|
Sejarah
Munculnya Syi’ah
a.Kapan Syi’ah Muncul?
Syi’ah sebagai pengikut Ali bin Abi Thalib a.s. (imam pertama kaum
Syi’ah) sudah muncul sejak Rasulullah SAWW masih hidup. Hal ini dapat
dibuktikan dengan realita-realita berikut ini:
Pertama, ketika Rasulullah SAWW mendapat perintah dari Allah SWT untuk
mengajak keluarga terdekatnya masuk Islam, ia berkata kepada mereka: “Barang
siapa di antara kalian yang siap untuk mengikutiku, maka ia akan menjadi
pengganti dan washiku setelah aku meninggal dunia”. Tidak ada seorang pun di antara
mereka yang bersedia untuk mengikutinya kecuali Ali a.s. Sangat tidak masuk
akal jika seorang pemimpin pergerakan --di hari pertama ia memulai
langkah-langkahnya--memperkenalkan penggantinya setelah ia wafat kepada orang
lain dan tidak memperkenalkanya kepada para pengikutnya yang setia. Atau ia
mengangkat seseorang untuk menjadi penggantinya, akan tetapi, di sepanjang masa
aktifnya pergerakan tersebut ia tidak memberikan tugas sedikit pun kepada
penggantinya dan memperlakukannya sebagaimana orang biasa. Keberatan-keberatan
di atas adalah bukti kuat bahwa Imam Ali a.s. setelah diperkenalkan sebagai
pengganti dan washiRasulullah SAWW di hari pertama dakwah, memiliki misi yang tidak
berbeda dengan missi Rasulullah SAWW dan orang yang mengikutinya berarti ia
juga mengikuti Rasulullah SAWW.
Kedua, berdasarkan riwayat-riwayat mutawatir yang dinukil oleh Ahlussunnah dan Syi’ah,
Rasulullah SAWW pernah bersabda bahwa Imam Ali a.s. terjaga dari setiap dosa
dan kesalahan, baik dalam ucapan maupun perilaku. Semua tindakan dan
perilakunya sesuai dengan agama Islam dan ia adalah orang yang paling tahu
tentang Islam.
Ketiga, Imam Ali a.s. adalah sosok figur yang telah berhasil
menghidupkan Islam dengan pengorbanan-pengorbanan yang telah lakukannya.
Seperti, ia pernah tidur di atas ranjang Rasulullah SAWW di malam peristiwa lailatul mabit ketika Rasulullah SAWW hendak berhijrah ke
Madinah dan kepahlawannya di medan perang Badar, Uhud, Khandaq dan Khaibar.
Seandainya pengorbanan-pengorbanan tersebut tidak pernah dilakukannya, niscaya
Islam akan sirna di telan gelombang kebatilan.
<pKeempat, peristiwa Ghadir Khum adalah puncak
keistimewaan yang dimiliki oleh Imam Ali a.s. Sebuah peristiwa --yang
seandainya dapat direalisasikan sesuai dengan kehendak Rasulullah SAWW-- akan
memberikan warna lain terhadap Islam.
Semua keistimewaan dan keistimewaan-keistimewaan lain yang diakui
oleh Ahlussunnah bahwa semua itu hanya dimiliki oleh Imam Ali a.s. secara
otomatis akan menjadikan sebagian pengikut Rasulullah SAWW yang memang
mencintai kesempurnaan dan hakikat, akan mencintai Imam Ali a.s. dan lebih dari
itu, akan menjadi pengikutnya. Dan tidak menutup kemungkinan bagi sebagian
pengikutnya yang memang memendam rasa dengki di hati kepada Imam Ali a.s.,
untuk membencinya meskipun mereka melihat ia telah berjasa dalam mengembangkan
dan menjaga Islam dari kesirnaan.
b.Mengapa Minoritas Syi’ah
berpisah dari mayoritas Ahlussunnah?
Dengan melihat keistimewaan dan kedudukan yang dimiliki oleh Imam
Ali a.s., para pengikutnya meyakini bahwa ia adalah satu-satunya sahabat yang
berhak untuk menggantikan kedudukan Rasulullah SAWW setelah ia wafat. Keyakinan
ini menjadi semakin mantap setelah peristiwa “kertas dan pena” yang terjadi
beberapa hari sebelum ia meninggal dunia. Akan tetapi, kenyataan bericara lain.
