Oleh Budhi
Setiyawan[1]
PENDAHULUAN
Semenjak meletusnya revolusi Iran tahun 1979 di bawah pimpinan
Ayatullah Al-Imam Khomeini, Iran menjadi pusat perhatian dunia karena revolusinya
yang sukses dan menggemparkan itu. Perhatian dunia pada Iran sekaligus identik
dengan perhatian pada madzhab Syi’ah,[2] karena
memang Iran merupakan kubu Syi’ah terbesar (mayoritas bangsa Iran
adalah beragama Islam Syi’ah madzhab Dua Belas Imam).[3] Namun
karena silau memandang dan terpukau dengan semangat revolusioner Syi’ah, banyak
yang terlupa dengan aqidah Syi’ah yang sebenarnya telah meleset dari rel aqidah
Islam namun dibungkus dengan taqiyyah,[4] sebagai
salah satu senjata muslihat yang paling ampuh untuk mempropagandakan aqidah
mereka. Sampai sekarang, golongan Syi’ah banyak terdapat di India, Pakistan,
Irak, Yaman dan terutama di Iran dimana Syi’ah menjadi madzhab resmi Negara.[5]
Jika kita menelaah lebih dalam, kita akan mendapati prinsip dan dasar yang pokok dalam madzhab Syi’ah
Dua Belas Imam, yaitu Imamah. Bahkan Imamah seperti halnya pokok agama (ushuluddin).Karena menurut mereka masalah tersebut adalah
rangkaian kalimat tauhid. Barangsiapa tidak percaya kepada Imamah, ia sama
dengan orang yangtidak
percaya kepada kalimat syahadat. Sehingga perkataan
para Imam merupakan hal yang wajib diikuti, sekalipun menyimpang dari ajaran
agama. Dan konsep Imamah inilah yang memberi dampak
sangat signifikan dalam seluruh ajaran Syi’ah Dua Belas Imam. Namun dikarenakan mereka masih menanti munculnya Imam kedua
belas, Imam Mahdi Al-Muntazhar (Imam Mahdi yang ditunggu), seorang Imam
yang muncul pada tahun 868 dan kemudian menghilang. Para pengikut Itsna
Asyariyyah meyakini bahwa Imam Mahdi akan kembali untuk menghadapi dajjal dan
akan membangun pemerintahan Islam. Selama masa penantian tersebut, Ayatullah
Khomeini membentuk konsep yang dinamakan Wilayah al-Faqih sebagai konstitusi
negaranya setelah revolusi 1979. Maka untuk
mengetahui hakekat sebenarnya dari ajaran Syi’ah, dalam tulisan ini akan fokus membahas dua hal,
pertama membahas konsep Imamah dan kedudukannya dalam ajaran Syi’ah Itsna
‘Asyariyah. Kedua menjelaskan implikasi konsep Imamah terhadap aqidah mereka.
Dari kedua hal tersebut, pendapat Ulama Ahlu As-sunnah wa Al-jama’ah dijadikan
sebagai acuan perbandingan secara proporsional.
DEFINISI IMAMAH
Imamah merupakan bahasa Arab yang berakar dari kata amma,
menurut Ibnu Mandzur berarti yang berada di depan atau ketua.[6]Serupa
dengan penjelasan dalam al-mu’jam
asy-syamil limustholahat al-falsafah karya Dr. Abdul Mun’im Al-Hifny,
imam ialah yang memiliki kekuasaan tertinggi didalam agama dan dunia, yang
harus diikuti oleh seluruh umat.[7]Jadi,
orang yang menjadi pemimpin harus selalu di depan untuk diteladani sebagai
contoh. Kedudukan imam sama dengan penanggung jawab urusan umat.[8] Sedangkan
menurut Muhammad Rasyid Ridho dalam bukunya Al Khilafah, kata
Imamah, khilafah, serta amirul mukminin ketiganya mempunyai makna yang sama
yaitu kepemimpinan satu pemerintahan Islam yang bertujuan untuk mewujudkan
kemaslahatan bagi umatnya.[9]
Adapun pengertian Imamah menurut ulama Syi’ah, bahwa
kepemimpinan spiritual atau rohani, pendidikan, agama dan politik bagi umat
Islam telah ditentukan Allah secara turun-temurun (theo monarchi) sampai imam
ke-12.[10] Sementara
menurut al-Hilly, salah seorang ulama Syi’ah, imamah merupakan kepemimpinan
umum dalam urusan dunia dan agama, oleh seseorang maupun beberapa orang,
sebagai pengganti kepemimpinan Nabi SAW.[11] Muhammad
Al-Husein Ali Kasyiful Ghita’, juga mengatakan dalam bukunya Ashlusy-Syi’ah
wa Ushuluha, masalah Imamah merupakan dasar utama yang hanya dimiliki
oleh Syi’ah Imamiyah dan menjadikan Syi’ah Imamiyah berbeda dari aliran-aliran
dalam Islam lainnya. Ia adalah perbedaan yang bersifat dasar atau asasi,
perbedaan lainnya hanya furu’iyah, tak ubahnya dengan perbedaan antarMadzahib
(Hanafi, Syafi’i dan lain-lain). Lebih lanjut lagi, ia menyatakan bahwa Imamah
semata-mata ialah anugerah Tuhan yang telah dipilih Allah dari zaman azali terhadap
hambaNya, seperti Allah memilih Nabi dan memerintahkan kepada Nabi untuk
menyampaikan kepada umat agar mereka mengikutinya. Syi’ah Imamiah berkeyakinan
bahwa Allah telah memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menentukan ‘Ali
r.a dan mengangkatnya sebagai pemimpin umat manusia setelah beliau.[12]
Berdasarkan tinjauan di atas dapat dikatakan bahwa
konsepsi mengenai kepemimpinan dalam Islam memiliki makna lebih dari sekedar
memimpin pada tataran konsepsi duniawi. Imamah ini menjadi prinsip dan dasar
yang pokok dalam madzhab Syi’ah Dua Belas, seperti halnya pokok agama (ushuluddin)[13] karena
menurut mereka masalah tersebut adalah rangkaian kalimat tauhid (Laa ilaaha
illa Allah, Muhammad Rasulullah). Barangsiapa tidak percaya kepada Imamah,
ia sama dengan orang tidak percaya kepada kalimat syahadat.
