, yang pernah memperoleh kemuliaan tak berbatas ini seperti
yang pernah diperoleh oleh Imam Ali as. Allah swt. telah menganugerahkan
kemulian itu kepadanya sebagai penghargaan atas jerih payah dan jihadnya di
jalan Islam, dan atas usahanya dalam mengikis habis egoisme dan kerelaannya
berkhidmat kepada kebenaran.
2. Kelompok Hadis Kedua
Tidak sedikit hadis yang telah diriwayatkan dari Nabi saw. tentang
keu-tamaan Ahlul Bait Nabi saw. yang suci, keharusan mencintai dan berpegang
teguh kepada mereka. Berikut ini adalah sebagian dari hadis-hadis tersebut:
Hadis Tsaqalain
Hadis Tsaqalain termasuk hadis Nabi saw. yang paling indah, paling
sahih, dan paling tersebar luas di kalangan muslimin. Hadis ini telah
diabadikan oleh Enam Kitab Sahih (Al-Kutub As-Sittah), dan para ulama juga
mene-rimanya.
Perlu diingatkan di sini bahwa Nabi saw. telah menyampaikan hadis
tersebut di beberapa tempat dan kesempatan. Di antaranya berikut ini:
Zaid bin Arqam meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda:
“Sesung-guhnya aku tinggalkan dua pusaka berharga untuk kalian. Jika kalian
berpegang teguh kepada keduanya, maka kalian tidak akan tersesat selamanya
sepeninggalku nanti. Salah satunya lebih agung daripada yang lainnya. Yaitu
Kitab Allah, tali yang membentang dari langit ke bumi, dan yang kedua adalah
‘Itrahku, Ahlul Baitku. Keduanya itu tidak akan per-nah berpisah sampai
menjumpaiku di telaga Haudh kelak. Perhatikanlah bagaimana kalian memperlakukan
keduanya itu sepeninggalku kelak.”[25]
Nabi saw. juga pernah menyampaikan hadis ini ketika sedang
melaksanakan haji Wada’ pada hari Arafah. Jâbir bin Abdillah Al-Anshârî
meriwayatkan hadis seraya berkata: “Aku melihat Rasulullah saw. pada haji Wada’
pada hari Arafah. Ketika itunya berpidato sedangnya berdiri di atas punggung
untanya yang bernama Al-Qashwâ’. Aku mendengarnya berkata, ‘Wahai manusia,
sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian sesuatu yang jika kalian mengikutinya,
niscaya kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitab Allah dan ‘Itrahku, Ahlul
Baitku.’”[26]
Rasulullah saw. juga pernah berpidato di hadapan para sahabat
Ketika ia berada di atas ranjang pada saat mendekati wafat. Ia saw. Ber-sabda:
“Wahai manusia, sebentar lagi nyawaku akan diambil dengan cepat, lalu aku
pergi. Dan sebelum ini aku pernah menyampaikan suatu ucapan kepada kalian.
Yaitu aku tinggalkan untuk kalian Kitab Tuhanku Yang Mulia nan Agung dan
‘Itrahku, Ahlul Baitku.” Kemudian ia saw. memegang tangan Ali as. seraya
berkata: “Inilah Ali yang selalu bersama Al-Qur’an dan Al-Qur’an pun senantiasa
bersamanya. Keduanya tidak akan pernah berpisah hingga mendatangiku di telaga
Haudh.”[27]
Hadis Bahtera Nuh as.