Ketika Ahlul Bayt a.s. dan para pengikut setia mereka sedang sibuk mengurusi
jenazah Rasulullah SAWW untuk dikebumikan, mayoritas sahabat yang didalangi
oleh sekelompok sahabat yang memiliki kepentingan-kepentingan pribadi dengan
Islam, berkumpul di sebuah balai pertemuan yang bernama Saqifah Bani Sa’idah
guna menentukan khalifah pengganti Rasulullah SAWW. Dan dengan cara dan metode
keji, para dalang “permainan” ini menentukan Abu Bakar sebagai khalifah pertama
muslimin.
Setelah para pengikut Imam Ali a.s. yang hanya segelintir selesai
mengebumikan jenazah Rasulullah SAWW, mereka mendapat berita bahwa khalifah muslimin
telah dipilih. Banyak pengikut Imam Ali a.s. seperti Abbas, Zubair, Salman, Abu
Dzar, Ammar Yasir dan lain-lain yang protes atas pemilihan tersebut dan
menganggapnya tidak absah. Yang mereka dengar hanyalah alasan yang biasa
dilontarkan oleh orang ingin membela diri. Mereka hanya berkata: “Kemaslahatan
muslimin menuntut demikian”.
Protes minoritas inilah yang menyebabkan mereka memisahkan diri
dari mayoritas masyarakat yang mendominasi arena politik kala itu. Dengan
demikian, terwujudlah dua golongan di dalam tubuh masyarakat muslim yang baru
ditinggal oleh pemimpinnya. Akan tetapi, pihak mayoritas yang tidak ingin
realita itu diketahui oleh para musuh luar Islam, mereka mengeksposkan sebuah
berita kepada masyarakat bahwa pihak minoritas itu adalah penentang
pemerintahan yang resmi. Akibatnya, mereka dianggap sebagai musuh Islam.
Meskipun adanya tekanan-tekanan dari kelompok mayoritas, kelompok
minoritas ini masih tetap teguh memegang keyakinannya bahwa kepemimpinan adalah
hak Imam Ali a.s. setelah Rasulullah SAWW meninggal dunia. Bukan hanya itu,
dalam menghadapi segala problema kehidupan, mereka hanya merujuk kepada Imam
Ali a.s. untuk memecahkannya, bukan kepada pemerintah. Meskipun demikian,
berkenaan dengan problema-problema yang menyangkut kepentingan umum, mereka
tetap bersedia untuk ikut andil memecahkannya. Banyak problema telah terjadi
yang tidak dapat dipecahkan oleh para khalifah, dan Imam Ali a.s. tampil aktif
dalam memecahkannya.
c. Penyelewengan pada
Masa Tiga Khalifah
Pada masa kepemimpinan tiga khalifah pertama muslimin, banyak
terjadi penyelewengan-penyelewengan dilakukan oleh mereka dalam menjalankan
pemerintahan yang tidak sesuai dengan rel Islam dan sunnah Rasulullah SAWW.
Diamnya pemerintah atas pembunuhan yang telah dilakukan oleh Khalid bin Walid
terhadap Malik bin Nuwairah yang berlanjut dengan pemerkosaan terhadap
istrinya, pembagian harta baitul mal yang tidak merata sehingga menimbulkan perbedaan
strata masyarakat kaya dan miskin, penghapusan dua jenis mut’ah yang sebelumnya
pernah berlaku pada masa Rasulullah SAWW, penghapusan khumus dari orang-orang
yang berhak menerimanya, pelarangan penulisan hadis-hadis Rasulullah SAWW,
pelarangan mengucapkan hayya ‘alaa khairil ‘amal dalam azan, pemberian harta dan dukungan
istimewa kepada Mu’awiyah sehingga ia dapat berkuasa di Syam dengan leluasa,
dan lain sebagainya, semua itu adalah bukti jelas penyelewengan dan kepincangan
yang terjadi pada masa tiga khalifah pertama. Semua itu jelas terjadi sehingga
orang yang berpikiran jernih dan tidak dipengaruhi oleh fanatisme mazhab akan
dapat menerimanya dengan menelaah buku-buku sejarah yang otentik.