Dengan dimasukkannya Imamah (kepala negara dan pemerintahan) dalam
bagian keimanan yang harus diyakini kebenarannya, tentu saja berlainan dengan
Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Karena sesuai dengan metode pemahaman Ahlu Sunnah wal
Jama’ah bahwa penetapan dasar aqidah menggunakan At-Taufiq bainan-naqli
wal-‘aqli (Alqur’an, hadist dan An-Nazhar), maka dasar-dasar keimanan
yang enam itu diambil sepenuhnya dari nash Alqur’an dan hadist-hadist Nabi SAW,
terutama hadist yang dikenal dengan hadist Jibril.[14]
Maka pada paragraf selanjutnya akan dipaparkan dalil penetapan
Imamah menurut Syi’ah dan bagaimana keyakinan mereka terhadap Imamah serta
implikasinya dalam aqidah mereka.
DUA BELAS
IMAM SYI’AH
Sebelum membahas tentang dalil penetapan Imamah, kita
perlu mengetahui Imam-imam mereka. Syi’ah Itsna ‘Asyariyah berkeyakinan, ada 12
orang imam yang telah ditetapkan sesudah Rasulullah SAW dan mereka anggap ma’shum (terhindar
dari dosa). Dan mereka-lah yang akan memimpin manusia sampai hari
kiamat dan mereka itulah yang harus memerintah manusia sampai hari
kiamat. Mereka adalah[15]:
1) Ali bin Abi Thalib (Abu al Hasan)
Bergelar “al Murtadla”. Lahir pada 10 tahun sebelum kenabian dan syahid
pada tahun 40 Hijriyah. Khalifah Muslim keempat, sepupu dan anak mantu
Rasulullah.
2) Hasan bin Ali (Abu Muhammad)
Bergelar “az Zaki”. Hidup antara tahun 3 – 50 Hijriyah. Putera Ali dan
Fatimah.
3) Husein bin Ali (Abu Abdillah)
Bergelar “Penghulu para Syahid”. Hidup antara tahun 4 – 61 Hijriyah. Karakter
yang paling disukai Syi’ah Iran, putera termuda Ali dan Fatimah.
4) Ali bin Husein (Abu Muhammad) Hidup
antara tahun tahun 38 – 95 Hijriyah. Putera dari Imam Husein, memiliki dua nama
julukan: Sajjad (Ahli Sujud), dan Zein al-Abedin (penyembah
terbaik)
5) Muhammad bin Ali al Baqir (Abu
Ja’far) Hidup antara tahun 57 – 114 Hijriyah. Putera Ali bin Husein,
dipanggil baqir(secara harfiah berarti pembuka) karena ia secara
kiasan membedah pelajaran Islam, memiliki otoritas yang memiliki pengetahuan
dan tradisi Islam.
6) Ja’far bin Muhammad ash Shadiq (Abu
Abdillah) Hidup antara tahun 83 – 148 Hijriyah. Putera dari Muhammad bin Ali,
bergelar Sadeq (kebenaran dan adil).
7) Musa bin Ja’far al Kadzim (Abu
Ibrahim) Hidup antara tahun 128 – 183 Hijriyah. Putera Imam Ja’far ash Shadiq,
bergelar Kazem (menyembunyikan amarahnya)
8) Ali bin Musa ar Ridla (Abu al Hasan) Hidup
antara tahun 148 – 202/203 Hijriyah. Putera Musa al-kadzim, satu-satunya imam
Syi’ah yang dimakamkan di Iran, di juluki Reza/Ridla(senang
dan melawan)
9) Muhammad bin Ali al Jawad (Abu
Ja’far) Hidup antara tahun 195 – 220 Hijriyah. Putera imam Reza, memiliki
gelar Javad /Jawad (Murah Hati)
10) Ali Bin
Muhammad al Hadi (Abu al Hasan) Hidup antara tahun 212 –
254 Hijriyah. Putera Imam Javad, memiliki julukan Hadi (penuntun).
11) Hasan bin
Ali al Askari (Abu Muhammad) Hidup antara tahun 232 –
260 Hijriyah. Putera imam Hadi, bergelarAsgari/askari (diawasi
oleh kaum militan) karena ia dijaga secara ketat untuk memiliki keturunan.