Dalam sebuah riwayat, Abu Sa‘îd Al-Khudrî berkata: “Aku pernah
men-dengar Rasulullah saw. Bersabda: ‘Sesungguhnya perumpamaan Ahlul Baitku di
tengah-tengah kalian bagaikan bahtera Nuh as. selamatlah orang yang menaikinya,
dan bnasalah orang yang meninggalkannya, maka ia akan tenggelam. Dan
perumpamaan Ahlul Baitku di tengah-tengah kalian bagaikan pintu Hiththah
(pengampunan) bagi Bani Isra’il. Barang siapa yang memasukinya, dosanya akan
diampuni.”[28]
Hadis tersebut menegaskan agar umat manusia berpegang teguh kepada
‘Itrah suci. Karena mereka adalah kunci keselamatan mereka dari tenggelam dan
kebinggungan hidup ini. Ahlul Bait adalah bahtera penye-lamat dan pengaman bagi
umat manusia.
Imam Syarafuddin menulis: “Anda tahu bahwa maksud dari
penye-rupaan mereka dengan bahtera Nuh as. adalah bahwa barang siapa yang
bersandar kepada mereka di dunia dan akhirat; yaitu mengambil ajaran agama, baik
pondasi maupun cAbângnya, dari para imam suci, maka ia akan selamat dari azab
api neraka. Dan barang siapa mem-belakangi mereka, maka ia seperti orang yang
berlindung kepada bukit ketika topan bergemuruh kencang agar selamat dari
ketentuan Allah. Perbedaannya, ia hanya tenggelam di air. Sedangkan orang yang
mening-galkan para imam suci akan terjerumus ke dalam neraka Jahanam. Semoga
Allah melin-dungi kita.
“Adapun sisi penyerupaan mereka dengan pintu pengampunan, artinya
adalah Allah swt. menjadikan pintu tersebut sebagai salah satu lambang
kerendahan diri terhadap keagungan-Nya dan ketundukan kepa-da ketentuan-Nya.
Dengan demikian pintu itu menjadi faktor pengam-punan dosa. Ini adalah rahasia
penyerupaan tersebut”.
Akan tetapi Ibn Hajar berupaya mengutarakan rahasia yang lain di
balik penyerupaan itu. Setelah memaparkan hadis tersebut dan hadis-hadis
lainnya yang serupa, ia menuliskan: “Sisi penyerupaan mereka dengan bahtera Nuh
as. yaitu bahwa barang siapa yang mencintai dan menghormati mereka karena mensyukuri
nikmat kemuliaan mereka dan mengikuti petunjuk ulama mereka, maka ia akan
selamat dari kegelapan pertentangan. Dan barang siapa yang meninggalkan mereka,
maka ia akan tenggelam di lautan pengingkaran nikmat dan terjerumus ke dalam
lembah kesesatan ... Adapun faktor penyerupaan mereka dengan pintu Hiththah
adalah bahwa sesungguhnya Allah swt. telah menjadikan masuk ke pintu Araiha
atau Baitul Maqdis dengan rasa rendah hati dan beris-trigfar sebagai faktor
pengampunan dosa, dan juga menjadikan kecintaan kepada Ahlul Bait sebagai sebab
pengampunan dosa bagi umat ini, (tidak lebih dari itu).[29]
Hadis Ahlul Bait Pengaman Umat
Nabi saw. mewajibkan kecintaan kepada Ahlul Bait atas umat ini. Ia
menegaskan bahwa berpegang teguh kepada mereka adalah faktor pengaman dari
kehancuran. Ia saw. bersabda: “Bintang-bintang adalah pengaman bagi penduduk
bumi dari tenggelam. Dan Ahlul Baitku adalah pengaman bagi umatku dari pertentangan
dan pertikaian. Apabila salah satu kabilah Arab menentang mereka, ini berarti
mereka telah bertikai. Akibatnya, mereka menjadi pengikut Iblis.”[30]
1. [1]Majma‘Az-Zawâ’id, Jil. 7/110. Ternyata Walîd
berdusta. Maka turunlah ayat: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu
tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa pengetahuan ....” (QS.
Al-Hujurât [49]:6)
1. [2]Kanz Al-‘Ummâl, Jil. 6/400.
2. [3]Shahîh At-Turmudzî, Jil. 2/299; Mustadrak
Al-Hâkim, Jil. 3/14.