Setelah Utsman bin Affan, Khalifat ketiga muslimin dibunuh oleh
para “pemberontak” yang tidak rela dengan kinerjanya selama ia memegang tampuk
khilafah, masyarakat dengan serta merta memilih Imam Ali a.s. secara aklamasi
untuk memegang tampuk khilafah. Di antara Muhajirin yang pertama kali berbai’at
dengannya adalah Thalhah dan Zubair. Hal ini terjadi pada tahun 5 H. Sangat
disayangkan kekhilafahannya hanya berjalan sekitar 4 tahun 5 bulan, masa yang
sangat sedikit untuk mengadakan sebuah perombakan dan reformasi mendasar.
Begitu ia menjadi khalifah, khotbah pertama yang dilontarkannya
adalah sebagai berikut: “Ketahuilah bahwa segala kesulitan yang pernah kalian
alami di masa-masa pertama Rasulullah SAWW diutus menjadi nabi, sekarang akan
kembali menimpa kalian. Sekarang orang-orang yang memiliki keahlian dan selama
ini disingkirkan harus memiliki kedudukan yang layak dan orang-orang yang tidak
becus harus disingkirkan dari kedudukan yang telah diberikan kepada mereka
dengan tidak benar”.
Ia mengadakan perombakan-perombakan secara besar-besaran, baik di
bidang birokrasi maupun bidang pembagian harta baitul mal. Ia mengganti semua gubernur daerah yang telah
ditunjuk oleh para khalifah sebelumnya dengan orang-orang yang layak untuk
memegang tampuk tersebut dan membagikan harta baitul mal dengan sama rata di antara masyarakat. Hal ini
menyebabkan sebagian sahabat sakit hati. Tentunya mereka yang merasa dirugikan
oleh metode Imam Ali a.s. tersebut. Hal itu dapat kita pahami dalam
peristiwa-peristiwa berdarah berikut:
Faktor utama perang Jamal adalah rasa sakit hati Thalhah dan
Zubair karena hak mereka --sebagai sahabat senior-- dari harta baitul mal merasa dikurangi dan disamaratakan dengan
masyarakat umum. Dengan alasan ingin menziarahi Ka’bah, mereka masuk ke kota
Makkah dan menemui A’isyah yang memiliki hubungan tidak baik dengan Imam Ali
a.s. demi mengajaknya memberontak atas pemerintahan yang sah. Slogan yang
mereka gembar-gemborkan untuk menarik perhatian opini umum adalah membalas
dendam atas kematian Utsman. Padahal, ketika Utsman dikepung oleh para
“pemberontak” yang ingin membunuhnya, mereka ada di Madinah dan tidak sedikit
pun usaha yang tampak dari mereka untuk membelanya. A’isyah sendiri adalah
orang pertama dan paling bersemangat mensupport masyarakat untuk membunuhnya.
Ketika ia mendengar Utsman telah terbunuh, ia mencelanya dan merasa bahagia
karena itu.
Faktor utama perang Shiffin adalah rasa tamak Mu’awiyah atas
khilafah, karena ia telah disingkirkan oleh Imam Ali a.s. dari kursi
kegubernuran Syam. Perang ini berlangsung selama 1,5 tahun yang telah memakan
banyak korban tidak bersalah. Slogan Mu’awiyah di perang adalah membalas dendam
atas kematian Utsman juga. Padahal, selama Utsman dalam kepungan para
“pemberontak”, ia meminta bantuan dari Mua’wiyah yang bercokol di Syam demi
membasmi mereka. Dengan satu pleton pasukan lengkap, Mu’awiyah berangkat dari
Syam ke arah Madinah. Akan tetapi, di tengah perjalanan mereka sengaja
memperlambat jalannya pasukan sehingga Utsman terbunuh. Setelah mendengar
Utsman terbunuh, mereka kembali ke Syam dan kemudian bergerak kembali menuju ke
Madinah dengan slogan “membalas dendam atas kematian Utsman”. Akhirnya pecahlah
Shiffin.
Anehnya, ketika Imam Ali a.s. syahid dan Mu’awiyah berhasil
memegang tampuk khilafah, mengapa ia tidak mendengung-dengungkan kembali slogan
“membalas dendam atas kematian Utsman”?
Setelah perang Shiffin berhasil dipadamkan, perang Nahrawan berkecamuk.
Faktornya adalah ketidakpuasan sebagian sahabat yang disulut oleh Mu’awiyah
atas pemerintahan Imam Ali a.s. dan atas hasil perdamaian yang dipaksakan oleh
mereka sendiri terhadap Imam Ali a.s. yang menghasilkan pencabutannya dari
kursi khilafah dan penetapan Mu’awiyah sebagai khalifah muslimin. Tapi
akhirnya, Imam Ali a.s. juga berhasil memadamkan api perang tersebut.