12) Muhammad
bin Hasanal Mahdi (Abu al Qasim) Inilah yang disebut “Imam
yang ghaib” dan “dinantikan kedatangannya” untuk menegakkan keadilan di muka
bumi. Dikatakan bahwa “al Mahdi” (dijaga Allah) lahir pada tahun
256 Hijriyah mengalami “masa ghaib kecil (Ghaibah Shugra)” pada tahun 260
Hijriyah, dan “masa ghaib besar (Ghaibah Kubro)” pada tahun 329 Hijriyah. Ia
hidup sampai hari kiamat sehingga bumi tidak sunyi dari Imam. Dan keimanan
terhadap Imamah tidak sempurna kecuali dengan meyakini adanya Imam Mahdi. Ia
merupakan orang yang dipercayai tidak dapat meninggal dan orang yang
dijanjikan juru selamat agama Ibrahim. Ia dikenal dengan julukan Vali-yeAsr atau sahibal-Zaman (penguasa
zaman)
ARGUMENTASI PENETAPAN
IMAMAH
Syi’ah Itsna ‘Asyariyah berkeyakinan bahwa Nabi SAW telah menunjuk
pengganti sepeninggal beliau. Melalui beberapa nash –secara eksplisit maupun
implisit- Nabi SAW menetapkan Ali bin Abi Thalib sebagai Amirul Mu’minin,
penerima amanat wahyu serta imam bagi manusia. Mereka berpendapat tentang
keimanan Sayyidina Ali r.a sesudah Nabi SAW berdasar nash yang dhohir,
penetapan yang benar, dengan tanpa ada yang menentang dengan sifat, bahkan
isyarat dengan terang.[16] Beliau
telah mengangkat dan membai’atnya sebagai Amirul Mu’minin pada hari Ghadir
Khum. Rasulullah SAW juga menjelaskan bahwa para imam setelah Nabi adalah 12
orang imam yang nama-nama dan urutannya telah ditentukan.
Banyak ulama Syi’ah menyatakan bahwa peristiwa di Ghadir Khum
merupakan bukti nyata pengangkatan Imam Ali sebagai penerus tampuk kepemimpinan
pascawafatnya Nabi. Salah satunya ialah Athabthabai, seorang tokoh Syi’ah
Ja’fariyah abad kedua puluh ini mengatakan bahwa alasan utama yang mendukung
pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pertama ialah beberapa hadist
peristiwa Haji Wada’ yang bersejarah di Ghadir Khum.[17] Dari
hadist tersebut, sekiranya perlu untuk diteliti kembali bagaimana kualitas
hadist tersebut ditinjau dari otentisitas sanad dan validitas matannya.Apakah
hadist tersebut shahih dan bagaimana analisis hadist tentang riwayat
kepemimpinan Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti Rasulullah SAW tersebut.
Dengan harapan menjawab kesalahpahaman yang terjadi selama ini di kalangan umat
Islam tentang kepemimpinan dalam sejarah khulafaurrasyidin.
Matan hadist yang diambil sesuai yang tertera dalam kitab aslinya,
dengan menggunakan al-Mu’jam al-Hadist.[18] Berdasarkan
keterangan dari mu’jam hanya didapatkan dua riwayat hadist, yang satu di kitab
hadist Sunan al-Tirmidzi,[19] dan
Musnad Ahmad ibn Hanbal,[20]
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ
الضُّبَعِىُّ عَنْ يَزِيدَ الرِّشْكِ عَنْ مُطَرِّفِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ
عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم جَيْشًا
وَاسْتَعْمَلَ عَلَيْهِمْ عَلِىَّ بْنَ أَبِى طَالِبٍ فَمَضَى فِى السَّرِيَّةِ
فَأَصَابَ جَارِيَةً فَأَنْكَرُوا عَلَيْهِ وَتَعَاقَدَ أَرْبَعَةٌ مِنْ أَصْحَابِ
رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالُوا إِذَا لَقِينَا رَسُولَ اللَّهِ صلى
الله عليه وسلم أَخْبَرْنَاهُ بِمَا صَنَعَ عَلِىٌّ وَكَانَ الْمُسْلِمُونَ إِذَا
رَجَعُوا مِنَ السَّفَرِ بَدَءُوا بِرَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
فَسَلَّمُوا عَلَيْهِ ثُمَّ انْصَرَفُوا إِلَى رِحَالِهِمْ فَلَمَّا قَدِمَتِ
السَّرِيَّةُ سَلَّمُوا عَلَى النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم فَقَامَ أَحَدُ
الأَرْبَعَةِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَمْ تَرَ إِلَى عَلِىِّ بْنِ أَبِى
طَالِبٍ صَنَعَ كَذَا وَكَذَا. فَأَعْرَضَ عَنْهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه
وسلم ثُمَّ قَامَ الثَّانِى فَقَالَ مِثْلَ مَقَالَتِهِ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ
قَامَ إِلَيْهِ الثَّالِثُ فَقَالَ مِثْلَ مَقَالَتِهِ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ
قَامَ الرَّابِعُ فَقَالَ مِثْلَ مَا قَالُوا فَأَقْبَلَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ
صلى الله عليه وسلم وَالْغَضَبُ يُعْرَفُ فِى وَجْهِهِ فَقَالَ « مَا تُرِيدُونَ
مِنْ عَلِىٍّ مَا تُرِيدُونَ مِنْ عَلِىٍّ مَا تُرِيدُونَ مِنْ عَلِىٍّ إِنَّ
عَلِيًّا مِنِّى وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَلِىُّ كُلِّ مُؤْمِنٍ بَعْدِى – )رواه الترمذي(
“Menceritakan kepada kami dari Qutaibah, diceritakan dari Ja’far
bin Sulaiman adh-Dhuba’i, dari Yazid Ar-Risyk, dari Mutharrif bin ‘Abdillah,
dari Imran bin Husain berkata bahwa Rasulullah SAW. Mengutus (mengirimkan) bala
tentara dan menjadikan Ali sebagai pimpinan perang. Ali melewati kawanan
perang. Kemudian Ali berjima’ dengan salah satu tawanan wanita (budak).