3. [4]Dzakhâ’ir Al-‘Uqbâ, hal. 92.
1. [5]Kanz Al-‘Ummâl, Jil. 3/61.
2. [6]Kanz Al-‘Ummâl, Jil. 6/154.
3. [7]Ar-Riyâdh An-Nâdhirah, Jil. 2/163.
1. [8]Târîkh At-Thabarî, Jil. 2/127; Târîkh Ibn
Atsîr, Jil. 2/22; Târîkh Abi Al-Fidâ’, Jil. 1/116; Mus-nad Ahmad, Jil. 1/331;
Kanz Al-‘Ummâl, Jil. 6/399.
2. [9]Al-Murâja‘ât, hal. 208.
3. [10]Musnad Abu Daud, Jil. 1/29; Hilyah
Al-Awliyâ’, Jil. 7/195; Musykil Al-Âtsâr, Jil. 2/309; Mus-nad Ahmad bin Hanbal,
Jil. 1/182; Târîkh Bagdad, Jil. 11/432; Khashâ’ish An-Nasa’î, hal. 16.
1. [11]Usud Al-Ghâbah, Jil. 4/26; Khashâ’ish
An-Nisa’î, hal. 15; Shahîh Muslim, kitab Fadhâ’il Al-Ashhâb, Jil. 7/ 120.
2. [12]Târîkh Bagdad, Jil. 2/ 377.
3. [13]Kanz Al-‘Ummâl, Jil. 6/ 401.
4. [14]Kanz Al-‘Ummâl, Jil. 6/ 156; As-Shawâ‘iq
Al-Muhriqah, hal. 73.
1. [15]Mu‘jam Al-Udabâ’, Jil. 17/200.
2. [16]Shahîh At-Turmudzî, Jil. 1/ 301; Shahîh Ibn
Mâjah, Jil. 12; Târîkh al-Baghdad, Jil. 1/255; Hilyah Al-Awliyâ’, Jil. 4/ 185.
3. [17]Shahîh At-Turmudzî, Jil. 1/ 299.
1. [18]Majma‘ Az-Zawâ’id, Jil. 9/ 133.
2. [19]Nûr Al-Abshâr, hal. 72.
3. [20]Mustadrak Al-Hâkim, Jil. 3/ 129.
4. [21]Al-Istî‘âb, Jil. 2/ 464.
1. [22]Kanz Al-‘Ummâl, Jil. 6/ 400.
2. [23]Majma‘ Az-Zawâ’id, Jil. 1/ 367.
3. [24]Ash-Shawâ‘iq Al-Muhriqah, hal. 75.
1. [25]Shahîh At-Turmudzî, Jil. 2/ 308.
2. [26]Ibid; Jil. 2/ 308; Kanz Al-‘Ummâl, Jil. 1/
84.
1. [27]Ash-Shawâ‘iq Al-Muhriqah, hal. 75.
2. [28]Majma‘ Az-Zawâ’id, Jil. 9/168; Al-Mustadrak,
Jil. 2/ 43; Târîkh al-Baghdad, Jil. 2/120; Al-Hilyah, Jil. 4/ 306;
Adz-Dzakâ’ir, hal. 20.
1. [30]Mustadrak Al-Hâkim, Jil. 3/ 149; Kanz
Al-‘Ummâl, Jil. 6/116. Dalam kitab Faidh Al-Qadîr dan Majma‘ Az-Zawâ’id, Nabi
saw. bersabda: “Bintang-bintang adalah pengaman bagi penduduk bumi dan Ahlu
Baitku adalah pengaman bagi umatku.”
2. [31]Ar-Riyâdh An-Nâdhirah, Jil. 2/ 252. Hadis
serupa terdapat dalam Shahîh At-Turmudzî, Jil. 2/ 319 dan Sunan Ibn Mâjah, Jil.
1/ 52.