Tidak lama berselang dari peristiwa Nahrawan, Imam Ali a.s. syahid
dengan kepala yang mengucurkan darah akibat tebasan pedang Abdurrahman bin
Muljam di mihrab masjid Kufah.
d.
Keberhasilan-keberhasilan Pemerintahan Imam Ali a.s.
Meskipun Imam Ali a.s. tidak berhasil memapankan kembali situasi
masyarakat Islam yang sudah bobrok itu secara sempurna, akan tetapi, dalam tiga
segi ia dapat dikatakan berhasil:
Pertama, dengan kehidupan sederhana yang dimilikinya, ia berhasil
menunjukkan kepada masyarakat luas, khususnya para generasi baru, metode hidup
Rasulullah SAWW yang sangat menarik dan pantas untuk diteladani. Hal ini
berlainan sekali dengan kehidupan Mu’awiyah yang serba mewah. Ia a.s. tidak
pernah mendahulukan kepentingan keluarganya atas kepentingan umum.
Kedua, dengan segala kesibukan dan problema sosial yang dihadapinya, ia
masih sempat meninggalkan warisan segala jenis ilmu pengetahuan yang berguna
bagi kehidupan masyarakat dan dapat dijadikan sebagai penunjuk jalan untuk
mencapai tujuan hidup insani yang sebenarnya. Ia mewariskan sebelas ribu
ungkapan-ungkapan pendek dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan rasional,
sosial dan keagamaan. Ia adalah pencetus tata bahasa Arab dan orang pertama
yang mengutarakan pembahasan-pembahasan filosofis yang belum pernah dikenal
oleh para filosof kaliber kala itu. Dan ia juga orang pertama dalam Islam yang
menggunakan argumentasi-argumentasi rasional dalam menetapkan sebuah pembahasan
filosofis.
Ketiga, ia berhasil mendidik para pakar agama Islam yang dijadikan
sumber rujukan dalam bidang ilmu ‘irfan oleh para ‘arif di masa sekarang,
seperti Uwais Al-Qarani, Kumail bin Ziyad, Maitsam At-Tammar dan Rusyaid
Al-Ĥajari.
e.Masa Sulit bagi Kaum
Syi’ah
Setelah Imam Ali a.s. syahid di mihrab shalatnya, masyarakat waktu
itu membai’at Imam Hasan a.s. untuk memegang tampuk khilafah. Setelah ia
dibai’at, Mu’awiyah tidak tinggal diam. Ia malah mengirim pasukan yang
berjumlah cukup besar ke Irak sebagai pusat pemerintahan Islam waktu itu untuk
mengadakan peperangan dengan pemerintahan yang sah. Dengan segala tipu muslihat
dan iming-iming harta yang melimpah, Mu’wiyah berhasil menipu para anggota
pasukan Imam Hasan a.s. dan dengan teganya mereka meninggalkannya sendirian.
Melihat kondisi yang tidak berpihak kepadanya dan dengan meneruskan perang
Islam akan hancur, dengan terpaksa ia harus mengadakan perdamaian dengan
Mu’awiyah. (Butir-butir perjanjian ini dapat dilihat di sejarah 14 ma’shum
a.s.)
Setelah Mu’awiyah berhasil merebut khilafah dari tangan Imam Hasan
a.s. pada tahun 40 H., --sebagaimana layaknya para pemeran politik kotor-- ia
langsung menginjak-injak surat perdamaian yang telah ditandatanganinya. Dalam sebuah
kesempatan ia pernah berkata: “Aku tidak berperang dengan kalian karena aku
ingin menegakkan shalat dan puasa. Sesungguhnya aku hanya ingin berkuasa atas
kalian, dan aku sekarang telah sampai kepada tujuanku”.
Dengan demikian, Mu’awiyah ingin menghidupkan kembali sistem
kerajaan sebagai ganti dari sistem khilafah sebagai penerus kenabian. Hal ini
diperkuat dengan diangkatnya Yazid, putranya sebagai putra mahkota dan
penggantinya setelah ia mati.