Kemudian para tentara mengingkari apa yang diperbuat oleh Ali. Ada empat orang
sahabat yang saling bersepakat bahwa apabila kita berjumpa dengan Rasul maka
kita akan mengadukan apa yang diperbuat oleh Ali. Kaum muslimin setelah mereka
kembali dari perjalanan mereka menemui Rasul dan mengucapkan salam kepadanya.
Kemudian melanjutkan perjalanan. Ketika rombongan perang itu sampai dan juga
mengucapkan salam kepada Rasulullah, salah satu dari empat sahabat mengadu
kepada Rasulullah SAW. “Apa pendapatmu wahai Rasulullah atas apa yang dilakukan
Ali, dia berbuat demikian, demikian? Maka Rasulullah SAW berpaling dari sahabat
tersebut. Kemudian sahabat yang kedua juga mengadukan hal serupa kepada
Rasulullah SAW, kemudian Rasul berpaling. Kemudian sahabat yang
ketiga juga mengadukan hal serupa kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasul
berpaling. Kemudian sahabat yang keempat juga mengadukan hal serupa kepada
Rasulullah SAW, kemudian Rasul merespon, dan wajahnya menunjukkan kemarahan.”
Apa yang engkau harapkan dari Ali, apa yang engkau harapkan dari Ali, apa yang
engkau harapkan dari Ali? Sesungguhnya Ali dariku dan aku dari Ali, dan dia
adalah pemimpin seluruh mu’min setelahnya” (HR. Tirmidzi)
Sedangkan Hadist yang sama juga didapati dari jalur Imam Ahmad ibn
Hanbal melalui sumber yang sama yaitu Ja’far bin Sulaiman.
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ وَعَفَّانُ الْمَعْنَى وَهَذَا
حَدِيثُ عَبْدِ الرَّزَّاقِ – قَالاَ ثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ قَالَ
حَدَّثَنِى يَزِيدُ الرِّشْكُ عَنْ مُطَرِّفِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عِمْرَانَ
بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم سَرِيَّةً
وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ عَلِىَّ بْنَ أَبِى طَالِبٍ فَأَحْدَثَ شَيْئاً فِى سَفَرِهِ
فَتَعَاهَدَ قَالَ عَفَّانُ فَتَعَاقَدَ أَرْبَعَةٌ مِنْ
أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم أَنْ يَذْكُرُوا أَمْرَهُ لِرَسُولِ
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم. قَالَ عِمْرَانُ وَكُنَّا إِذَا قَدِمْنَا مِنْ
سَفَرٍ بَدَأْنَا بِرَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَسَلَّمْنَا عَلَيْهِ.
قَالَ فَدَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَامَ رَجُلٌ مِنْهُمْ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
إِنَّ عَلِيًّا فَعَلَ كَذَا وَكَذَا . فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ قَامَ الثَّانِى
فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عَلِيًّا فَعَلَ كَذَا وَكَذَا. فَأَعْرَضَ
عَنْهُ ثُمَّ قَامَ الثَّالِثُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عَلِيًّا فَعَلَ
كَذَا وَكَذَا. فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ قَامَ الرَّابِعُ فَقَالَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِنَّ عَلِيًّا فَعَلَ كَذَا وَكَذَا. قَالَ فَأَقْبَلَ رَسُولُ اللَّهِ
صلى الله عليه وسلم عَلَى الرَّابِعِ وَقَدْ تَغَيَّرَ وَجْهُهُ فَقَالَ « دَعُوا
عَلِيًّا دَعُوا عَلِيًّا دَعُوا عَلِيًّا إِنَّ عَلِيًّا مِنِّى وَأَنَا مِنْهُ
وَهُوَ وَلِىُّ كُلِّ مُؤْمِنٍ بَعْدِى – )رواه أحمد(
Sanad[21] hadist
yang diteliti adalah yang melalui jalur hadist Imam Tirmidzi, sedangkan sanad
hadist riwayat Imam Ahmad hanya sebagai pendukung hadist pertama. Penelitian
hadits ini dimulai dari sanad terakhir dan kemudian dilanjutkan pada
perawi sebelumnya hingga sanad teratas yang menerima hadits langsung dari Nabi
SAW. Jika dilihat dari sanad hadist yang telah diteliti di atas, maka tidak
terdapat masalah besar pada kualitas perawi, (misal kadzdzab atau Dajjal),
semua dikategorikan dalam perawi tsiqah dan shaduq.[22]Namun,
perawi pada jalur hadist tersebut ditemukan seorang perawi yang
bermasalah, sehingga kualitas sanad tersebut perlu ditinjau kembali. Meskipun
Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadist yang telah disampaikan di atas adalah
Hasan Gharib.[23] Karena
terdapat sedikit masalah pada perawi ke-2 (urutan terakhir) yaitu Ja’far bin
Sulaiman yang bergelar Adh-Dhubba’i sebenarnya dapat dipercaya namun sikapnya
cenderung berpihak pada riwayat-riwayat dari Syi’ah. Ada pendapat ulama hadist
tentang persolan tersebut, seperti yang disebutkan dalam kitab tahdzibut
Tahdzib dikatakan bahwa perawi yang tasayyu’ diterima riwayatnya, apabila
hadist yang diriwayatkannya tidak berkenaan dengan ajaran yang mendukung aliran
Syi’ah.Artinya hadist yang diriwayatkan oleh perawi Tasyayyu’ ditolak apabila
riwayat tersebut berkenaan dengan Syi’ah.[24]
Berdasarkan penelitian kualitas dan persambungan sanad tersebut di
atas, diketahui bahwa seluruh perawi yang terdapat dalam sanad Imam Tirmidzi
yang menjadi penekanan inti dalam penelitian ini, perawinya tsiqah dan sanadnya
bersambung mulai dari At-Tirmidzi selaku mukharrij sampai kepada ‘Imran bin
Husain, selaku perawi pertama yang terkait langsung dengan Rasulullah SAW.
Dalam riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Tirmidzi ini, dari perawi
terakhir yaitu Qutaibah, di sana akan terlihat bahwa Imam Tirmidzi tidak
sebagai murid dari Qutaibah. Yang ada hanya Imam Ahmad ibn Hanbal sebagai murid
Qutaibah. Mungkin menurut penulis dalam kasus ini Imam Tirmidzi mengambil
Hadist dari Imam Ahmad bin Hanbal. Jika dilihat dari sanad dan matannya pun
tidak ada perbedaan dari hadist yang dikeluarkan Imam Ahmad. Hanya perawi
terakhir melalui jalur Hadist Imam Ahmad yang berbeda yaitu, bersumber dari
‘Abdur Razak dan Affan
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa sanad dari hadist
Imam Tirmidzi ini bersambung, namun hadist tersebut bermasalah dari ada salah
satu perawi yang Tasyayyu’. Maka dalam hal ini kita juga akan melihat bagaimana
analisis terhadap matan hadist tersebut, untuk kemudian di akhir bisa
disimpulkan.
Untuk menyelesaikan matan hadist yang dibahas tersebut di atas,
mungkin perlu dilakukan peninjauan tentang kemungkinan adanya sisi bertentangan
yang dikandung oleh matan hadist tersebut. Jika mengikuti pola analisis di atas
kita akan menemukan bahwa ada riwayat lain dari hadist shahih yang juga
membahas tentang persolan kepemimpinan setelah Rasulullah SAW. Di antaranya ada
riwayat dari Ibnu Abbas, Imam Ahmad meriwayatkan,[25]
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ
حَدَّثَنَا أَبِى عَنْ صَالِحٍ قَالَ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ أَخْبَرَنِى عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ عَلِىَّ
بْنَ أَبِى طَالِبٍ خَرَجَ مِنْ عِنْدِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِى
وَجَعِهِ الَّذِى تُوُفِّىَ فِيهِ فَقَالَ النَّاسُ يَا أَبَا حَسَنٍ كَيْفَ
أَصْبَحَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ أَصْبَحَ بِحَمْدِ اللَّهِ
بَارِئاً. قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فَأَخَذَ بِيَدِهِ عَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ
الْمُطَّلِبِ فَقَالَ أَلاَ تَرَى أَنْتَ وَاللَّهِ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى
الله عليه وسلم سَيُتَوَفَّى فِى وَجَعِهِ هَذَا إِنِّى أَعْرِفُ وُجُوهَ بَنِى
عَبْدِ الْمُطَّلِبِ عِنْدَ الْمَوْتِ فَاذْهَبْ بِنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى
الله عليه وسلم فَلْنَسْأَلْهُ فِيمَنْ هَذَا الأَمْرُ فَإِنْ كَانَ فِينَا
عَلِمْنَا ذَلِكَ وَإِنْ كَانَ فِى غَيْرِنَا كَلَّمْنَاهُ فَأَوْصَى بِنَا.
فَقَالَ عَلِىٌّ وَاللَّهِ لَئِنْ سَأَلْنَاهَا رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه
وسلم فَمَنَعَنَاهَا لاَ يُعْطِينَاهَا النَّاسُ أَبَداً فَوَاللَّهِ لاَ
أَسْأَلُهُ أَبَداً. ( رواه أحمد)
“Ali bin Abi Thalib keluar dari sisi Rasulullah SAW ketika sakit
beliau parah. Maka orang-orang (sahabat) bertanya, ‘Wahai Abu Hasan,
bagaimanakah kondisi Rasulullah SAW?’Ali menjawab, ‘Alhamdulillah, beliau telah
membaik. “Ibnu Abbas berkata, “Maka Abbas bin Abdul Muthalib memegang tangan
Ali dan berkata, “Bagaimana pendapatmu? Demi Allah, saya melihat wajah bani
Abdul Muthalib layu apabila beliau meninggal. Maka pergilah bersama kami kepada
Rasulullah untuk menanyakan tentang siapakah yang akan diserahi kepemimpinan
setelahnya? Jika itu dalam tangan kita, maka akan kita terima. Dan jika di
tangan selain kita, maka kita akan menyampaikan kepada beliau untuk mewasiatkan
kepada kita.“ Ali berkata, “Demi Allah, jika kami meminta kepada Rasulullah SAW
lalu menolaknya, maka orang-orang tidak akan memberikannya kepada kita. Demi
Allah, kami tidak akan meminta hal itu kepadanya.” (HR. Ahmad).
Riwayat tersebut sangat jelas menggambarkan bahwa Imam Ali bin Abi
Thalib tidak punya ambisi untuk menjadi khalifah setelah Rasulullah SAW wafat.