Mua’wiyah tidak pernah memberikan kesempatan kepada para pengikut
Syi’ah untuk bernafas dengan tenang. Setiap ada orang yang diketahui sebagai
pengikut Syi’ah, ia akan langsung dibunuh di tempat. Bukan hanya itu, setiap
orang yang melantunkan syair yang berisi pujian terhadap keluarga Ali a.s., ia
akan dibunuh meskipun ia bukan pengikut Syi’ah. Tidak cukup sampai di sini
saja, ia juga memerintahkan kepada para khotib shalat Jumat untuk melaknat dan
mencerca Imam Ali a.s. Kebiasaan ini berlangsung hingga masa pemerintahan Umar
bin Abdul Aziz pada tahun 99-101 H.
Masa pemerintahan Mu’awiyah (selama 20 tahun) adalah masa tersulit
bagi kaum Syi’ah di mana mereka tidak pernah memiliki sedikit pun kesempatan
untuk bernafas.
Mayoritas pengikut Ahlussunnah menakwilkan semua pembunuhan yang
telah dilakukan oleh para sahabat, khususnya Mu’awiyah itu dengan berasumsi
bahwa mereka adalah sahabat Nabi SAWW dan semua perilaku mereka adalah ijtihad
yang dilandasi oleh hadis-hadis yang telah mereka terima darinya. Oleh karena
itu, semua perilkau mereka adalah benar dan diridhai oleh Allah SWT. Seandainya
pun mereka salah dalam menentukan sikap dan perilaku, mereka akan tetap
mendapatkan pahala berdasarkan ijtihad tang telah mereka lakukan.
Akan tetapi, Syi’ah tidak menerima asumsi di atas dengan alasan
sebagai berikut:
Pertama, tidak masuk akal jika seorang pemimpin yang ingin menegakkan
kebenaran, keadilan dan kebebasan dan mengajak orang-orang yang ada si
sekitarnya untuk merealisasikan hal itu, setelah tujuan yang diinginkannya itu
terwujudkan, ia merusak sendiri cita-citanya dengan cara memberikan kebebasan
mutlak kepada para pengikutnya, dan segala kesalahan, perampasan hak orang lain
dengan segala cara, serta tindakaan-tindakan kriminal yang mereka lakukan
dimaafkan.
Kedua, hadis-hadis yang “menyucikan” para sahabat dan membenarkan semua
perilaku non-manusiwi mereka berasal dari para sahabat sendiri. Dan sejarah
membuktikan bahwa mereka tidak pernah memperhatikan hadis-hadis di atas. Mereka
saling menuduh, membunuh, mencela dan melaknat. Dengan bukti di atas, keabsahan
hadis-hadis di atas perlu diragukan.
Mu’awiyah menemui ajalnya pada tahun 60 H. dan Yazid, putranya
menduduki kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam. Sejarah membuktikan bahwa
Yazid adalah sosok manusia yang tidak memiliki kepribadian luhur sedikit pun.
Kesenangannya adalah melampiaskan hawa nafsu dan segala keinginannya. Dengan
latar belakangnya yang demikian “cemerlang”, tidak aneh jika di tahun pertama
memerintah, ia tega membunuh Imam Husein a.s., para keluarga dan sahabatnya
dengan dalih karena mereka enggan berbai’at dengannya. Setelah itu, ia
menancapkan kepala para syahid tersebut di ujung tombak dan mengelilingkannya
di kota-kota besar; Di tahun kedua memerintah, ia mengadakan pembunuhan
besar-besaran di kota Madinah dan menghalalkan darah, harta dan harga diri
penduduk Madinah selama tiga hari kepada para pasukannya; Di tahun ketiga
memerintah, ia membakar Ka’bah, kiblat muslimin.
Setelah masa Yazid dengan segala kebrutalannya berlalu, Bani
Marwan yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Bani Umaiyah menggantikan
kedudukannya. Mereka pun tidak kalah kejam dan keji dari Yazid. Mereka berhasil
berkuasa selama 70 tahun dan jumlah khalifah dari dinasti mereka adalah sebelas
orang. Salah seorang dari mereka pernah ingin membuat sebuah kamar di atas
Ka’bah dengan tujuan untuk melampiaskan hawa nafsunya di dalamnya ketika musim
haji tiba.