Hal ini terlihat dari penolakannya atas bujukan Abbas bin Abdul Muthalib supaya
meminta kepemimpinan diwasiatkan kepada Ali bin Abi Thalib.
Selain dari riwayat lain di atas, Penambahan ‘بَعْدِى‘ pada hadist yang dibahas
إِنَّ عَلِيًّا مِنِّى وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَلِىُّ
كُلِّ مُؤْمِنٍ بَعْدِى menunjukkan
kerancuan berfikir kelompok Syi’ah.[26] Hal
ini diperkuat oleh beberapa riwayat yang disebutkan Ahmad bin Hanbal sebagai
berikut:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا الْفَضْلُ
بْنُ دُكَيْنٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِى غَنِيَّةَ عَنِ الْحَكَمِ عَنْ سَعِيدِ بْنِ
جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ بُرَيْدَةَ قَالَ غَزَوْتُ مَعَ عَلِىٍّ
الْيَمَنَ فَرَأَيْتُ مِنْهُ جَفْوَةً فَلَمَّا قَدِمْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ
صلى الله عليه وسلم ذَكَرْتُ عَلِيًّا فَتَنَقَّصْتُهُ فَرَأَيْتُ وَجْهَ رَسُولِ
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَتَغَيَّرُ فَقَالَ « يَا بُرَيْدَةُ أَلَسْتُ
أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ ». قُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ.
قَالَ مَنْ كُنْتُ مَوْلاَهُ فَعَلِىٌّ مَوْلاَهُ.[27]
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ
حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ
أَبِيهِ قَالَ بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِى سَرِيَّةٍ. قَالَ
لَمَّا قَدِمْنَا قَالَ « كَيْفَ رَأَيْتُمْ صَحَابَةَ صَاحِبِكُمْ ». قَالَ
فَإِمَّا شَكَوْتُهُ أَوْ شَكَاهُ غَيْرِى. قَالَ فَرَفَعْتُ رَأْسِى وَكُنْتُ
رَجُلاً مِكْبَاباً. قَالَ فَإِذَا النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم قَدِ احْمَرَّ
وَجْهُهُ. قَالَ وَهُوَ يَقُولُ مَنْ كُنْتُ وَلِيَّهُ فَعَلِىٌّ
وَلِيُّهُ[28]
Berdasarkan keterangan di atas disimpulkan bahwa penambahan kata “بَعْدِى“ tertolak. Dengan demikian pendapat Syi’ah yang mengatakan
bahwa Ali bin Abi Thalib adalah pengganti tunggal Rasul juga tertolak. Menurut
Ibnu Taimiyah, riwayat yang menyatakan, “Dia pemimpin umat setelahku” adalah
sebuah kebohongan yang ditujukan pada Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi maksud
hadist tersebut adalah bahwa “Ali kekasih umat Islam, dan umat Islam juga
menjadi kekasih Ali, hal ini berlaku baik ketika hidup atau sepeninggalnya
(Rasulullah SAW).”[29]
Jadi penjelasan tentang matan hadist tersebut adalah
bahwa kata وَلِىُّyang dimaksud bukan pemimpin tapi orang yang
dikasihi. Dan menurut Imam Tirmidzi, hadist di atas adalah hadist Marfu’ karena
sanad bersambung langsung dengan Rasulullah SAW. Menurutnya, berdasarkan sanad
yang bersambung dan juga tidak didapatkan perawi yang cacat, maka secara
kualitas hadist ini adalah Hasan Gharib.[30] Dikatakan
Gharib karena hanya memiliki satu jalur riwayat hadist yang menyendiri. Hadist
hasan gharib ini bisa diterima jika dari sanad dan matannya tidak mengandung
masalah. Meskipun hadist yang dibahas berstatus hasan, namun keberadaan
hadist-hadist yang diriwayatkan Imam Ahmad -yang disebutkan dalam pembahasan
sebelumnya- sebagai penjelas (syarah) terhadap hadist tersebut. Dengan
demikian, kesimpulan bahwa tidak ada kata “ba’dii” jelas dapat diterima.
Berdasarkan penelitian hadist tentang kepemimpinan Ali r.a
tersebut, dapat disimpulkan bahwa hadist tersebut jika dilihat dari kualitasnya
adalah Hasan Gharib. Meskipun di dalamnya terdapat perawi Tasyayyu’, namun
hadist ini telah disyarah oleh hadist lain yang shahih sekaligus menjelaskan
dengan sempurna makna hadist tersebut.
Jika merujuk pada pendapat Imam Ahmad, maka jelas terlihat bahwa hadist
tersebut tertolak berdasarkan riwayat lain yang juga terdapat dalam
kitab musnadnya. Dan memungkinkan hadist tersebut telah dimansukh oleh hadist
yang menjelaskan hadist yang menjadi fokus dalam pembahasan ini.
KEDUDUKAN IMAMAH
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa
Imamah dalam pandangan Syi’ah tidak hanya merupakan suatu sistem pemerintahan,
tetapi juga rancangan Tuhan yang absolut dan menjadi dasar syariat, yang
kepercayaan kepadanya dianggap sebagai penegas keimanan. Oleh karena itu Syi’ah
berpendapat bahwa Imamah merupakan bagian dari ushuluddin, yang mana tidak akan
sempurna keimanan kecuali dengan keyakinan terhadap Imamah. Mereka juga
berkeyakinan bahwasanya imamah sama seperti kenabian,[31] lutf (petunjuk) dari Allah SWT dan sudah menjadi
keharusan di dalam setiap zaman ada seorang Imam sebagai penerus tugas kenabian
dalam memberi petunjuk kepada umatnya. Para Imam
juga memiliki hak-hak Nabi dalam memimpin manusia untuk mengurus berbagai
permasalahan mereka, menegakkan keadilan dan menghilangkan kezaliman dan
permusuhan di antara mereka.
Sebagian ulama Syi’ah menyatakan bahwa Imamah merupakan estafet
dari kenabian, dan dalil yang menetapkan diutusnya Nabi dan
Rasul juga menetapkan diutusnya seorang Imam setelah Rasul.[32]Senada dengan hal itu, Ali Kasyifu
al-Ghita’ juga menyatakan bahwa Imamah itu merupakan kedudukan Ilahiyah (manshobun
ilahiyyun) seperti halnya kenabian. Allah-lah yang memilih para Imam,
sebagaimana Allah berkehendak untuk memilih seorang Nabi dan memberikan
mu’jizat kepada para Nabi.[33] Oleh sebab itu, teramat sulit bagi
manusia untuk membedakan antara Nabi dan Imam.[34]
Pendapat yang lain mengatakan, barangsiapa tidak mempercayai
Imamah dianggap kafir bahkan lebih buruk daripada mengingkari kenabian. Hal ini
dikarenakan masih memungkinkannya sebuah zaman tanpa adanya seorang Nabi, tidak
seperti halnya Imam yang selalu ada di setiap zaman. Karena Imamah merupakan
petunjuk yang lebih umum (lutf ‘am), sedangkan kenabian hanya
petunjuk khusus (lutf khos).[35]Adapun dalam beberapa kitab Syi’ah
disebutkan perbedaan antara Rasul, Nabi dan Imam. Seperti dalam kitab awailu
al-maqalat karya Al-Mufid, bahwa Rasul ialah seseorang yang turun
Jibril kepadanya dan ia melihatnya serta mendengar perkataannya, kemudian
turunlah wahyu. Dan Nabi ialah seseorang yang melihat jibril dalam mimpi dan
mendengar perkataannya. Sedangkan Imam mendengar perkataan Jibril akan tetapi
tidak melihatnya di dalam mimpi maupun secara langsung.[36]
Maka dapat disimpulkan bahwa Imamah menurut Syi’ah Imamiyah berada
di luar otoritas manusia. Lebih dari itu, Ibnu Babawie al-Qummi, yang lebih
dikenal dengan as-Shaduq, berpendapat bahwa iman kepada kenabian Muhammad SAW
tidak ada artinya jika tidak dibarengi dengan keimanan kepada Imamah.
Karenanya, Imam tak dapat dipilih berdasarkan keputusan manusia. Seperti Nabi
SAW, Imam ditunjuk berdasarkan ketetapan Allah Swt. Bedanya, Nabi berhubungan
langsung dengan Allah Swt, sedangkan Imam diangkat oleh Nabi SAW setelah
mendapat perintah dari Allah Swt.[37] Jadi posisi para Imam identik
dengan posisi kenabian.[38] Bahkan ada yang beranggapan bahwa
Imam lebih tinggi derajatnya daripada Nabi.[39]
Oleh karena itu, Imam yang menggantikan Nabi SAW bukanlah
sembarang orang, tetapi harus memiliki sejumlah sifat yang dimiliki Nabi SAW.
Dan persyaratan menjadi Imam tidak cukup harus seorang Quraisy, seperti yang
diyakini sahabat ketika itu, tetapi harus pula memiliki syarat-syarat lain,
yaitu ‘ismah (bebasnya para Imam dari kesalahan dan dosa
atau kemampuan menjaga diri dari dosa walau sekecil apapun)
dan ilm (ilmu yang sempurna).[40] Imamah yang memiliki sifat ‘ismah
itu perlu, karena syariat tidak akan dapat berjalan tanpa adanya kekuasaan
mutlak yang berfungsi memelihara serta menafsirkan pengertian yang benar dan
murni (tanpa melakukan kesalahan) terhadap syariat itu. Begitu pula dengan ilmu
imam, mestilah suci dan bersifat hudhuri (kehadiran langsung objek ilmu) dan
syuhudi (tersaksikan dengan mata batin) atau bantuan gaib dan taufik ilahiah.
Selain itu, struktur jasmani, otak serta urat syaraf, dan potensi ilmiah para
imam sempurna dan senantiasa mendapat pertolongan ilahi. Semua itu, mutlak
diperlukan untuk sampainya pesan-pesan ilahi secara jelas dan sempurna, tanpa
cacat dan kesalahan.[41] Jadi bagi Syi’ah, orang yang
memenuhi syarat untuk berperan sebagai penafsir hukum Tuhan hanyalah perantara
‘supra manusiawi’ yang diberi petunjuk oleh pencipta hukum tersebut, yaitu para
Imam. Karenanya, Syi’ah mengembangkan teori tentang Imamah sesuai dengan
ketentuan imam yang dipilih oleh Tuhan dan bukan hasil pilihan umat manusia.[42]
Mengenai penetepan Imamah, ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah, salah
satunya Asy-syahrastani, menyatakan bahwa Imamah ditetapkan dengan musyawarah,
pemilihan, pendapat dan ijma’, bukan dengan pengangkatan dan penunjukkan (Allah
dan RasulNya / Nash wa Ta’ayun).[43] Karena Imamah bukanlah termasuk
kategori ushuluddin, tetapi masalah furu’iyyah. Memang sebagian
besar ulama Ahlu Sunnah mengharuskan imam berasal dari keturunan Quraisy,
tetapi pendapat ulama mutaakhirin (abad IV dan sesudahnya) tidak mensyaratkan
nasab tersebut. Dan juga syarat seorang imam ialah wujud (ada), bukan
tersembunyi dan juga bukan ditunggu. Tidak diisyaratkan harus
ma’shum, namun seorang imam diharuskan memiliki ilmu pengetahuan, kemampuan dan
sempurna anggota badan.[44] Namun apabila Syi’ah berpendapat
imam itu haruslah ma’shum (terbebas dari dosa besar maupun dosa kecil), apakah
mereka tidak memahami firman Allah SWT dalam surat ‘Abasa, bahwa seorang
Nabipun pernah melakukan kesalahan dan mendapat teguran dari Allah karena
mengabaikan seorang Ibnu Maktum yang buta.