Dengan melihat kelaliman yang dilakukan oleh para khalifah waktu
itu, para pengikut Syi’ah makin kokoh dalam memegang keyakinan mereka. Di
akhir-akhir masa kekuasaan Bani Umaiyah, mereka dapat menunjukkan kepada
masyarakat dunia bahwa mereka masih memilliki eksistensi dan mampu untuk
melawan para penguasa lalim. Di masa keimamahan Imam Muhammad Baqir a.s. dan
belum 40 tahun berlalu dari terbunuhnya Imam Husein a.s., para pengikut Syi’ah
yang berdomisili di berbagai negara dengan memanfaatkan kelemahan pemerintahan
Bani Umaiyah karena tekanan-tekanan dari para pemberontak yang tidak puas
dengan perilaku mereka, datang ke Madinah untuk belajar dari Imam Baqir a.s.
Sebelum abad ke-1 H. usai, beberapa pembesar kabilah di Iran membangun kota Qom
dan meresmikannya sebagai kota pemeluk Syi’ah. Beberapa kali para keturunan
Imam Ali a.s. karena tekanan yang dilakukan oleh Bani Umaiyah atas mereka,
mengadakan pemberontakan-pemberontakan melawan penguasa dan perlawanan mereka
--meskipun mengalami kekalahan-- sempat mengancam keamanan pemerintah. Realita
ini menunjukkan bahwa eksistensi Syi’ah belum sirna.
Dikarenakan kelaliman dinasti Bani Umaiyah yang sudah melampui
batas, opini umum sangat membenci dan murka terhadap mereka. Setelah dinasti
mereka runtuh dan penguasa terkahir mereka (Marwan ke-2 yang juga dikenal
dengan sebutan Al-Himar, berkuasa dari tahun 127-132 H.) dibunuh, dua orang
putranya melarikan diri bersama keluarganya. Mereka meminta suaka politik
kepada berbagai negara, dan mereka enggan memberikan suaka politik kepada para
pembunuh keluarga Rasulullah SAWW tersebut. Setelah mereka terlontang-lantung
di gurun pasir yang panas, mayoritas mereka binasa karena kehausan dan kelaparan.
Sebagian yang masih hidup pergi ke Yaman, dan kemudian dengan berpakaian
compang-camping ala pengangkat barang di pasar-pasar mereka berhasil memasuki
kota Makkah. Di Makkah pun mereka tidak berani menampakkan batang hidung,
mungkin karena malu atau karena sebab yang lain.
f. Syi’ah Pada
Abad Ke-2 H.
Di akhir-akhir sepertiga pertama abad ke-2 H., karena kelaliman
dinasti Bani Umaiyah, muncul sebuah pemberontakan dari arah Khurasan, Iran
dengan mengatasnamakan Ahlu Bayt a.s. Pemberontakan ini dipelopori oleh seorang
militer berkebangsaan Iran yang bernama Abu Muslim Al-Marwazi. Dengan syiar
ingin membalas dendam atas darah Ahlu Bayt a.s., ia memulai perlawanannya
terhadap dinasti Bani Umaiyah. Banyak masyarakat yang tergiur dengan syiar
tersebut sehingga mereka mendukung pemberontakannya. Akan tetapi, pemberontakan
ini tidak mendapat dukungan dari Imam Shadiq a.s. Ketika Abu Muslim menawarkan
kepadanya untuk dibai’at sebagai pemimpin umat, ia menolak seraya berkata:
“Engkau bukanlah orangku dan sekarang bukan masaku untuk memberontak”.
Setelah mereka berhasil merebut kekuasaan dari tangan Bani
Umaiyah, di hari-hari pertama berkuasa mereka memperlakukan para keturunan Imam
Ali a.s. dengan baik, dan demi membalas dendam atas darah mereka yang telah
dikucurkan, mereka membunuh semua keturunan Bani Umaiyah. Bahkan, mereka
menggali kuburan-kuburan para penguasa Bani Umaiyah untuk dibakar jenazah
mereka. Tidak lama berlalu, mereka mulai mengadakan penekanan-penekanan serius
terhadap para keturunan Imam Ali a.s. dan para pengikut mereka serta
orang-orang yang simpatik kepada mereka. Abu Hanifah pernah dipenjara dan
disiksa oleh Manshur Dawaniqi dan Ahmad bin Hanbal juga pernah dicambuk
olehnya. Imam Shadiq a.s. setelah disiksa dengan keji, dibunuh dengan racun dan
para keturunan Imam Ali a.s. dibunuh atau dikubur hidup-hidup.
Kesimpulannya, kondisi para pengikut Syi’ah pada masa berkuasanya
dinasti Bani Abasiah tidak jauh berbeda dengan kondisi mereka pada masa dinasti
Bani Umaiyah.
g.Syi’ah Pada Abad Ke-3 H.
Dengan masuknya abad ke-3 H., para pengikut Syi’ah Imamiah
mendapatkan kesempatan baru untuk mengembangkan missi mereka. Mereka dapat
menikmati sedikit keleluasaan untuk mengembangkan dakwah di berbagai penjuru.
Faktornya adalah dua hal berikut:
Pertama, banyaknya buku-buku berbahasa Yunani dan Suryani dalam bidang
filsafat dan ilmu pengetahuan yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan
masyarakat bersemangat untuk memperlajari ilmu-ilmu rasional dengan antusias.
Di samping itu, peran Ma`mun Al-Abasi (195-218 H.) juga tidak patut dilupakan.
Ia menganut mazhab Mu’tazilah yang sangat mendorong para pengikutnya untuk
mengembangkan dan mempelajari argumentasi-argumentasi rasional. Oleh karena
itu, ia memberikan kebebasan penuh kepada para pemikir dan teolog setiap agama
untuk menyebarkan teologi dan keyakinan mereka masing-masing. Para pengikut
Syi’ah tidak menyia-siakan kesempatan ini. Mereka mengembangkan jangkauan
mazhab Syi’ah ke berbagai penjuru kota dan mengadakan dialog dengan para
pemimpin agama lain demi mengenalkan keyakinan mazhab Syi’ah kepada khalayak
ramai.
Kedua, Ma`mun Al-Abasi mengangkat Imam Ridha a.s. sebagai putra
mahkota. Dengan ini, para keturunan Imam Ali a.s. dan sahabat mereka terjaga
dari jamahan tangan para penguasa, dan menemukan ruang gerak yang relatif
bebas.
Akan tetapi, kondisi ini tidak berlangsung lama. Karena setelah
semua itu berlalu, politik kotor dinasti Bani Abasiyah mulai merongrong para
keturunan Imam Ali a.s. dan pengikut mereka kembali. Khususnya pada masa
Mutawakil Al-Abasi (232-247 H.). Atas perintahnya, kuburan Imam Husein a.s. di
Karbala` diratakan dengan tanah.
h.Syi’ah Pada Abad ke-4 H.
Pada abad ke-4 H., dengan melemahnya kekuatan dinasti Bani
Abasiyah dan kuatnya pengaruh para raja dinasti Alu Buyeh yang menganut mazhab
Syi’ah di Baghdad (pusat khilafah Bani Abasiyah kala itu), terwujudlah sebuah
kesempatan emas bagi para penganut Syi’ah untuk mengembangkan mazhab mereka
dengan leluasa. Dengan demikian, --menurut pendapat para sejarawan--mayoritas
penduduk jazirah Arab, seperti Hajar, Oman, dan Sha’dah, kota Tharablus,
Nablus, Thabariah, Halab dan Harat menganut mazhab Syi’ah kecuali mereka yang
berdomisili di kota-kota besar. Antara kota Bashrah sebagai pusat mazhab
Ahlussunnah dan kota Kufah sebagai pusat mazhab Syi’ah selalu terjadi
gesekan-gesekan antar mazhab. Tidak sampai di situ, penduduk kota Ahvaz dan
Teluk Persia di Iran juga memeluk mazhab Syi’ah.
Di awal abad ini, seorang mubaligh yang bernama Abu Muhammad Hasan
bin Ali bin Hasan bin Ali bin Umar bin Ali bin Imam Husein a.s. yang dikenal
dengan sebutan Nashir Uthrush (250-320 H.) melakukan aktifitas dakwahnya di
Iran Utara dan berhasil menguasai Thabaristan. Lalu ia membentuk sebuah
kerajaan di sana. Sebelumnya, Hasan bin Yazid Al-Alawi juga pernah berkuasa di
daerah itu.
Pada abad ini juga tepatnya tahun 296-527 H., dinasti Fathimiyah
yang menganut mazhab Syi’ah Isma’iliyah berhasil menguasai Mesir dan mendirikan
kerajaan besar di sana.
Sangat sering terjadi gesekan-gesekan antar mazhab di kota-kota
seperti Bahgdad, Bashrah dan Nisyabur antara mazhab Ahlusunnah dan Syi’ah, dan
di mayoritas gesekan antar mazhab tersebut, Syi’ah berhasil menang dengan
gemilang.
i. Syi’ah
Pada Abad ke-5 hingga Abad ke-9 H.
Dari abad ke-5 hingga abad ke-9 H., sistematika perkembangan
mazhab Syi’ah tidak jauh berbeda dengan sistematika perkembangannya pada abad
ke-4. Perkembangannya selalu didukung oleh kekuatan pemerintah yang memang
menganut mazhab Syi’ah. Di akhir abad ke-5 H., mazhab Syi’ah Isma’iliyah
berkuasa di Iran selama kurang lebih satu setengah abad dan ia dapat
menyebarkan ajaran-ajaran Syi’ah dengan leluasa. Dinasti Al-Mar’asyi
bertahun-tahun berkuasa di Mazandaran, Iran. Setelah masa mereka berlalu,
dinasti Syah Khudabandeh, silsilah kerajaan Mongol memeluk dan menyebarkan
mazhab Syi’ah. Dan kemudian, raja-raja dari dinasti Aaq Quyunlu dan Qareh
Quyunlu yang berkuasa di Tabriz dan kekuasaan mereka terbentang hingga ke
daerah Kerman serta dinasti Fathimiyah di Mesir berhasil menyebarkan mazhab
Syi’ah ke seluruh masyarakat ramai.
Akan tetapi, hal itu tidak berlangsung lama. Setelah dinasti
Fathimiyah mengalami kehancuran dan dinati Alu Ayyub berkuasa, para pengikut
Syi’ah mulai terikat kembali dan mereka tidak bebas menyebarkan mazhab mereka.
Banyak para tokoh Syi’ah yang dipenggal kepalanya pada masa itu. Seperti Syahid
Awal dan seorang faqih kenamaan Syi’ah, Muhammad bin Muhammad Al-Makki
dipenggal kepalanya pada tahun 786 H. di Damaskus karena tuduhan menganut
mazhab Syi’ah, dan Syeikh Isyraq, Syihabuddin Sahruwardi dipenggal kepalanya di
Halab karena tuduhan mengajarkan filsafat.
j. Syi’ah Pada
Abad ke-10 hingga ke-11 H.
Pada tahun 906 H., Syah Isma’il Shafawi yang masih berusia 13
tahun, salah seorang keturunan Syeikh Shafi Al-Ardabili (seorang syeikh thariqah di mazhab Syi’ah dan meninggal pada tahun 153
H.), ingin mendirikan sebuah negara Syi’ah yang mandiri. Akhirnya, ia
mengumpulkan para Darwisy pengikut kakeknya dan mengadakan pemberontakan dimulai dari daerah
Ardabil dengan cara memberantas sistem kepemimpinan kabilah yang dominan kala
itu dan membebaskan seluruh daerah Iran dari cengkraman dinasti Utsmaniyah
dengan tujuan supaya Iran menjadi negara yang tunggal. Dan ia berhasil
mewujudkan cita-citanya tersebut sehingga sebuah kerajaan Syi’ah Imamiah
terbentuk dan berdaulat kala itu. Setelah ia meninggal dunia, kerajaannya
diteruskan oleh putra-putranya. Mazhab Syi’ah kala itu memiliki legistimasi
hukum yang sangat kuat sehingga semua organ pemerintah menganut mazhab Syi’ah.
Pada masa kecemerlangan dinasti Shafawiyah di bawah pimpinan Syah Abbas yang
Agung, kuantitas pengikut Syi’ah mencapai dua kali lipat penduduk Iran pada
tahun 1384 H.
k. Syiah Pada Abad
ke-12 hingga ke-14 H.
Di tiga abad terakhir ini, mazhab Syi’ah berkembang dengan sangat
pesat, khususnya setelah ia menjadi mazhab resmi Iran setelah kemenangan
Revolusi Islam. Begitu juga di Yaman dan Irak, mayoritas penduduknya memeluk
mazhab Syi’ah. Dapat dikatakan bahwa di setiap negara yang penduduknya muslim,
akan ditemukan para pemeluk Syi’ah. Di masa sekarang, diperkirakan bahwa
pengikut Syi’ah di seluruh dunia berjumlah 300.000 .000 lebih.
</p