Selain itu, Muhammad bin Ya’qub Al-Kulainy, pakar hadist Syi’ah,
meriwayatkan sejumlah hadits yang menunjukkan bahwa Imamah merupakan rukun
Islam terbesar.[45] Ia pun menambahkan bahwa Imamah
yang paling utama, sebab ia kunci dari yang lainnya, sementara seorang imam
adalah pemandu.[46] Jadi, barangsiapa yang meninggal
dan tidak mengetahui Imam, maka mereka itu meninggal dalam kebodohan (maata
maitatan jaahiliyyah).[47] Ia pun menjelaskan beberapa
kelebihan para Imam dan menuliskan bab khusus tentang hal tersebut, seperti
sesungguhnya bumi tidak pernah sunyi daripada al-hujjah (imam) sebanyak 13
riwayat, sesungguhnya para imam adalah saksi-saksi Allah ke atas makhluk-Nya 5
riwayat, sesungguhnya para imam a.s adalah uli amri llahi dan penyimpan
ilmu-Nya 6 riwayat, sesungguhnya para imam a.s adalah khalifah Allah SAW di
bumi-nya dan pintu-pintu-nya yang didatangi 3 riwayat, sesungguhnya para imam
a.s di sisi mereka semua kitab yang diturunkan oleh Allah SAW dan sesungguhnya
mereka mengetahuinya sekalipun bahasanya berbeda 2 riwayat, sesungguhnya tidak
seorangpun yang telah mengumpulkan al-qur’an kesemuanya melainkan para imam
a.s. sesungguhnya mereka mengetahui semua ilmuNya 6 riwayat, tanda-tanda para
Nabi a.s dimiliki oleh para imam a.s 5 riwayat, sesungguhnya para imam a.s
mengetahui semua ilmu yang telah keluar kepada malaikat, para nabi dan para
rasul a.s 4 riwayat, sesungguhnya para imam a.s mengetahui bila mereka akan
mati dan sesungguhnya mereka tidak akan mati melainkan dengan pilihan mereka
sendiri 8 riwayat.[48] Itulah beberapa kelebihan para Imam
yang tertulis dalam kitab Al-Kaafi dan sebagian lainnya dalam kitab Bihar
al-Anwar.
Dalam pandangan ahlu as-sunnah dan hampir seluruh kelompok dan
sekte Islam sepakat bahwa imamah (kepemimpinan) merupakan kebutuhan kemanusiaan
serta kewajiban agama, dimana tidak mungkin sebuah masyarakat dimana saja
mereka berada dapat menjalani kehidupan mereka secara ideal kecuali di bawah naungan
sebuah negara atau pemerintahan. Karena dalam sebuah masyarakat pasti
dibutuhkan pemimpin yang akan memimpin dan mengatur seluruh urusan
rakyatnya.Namun Syi’ah Imamiah mengatakan bahwa Imamah merupakan kewajiban
ketuhanan dan salah satu rukun iman. Dengan kata lain, mengangkat imam
merupakan kewajiban bagi Allah, sebagaimana dikatakan oleh al-Hilly. Dan jika
kita perhatikan pemaparan tentang kelebihan para imam di atas, dapat kita
simpulkan bagaimana sikap mereka yang berlebihan (Al-Ghuluw) terhadap para
Imam. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari penetapan Imamah sebagai salah
satu aqidah Syi’ah Imamiah. Sikap tersebut mendesain dan berimplikasi terhadap
seluruh pandangan-pandangan Syi’ah lainnya.
IMPLIKASI
AQIDAH IMAMAH
Telah disebutkan sebelumnya bahwa Syi’ah Itsna ‘Asyariyah
berkeyakinan bahwa Imamah (kepemimpinan) dua belas imam telah ditunjuk melalui
nash wa-l-washiyyah (naskah tertulis serta wasiat).Keyakinan
inilah yang kemudian menjadi pangkal bagi konsepsi dan keyakinan-keyakinan yang
lain. Dengan kata lain, konsep Imamah merupakan konsep pokok dalam pemikiran
Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, sementara konsepsi yang lainnya merupakan konsepsi
pendukung yang merupakan implikasi dari konsepsi pokok, yaitu Imamah.
Pengaruh Imamah secara eksplisit lebih menonjol dalam kegiatan dan
moralitas Syi’ah, sehingga mewarnai semua ajarannya seperti aqidah, syariah dan
tasawuf. Imamah menjadi sumber penafsiran Al-Quran, penjelasan hadits dan
sumber kekuasaan setelah Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Implikasi konsepsi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :