Monday, January 19, 2015

RUKUN IMAN BAGI pecinta ahlulbait= konsep imamah

Oleh Budhi Setiyawan[1]



PENDAHULUAN
Semenjak meletusnya revolusi Iran tahun 1979 di bawah pimpinan Ayatullah Al-Imam Khomeini, Iran menjadi pusat perhatian dunia karena revolusinya yang sukses dan menggemparkan itu. Perhatian dunia pada Iran sekaligus identik dengan perhatian pada madzhab Syi’ah,[2] karena memang Iran merupakan kubu Syi’ah terbesar (mayoritas bangsa  Iran adalah beragama Islam Syi’ah madzhab Dua Belas Imam).[3] Namun karena silau memandang dan terpukau dengan semangat revolusioner Syi’ah, banyak yang terlupa dengan aqidah Syi’ah yang sebenarnya telah meleset dari rel aqidah Islam namun dibungkus dengan taqiyyah,[4] sebagai salah satu senjata muslihat yang paling ampuh untuk mempropagandakan aqidah mereka. Sampai sekarang, golongan Syi’ah banyak terdapat di India, Pakistan, Irak, Yaman dan terutama di Iran dimana Syi’ah menjadi madzhab resmi Negara.[5]
Jika kita menelaah lebih dalam, kita akan mendapati prinsip dan dasar yang pokok dalam madzhab Syi’ah Dua Belas Imamyaitu Imamah. Bahkan Imamah seperti halnya pokok agama (ushuluddin).Karena menurut mereka masalah tersebut adalah rangkaian kalimat tauhid. Barangsiapa tidak percaya kepada Imamah, ia sama dengan orang yangtidak percaya kepada kalimat syahadat. Sehingga perkataan para Imam merupakan hal yang wajib diikuti, sekalipun menyimpang dari ajaran agama. Dan konsep Imamah inilah yang memberi dampak sangat signifikan dalam seluruh ajaran Syi’ah Dua Belas Imam. Namun dikarenakan mereka masih menanti munculnya Imam kedua belas, Imam Mahdi Al-Muntazhar (Imam Mahdi yang ditunggu), seorang Imam yang muncul pada tahun 868 dan kemudian menghilang. Para pengikut Itsna Asyariyyah meyakini bahwa Imam Mahdi akan kembali untuk menghadapi dajjal dan akan membangun pemerintahan Islam. Selama masa penantian tersebut, Ayatullah Khomeini membentuk konsep yang dinamakan Wilayah al-Faqih sebagai konstitusi negaranya setelah revolusi 1979. Maka untuk mengetahui hakekat sebenarnya dari ajaran Syi’ah, dalam tulisan ini akan fokus membahas dua hal, pertama membahas konsep Imamah dan kedudukannya dalam ajaran Syi’ah Itsna ‘Asyariyah. Kedua menjelaskan implikasi konsep Imamah terhadap aqidah mereka. Dari kedua hal tersebut, pendapat Ulama Ahlu As-sunnah wa Al-jama’ah dijadikan sebagai acuan perbandingan secara proporsional.

DEFINISI IMAMAH
Imamah merupakan bahasa Arab yang berakar dari kata amma, menurut Ibnu Mandzur berarti yang berada di depan atau ketua.[6]Serupa dengan penjelasan dalam al-mu’jam asy-syamil limustholahat al-falsafah karya Dr. Abdul Mun’im Al-Hifny, imam ialah yang memiliki kekuasaan tertinggi didalam agama dan dunia, yang harus diikuti oleh seluruh umat.[7]Jadi, orang yang menjadi pemimpin harus selalu di depan untuk diteladani sebagai contoh. Kedudukan imam sama dengan penanggung jawab urusan umat.[8] Sedangkan menurut Muhammad Rasyid Ridho dalam bukunya Al Khilafah, kata Imamah, khilafah, serta amirul mukminin ketiganya mempunyai makna yang sama yaitu kepemimpinan satu pemerintahan Islam yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umatnya.[9]
Adapun pengertian Imamah menurut ulama Syi’ah, bahwa kepemimpinan spiritual atau rohani, pendidikan, agama dan politik bagi umat Islam telah ditentukan Allah secara turun-temurun (theo monarchi) sampai imam ke-12.[10] Sementara menurut al-Hilly, salah seorang ulama Syi’ah, imamah merupakan kepemimpinan umum dalam urusan dunia dan agama, oleh seseorang maupun beberapa orang, sebagai pengganti kepemimpinan Nabi SAW.[11] Muhammad Al-Husein Ali Kasyiful Ghita’, juga mengatakan dalam bukunya Ashlusy-Syi’ah wa Ushuluha, masalah Imamah merupakan dasar utama yang hanya dimiliki oleh Syi’ah Imamiyah dan menjadikan Syi’ah Imamiyah berbeda dari aliran-aliran dalam Islam lainnya. Ia adalah perbedaan yang bersifat dasar atau asasi, perbedaan lainnya hanya furu’iyah, tak ubahnya dengan perbedaan antarMadzahib (Hanafi, Syafi’i dan lain-lain). Lebih lanjut lagi, ia menyatakan bahwa Imamah semata-mata ialah anugerah Tuhan yang telah dipilih Allah dari zaman azali terhadap hambaNya, seperti Allah memilih Nabi dan memerintahkan kepada Nabi untuk menyampaikan kepada umat agar mereka mengikutinya. Syi’ah Imamiah berkeyakinan bahwa Allah telah memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menentukan ‘Ali r.a dan mengangkatnya sebagai pemimpin umat manusia setelah beliau.[12]
Berdasarkan tinjauan di atas dapat dikatakan bahwa konsepsi mengenai kepemimpinan dalam Islam memiliki makna lebih dari sekedar memimpin pada tataran konsepsi duniawi. Imamah ini menjadi prinsip dan dasar yang pokok dalam madzhab Syi’ah Dua Belas, seperti halnya pokok agama (ushuluddin)[13] karena menurut mereka masalah tersebut adalah rangkaian kalimat tauhid (Laa ilaaha illa Allah, Muhammad Rasulullah). Barangsiapa tidak percaya kepada Imamah, ia sama dengan orang tidak percaya kepada kalimat syahadat.
Dengan dimasukkannya Imamah (kepala negara dan pemerintahan) dalam bagian keimanan yang harus diyakini kebenarannya, tentu saja berlainan dengan Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Karena sesuai dengan metode pemahaman Ahlu Sunnah wal Jama’ah bahwa penetapan dasar aqidah menggunakan At-Taufiq bainan-naqli wal-‘aqli (Alqur’an, hadist dan An-Nazhar), maka dasar-dasar keimanan yang enam itu diambil sepenuhnya dari nash Alqur’an dan hadist-hadist Nabi SAW, terutama hadist yang dikenal dengan hadist Jibril.[14]
Maka pada paragraf selanjutnya akan dipaparkan dalil penetapan Imamah menurut Syi’ah dan bagaimana keyakinan mereka terhadap Imamah serta implikasinya dalam aqidah mereka.

DUA BELAS IMAM SYI’AH
Sebelum membahas tentang dalil penetapan Imamah, kita perlu mengetahui Imam-imam mereka. Syi’ah Itsna ‘Asyariyah berkeyakinan, ada 12 orang imam yang telah ditetapkan sesudah Rasulullah SAW dan mereka anggap ma’shum (terhindar dari dosa)Dan mereka-lah yang akan memimpin manusia sampai hari kiamat dan mereka itulah yang harus memerintah manusia sampai hari kiamat. Mereka adalah[15]:
1)     Ali bin Abi Thalib (Abu al Hasan) Bergelar “al Murtadla”. Lahir pada 10 tahun sebelum kenabian dan syahid pada tahun 40 Hijriyah. Khalifah Muslim keempat, sepupu dan anak mantu Rasulullah.
2)     Hasan bin Ali (Abu Muhammad) Bergelar “az Zaki”. Hidup antara tahun 3 – 50 Hijriyah. Putera Ali dan Fatimah.
3)     Husein bin Ali (Abu Abdillah) Bergelar “Penghulu para Syahid”. Hidup antara tahun 4 – 61 Hijriyah. Karakter yang paling disukai Syi’ah Iran, putera termuda Ali dan Fatimah.
4)     Ali bin Husein (Abu Muhammad) Hidup antara tahun tahun 38 – 95 Hijriyah. Putera dari Imam Husein, memiliki dua nama julukan: Sajjad (Ahli Sujud), dan Zein al-Abedin (penyembah terbaik)
5)     Muhammad bin Ali al Baqir (Abu Ja’far) Hidup antara tahun 57 – 114 Hijriyah. Putera Ali bin Husein, dipanggil baqir(secara harfiah berarti pembuka) karena ia secara kiasan membedah pelajaran Islam, memiliki otoritas yang memiliki pengetahuan dan tradisi Islam.
6)     Ja’far bin Muhammad ash Shadiq (Abu Abdillah) Hidup antara tahun 83 – 148 Hijriyah. Putera dari Muhammad bin Ali, bergelar Sadeq (kebenaran dan adil).
7)     Musa bin Ja’far al Kadzim (Abu Ibrahim) Hidup antara tahun 128 – 183 Hijriyah. Putera Imam Ja’far ash Shadiq, bergelar Kazem (menyembunyikan amarahnya)
8)     Ali bin Musa ar Ridla (Abu al Hasan) Hidup antara tahun 148 – 202/203 Hijriyah. Putera Musa al-kadzim, satu-satunya imam Syi’ah yang dimakamkan di Iran, di juluki Reza/Ridla(senang dan melawan)
9)     Muhammad bin Ali al Jawad (Abu Ja’far) Hidup antara tahun 195 – 220 Hijriyah. Putera imam Reza, memiliki gelar Javad /Jawad (Murah Hati)
10)  Ali Bin Muhammad al Hadi (Abu al Hasan) Hidup antara tahun 212 – 254 Hijriyah. Putera Imam Javad, memiliki julukan Hadi (penuntun).
11)  Hasan bin Ali al Askari (Abu Muhammad) Hidup antara tahun 232 – 260 Hijriyah. Putera imam Hadi, bergelarAsgari/askari (diawasi oleh kaum militan) karena ia dijaga secara ketat untuk memiliki keturunan.
12)  Muhammad bin Hasanal Mahdi (Abu al Qasim) Inilah yang disebut “Imam yang ghaib” dan “dinantikan kedatangannya” untuk menegakkan keadilan di muka bumi. Dikatakan bahwa “al Mahdi” (dijaga Allah) lahir pada tahun 256 Hijriyah mengalami “masa ghaib kecil (Ghaibah Shugra)” pada tahun 260 Hijriyah, dan “masa ghaib besar (Ghaibah Kubro)” pada tahun 329 Hijriyah. Ia hidup sampai hari kiamat sehingga bumi tidak sunyi dari Imam. Dan keimanan terhadap Imamah tidak sempurna kecuali dengan meyakini adanya Imam Mahdi. Ia merupakan orang yang dipercayai tidak dapat meninggal dan orang yang dijanjikan juru selamat agama Ibrahim. Ia dikenal dengan julukan Vali-yeAsr atau sahibal-Zaman (penguasa zaman)

ARGUMENTASI PENETAPAN IMAMAH
Syi’ah Itsna ‘Asyariyah berkeyakinan bahwa Nabi SAW telah menunjuk pengganti sepeninggal beliau. Melalui beberapa nash –secara eksplisit maupun implisit- Nabi SAW menetapkan Ali bin Abi Thalib sebagai Amirul Mu’minin, penerima amanat wahyu serta imam bagi manusia. Mereka berpendapat tentang keimanan Sayyidina Ali r.a sesudah Nabi SAW berdasar nash yang dhohir, penetapan yang benar, dengan tanpa ada yang menentang dengan sifat, bahkan isyarat dengan terang.[16] Beliau telah mengangkat dan membai’atnya sebagai Amirul Mu’minin pada hari Ghadir Khum. Rasulullah SAW juga menjelaskan bahwa para imam setelah Nabi adalah 12 orang imam yang nama-nama dan urutannya telah ditentukan.
Banyak ulama Syi’ah menyatakan bahwa peristiwa di Ghadir Khum merupakan bukti nyata pengangkatan Imam Ali sebagai penerus tampuk kepemimpinan pascawafatnya Nabi. Salah satunya ialah Athabthabai, seorang tokoh Syi’ah Ja’fariyah abad kedua puluh ini mengatakan bahwa alasan utama yang mendukung pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pertama ialah beberapa hadist peristiwa Haji Wada’ yang bersejarah di Ghadir Khum.[17] Dari hadist tersebut, sekiranya perlu untuk diteliti kembali bagaimana kualitas hadist tersebut ditinjau dari otentisitas sanad dan validitas matannya.Apakah hadist tersebut shahih dan bagaimana analisis hadist tentang riwayat kepemimpinan Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti Rasulullah SAW tersebut. Dengan harapan menjawab kesalahpahaman yang terjadi selama ini di kalangan umat Islam tentang kepemimpinan dalam sejarah khulafaurrasyidin.
Matan hadist yang diambil sesuai yang tertera dalam kitab aslinya, dengan menggunakan al-Mu’jam al-Hadist.[18] Berdasarkan keterangan dari mu’jam hanya didapatkan dua riwayat hadist, yang satu di kitab hadist Sunan al-Tirmidzi,[19] dan Musnad Ahmad ibn Hanbal,[20]
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الضُّبَعِىُّ عَنْ يَزِيدَ الرِّشْكِ عَنْ مُطَرِّفِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم جَيْشًا وَاسْتَعْمَلَ عَلَيْهِمْ عَلِىَّ بْنَ أَبِى طَالِبٍ فَمَضَى فِى السَّرِيَّةِ فَأَصَابَ جَارِيَةً فَأَنْكَرُوا عَلَيْهِ وَتَعَاقَدَ أَرْبَعَةٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالُوا إِذَا لَقِينَا رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَخْبَرْنَاهُ بِمَا صَنَعَ عَلِىٌّ وَكَانَ الْمُسْلِمُونَ إِذَا رَجَعُوا مِنَ السَّفَرِ بَدَءُوا بِرَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَسَلَّمُوا عَلَيْهِ ثُمَّ انْصَرَفُوا إِلَى رِحَالِهِمْ فَلَمَّا قَدِمَتِ السَّرِيَّةُ سَلَّمُوا عَلَى النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم فَقَامَ أَحَدُ الأَرْبَعَةِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَمْ تَرَ إِلَى عَلِىِّ بْنِ أَبِى طَالِبٍ صَنَعَ كَذَا وَكَذَا. فَأَعْرَضَ عَنْهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ثُمَّ قَامَ الثَّانِى فَقَالَ مِثْلَ مَقَالَتِهِ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ قَامَ إِلَيْهِ الثَّالِثُ فَقَالَ مِثْلَ مَقَالَتِهِ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ قَامَ الرَّابِعُ فَقَالَ مِثْلَ مَا قَالُوا فَأَقْبَلَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَالْغَضَبُ يُعْرَفُ فِى وَجْهِهِ فَقَالَ « مَا تُرِيدُونَ مِنْ عَلِىٍّ مَا تُرِيدُونَ مِنْ عَلِىٍّ مَا تُرِيدُونَ مِنْ عَلِىٍّ إِنَّ عَلِيًّا مِنِّى وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَلِىُّ كُلِّ مُؤْمِنٍ بَعْدِى – )رواه الترمذي(
“Menceritakan kepada kami dari Qutaibah, diceritakan dari Ja’far bin Sulaiman adh-Dhuba’i, dari Yazid Ar-Risyk, dari Mutharrif bin ‘Abdillah, dari Imran bin Husain berkata bahwa Rasulullah SAW. Mengutus (mengirimkan) bala tentara dan menjadikan Ali sebagai pimpinan perang. Ali melewati kawanan perang. Kemudian Ali berjima’ dengan salah satu tawanan wanita (budak). Kemudian para tentara mengingkari apa yang diperbuat oleh Ali. Ada empat orang sahabat yang saling bersepakat bahwa apabila kita berjumpa dengan Rasul maka kita akan mengadukan apa yang diperbuat oleh Ali. Kaum muslimin setelah mereka kembali dari perjalanan mereka menemui Rasul dan mengucapkan salam kepadanya. Kemudian melanjutkan perjalanan. Ketika rombongan perang itu sampai dan juga mengucapkan salam kepada Rasulullah, salah satu dari empat sahabat mengadu kepada Rasulullah SAW. “Apa pendapatmu wahai Rasulullah atas apa yang dilakukan Ali, dia berbuat demikian, demikian? Maka Rasulullah SAW berpaling dari sahabat tersebut. Kemudian sahabat yang kedua juga mengadukan hal serupa kepada Rasulullah SAW, kemudian Rasul berpaling.  Kemudian sahabat yang ketiga juga mengadukan hal serupa kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasul berpaling. Kemudian sahabat yang keempat juga mengadukan hal serupa kepada Rasulullah SAW, kemudian Rasul merespon, dan wajahnya menunjukkan kemarahan.” Apa yang engkau harapkan dari Ali, apa yang engkau harapkan dari Ali, apa yang engkau harapkan dari Ali? Sesungguhnya Ali dariku dan aku dari Ali, dan dia adalah pemimpin seluruh mu’min setelahnya” (HR. Tirmidzi)
Sedangkan Hadist yang sama juga didapati dari jalur Imam Ahmad ibn Hanbal melalui sumber yang sama yaitu Ja’far bin Sulaiman.
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ وَعَفَّانُ الْمَعْنَى وَهَذَا حَدِيثُ عَبْدِ الرَّزَّاقِ – قَالاَ ثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ قَالَ حَدَّثَنِى يَزِيدُ الرِّشْكُ عَنْ مُطَرِّفِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم سَرِيَّةً وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ عَلِىَّ بْنَ أَبِى طَالِبٍ فَأَحْدَثَ شَيْئاً فِى سَفَرِهِ فَتَعَاهَدَ  قَالَ عَفَّانُ فَتَعَاقَدَ  أَرْبَعَةٌ مِنْ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم أَنْ يَذْكُرُوا أَمْرَهُ لِرَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم. قَالَ عِمْرَانُ وَكُنَّا إِذَا قَدِمْنَا مِنْ سَفَرٍ بَدَأْنَا بِرَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَسَلَّمْنَا عَلَيْهِ. قَالَ فَدَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَامَ رَجُلٌ مِنْهُمْ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عَلِيًّا فَعَلَ كَذَا وَكَذَا . فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ قَامَ الثَّانِى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عَلِيًّا فَعَلَ كَذَا وَكَذَا. فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ قَامَ الثَّالِثُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عَلِيًّا فَعَلَ كَذَا وَكَذَا. فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ قَامَ الرَّابِعُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عَلِيًّا فَعَلَ كَذَا وَكَذَا. قَالَ فَأَقْبَلَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى الرَّابِعِ وَقَدْ تَغَيَّرَ وَجْهُهُ فَقَالَ « دَعُوا عَلِيًّا دَعُوا عَلِيًّا دَعُوا عَلِيًّا إِنَّ عَلِيًّا مِنِّى وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَلِىُّ كُلِّ مُؤْمِنٍ بَعْدِى   –  )رواه أحمد(
Sanad[21] hadist yang diteliti adalah yang melalui jalur hadist Imam Tirmidzi, sedangkan sanad hadist riwayat Imam Ahmad hanya sebagai pendukung hadist pertama. Penelitian hadits ini dimulai dari sanad terakhir dan  kemudian dilanjutkan pada perawi sebelumnya hingga sanad teratas yang menerima hadits langsung dari Nabi SAW. Jika dilihat dari sanad hadist yang telah diteliti di atas, maka tidak terdapat masalah besar pada kualitas perawi, (misal kadzdzab atau Dajjal), semua dikategorikan dalam perawi tsiqah dan shaduq.[22]Namun, perawi pada jalur hadist tersebut ditemukan seorang  perawi yang bermasalah, sehingga kualitas sanad tersebut perlu ditinjau kembali. Meskipun Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadist yang telah disampaikan di atas adalah Hasan Gharib.[23] Karena terdapat sedikit masalah pada perawi ke-2 (urutan terakhir) yaitu Ja’far bin Sulaiman yang bergelar Adh-Dhubba’i sebenarnya dapat dipercaya namun sikapnya cenderung berpihak pada riwayat-riwayat dari Syi’ah. Ada pendapat ulama hadist tentang persolan tersebut, seperti yang disebutkan dalam kitab tahdzibut Tahdzib dikatakan bahwa perawi yang tasayyu’ diterima riwayatnya, apabila hadist yang diriwayatkannya tidak berkenaan dengan ajaran yang mendukung aliran Syi’ah.Artinya hadist yang diriwayatkan oleh perawi Tasyayyu’ ditolak apabila riwayat tersebut berkenaan dengan Syi’ah.[24]
Berdasarkan penelitian kualitas dan persambungan sanad tersebut di atas, diketahui bahwa seluruh perawi yang terdapat dalam sanad Imam Tirmidzi yang menjadi penekanan inti dalam penelitian ini, perawinya tsiqah dan sanadnya bersambung mulai dari At-Tirmidzi selaku mukharrij sampai kepada ‘Imran bin Husain, selaku perawi pertama yang terkait langsung dengan Rasulullah SAW.
Dalam riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Tirmidzi ini, dari perawi terakhir yaitu Qutaibah, di sana akan terlihat bahwa Imam Tirmidzi tidak sebagai murid dari Qutaibah. Yang ada hanya Imam Ahmad ibn Hanbal sebagai murid Qutaibah. Mungkin menurut penulis dalam kasus ini Imam Tirmidzi mengambil Hadist dari Imam Ahmad bin Hanbal. Jika dilihat dari sanad dan matannya pun tidak ada perbedaan dari hadist yang dikeluarkan Imam Ahmad. Hanya perawi terakhir melalui jalur Hadist Imam Ahmad yang berbeda yaitu, bersumber dari ‘Abdur Razak dan Affan
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa sanad dari hadist Imam Tirmidzi ini bersambung, namun hadist tersebut bermasalah dari ada salah satu perawi yang Tasyayyu’. Maka dalam hal ini kita juga akan melihat bagaimana analisis terhadap matan hadist tersebut, untuk kemudian di akhir bisa disimpulkan.
Untuk menyelesaikan matan hadist yang dibahas tersebut di atas, mungkin perlu dilakukan peninjauan tentang kemungkinan adanya sisi bertentangan yang dikandung oleh matan hadist tersebut. Jika mengikuti pola analisis di atas kita akan menemukan bahwa ada riwayat lain dari hadist shahih yang juga membahas tentang persolan kepemimpinan setelah Rasulullah SAW. Di antaranya ada riwayat dari Ibnu Abbas, Imam Ahmad meriwayatkan,[25]
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ حَدَّثَنَا أَبِى عَنْ صَالِحٍ قَالَ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ أَخْبَرَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ عَلِىَّ بْنَ أَبِى طَالِبٍ خَرَجَ مِنْ عِنْدِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِى وَجَعِهِ الَّذِى تُوُفِّىَ فِيهِ فَقَالَ النَّاسُ يَا أَبَا حَسَنٍ كَيْفَ أَصْبَحَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ أَصْبَحَ بِحَمْدِ اللَّهِ بَارِئاً. قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فَأَخَذَ بِيَدِهِ عَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ أَلاَ تَرَى أَنْتَ وَاللَّهِ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم سَيُتَوَفَّى فِى وَجَعِهِ هَذَا إِنِّى أَعْرِفُ وُجُوهَ بَنِى عَبْدِ الْمُطَّلِبِ عِنْدَ الْمَوْتِ فَاذْهَبْ بِنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَلْنَسْأَلْهُ فِيمَنْ هَذَا الأَمْرُ فَإِنْ كَانَ فِينَا عَلِمْنَا ذَلِكَ وَإِنْ كَانَ فِى غَيْرِنَا كَلَّمْنَاهُ فَأَوْصَى بِنَا. فَقَالَ عَلِىٌّ وَاللَّهِ لَئِنْ سَأَلْنَاهَا رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَمَنَعَنَاهَا لاَ يُعْطِينَاهَا النَّاسُ أَبَداً فَوَاللَّهِ لاَ أَسْأَلُهُ أَبَداً. ( رواه أحمد)
“Ali bin Abi Thalib keluar dari sisi Rasulullah SAW ketika sakit beliau parah. Maka orang-orang (sahabat) bertanya, ‘Wahai Abu Hasan, bagaimanakah kondisi Rasulullah SAW?’Ali menjawab, ‘Alhamdulillah, beliau telah membaik. “Ibnu Abbas berkata, “Maka Abbas bin Abdul Muthalib memegang tangan Ali dan berkata, “Bagaimana pendapatmu? Demi Allah, saya melihat wajah bani Abdul Muthalib layu apabila beliau meninggal. Maka pergilah bersama kami kepada Rasulullah untuk menanyakan tentang siapakah yang akan diserahi kepemimpinan setelahnya? Jika itu dalam tangan kita, maka akan kita terima. Dan jika di tangan selain kita, maka kita akan menyampaikan kepada beliau untuk mewasiatkan kepada kita.“ Ali berkata, “Demi Allah, jika kami meminta kepada Rasulullah SAW lalu menolaknya, maka orang-orang tidak akan memberikannya kepada kita. Demi Allah, kami tidak akan meminta hal itu kepadanya.” (HR. Ahmad).
Riwayat tersebut sangat jelas menggambarkan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib tidak punya ambisi untuk menjadi khalifah setelah Rasulullah SAW wafat. Hal ini terlihat dari penolakannya atas bujukan Abbas bin Abdul Muthalib supaya meminta kepemimpinan diwasiatkan kepada Ali bin Abi Thalib.
Selain dari riwayat lain di atas, Penambahan ‘بَعْدِى‘ pada hadist yang dibahas
إِنَّ عَلِيًّا مِنِّى وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَلِىُّ كُلِّ مُؤْمِنٍ بَعْدِى  menunjukkan kerancuan berfikir kelompok Syi’ah.[26] Hal ini diperkuat oleh beberapa riwayat yang disebutkan Ahmad bin Hanbal sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْنٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِى غَنِيَّةَ عَنِ الْحَكَمِ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ بُرَيْدَةَ قَالَ غَزَوْتُ مَعَ عَلِىٍّ الْيَمَنَ فَرَأَيْتُ مِنْهُ جَفْوَةً فَلَمَّا قَدِمْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ذَكَرْتُ عَلِيًّا فَتَنَقَّصْتُهُ فَرَأَيْتُ وَجْهَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَتَغَيَّرُ فَقَالَ « يَا بُرَيْدَةُ أَلَسْتُ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ ». قُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ مَنْ كُنْتُ مَوْلاَهُ فَعَلِىٌّ مَوْلاَهُ.[27]
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِى سَرِيَّةٍ. قَالَ لَمَّا قَدِمْنَا قَالَ « كَيْفَ رَأَيْتُمْ صَحَابَةَ صَاحِبِكُمْ ». قَالَ فَإِمَّا شَكَوْتُهُ أَوْ شَكَاهُ غَيْرِى. قَالَ فَرَفَعْتُ رَأْسِى وَكُنْتُ رَجُلاً مِكْبَاباً. قَالَ فَإِذَا النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم قَدِ احْمَرَّ وَجْهُهُ. قَالَ وَهُوَ يَقُولُ  مَنْ كُنْتُ وَلِيَّهُ فَعَلِىٌّ وَلِيُّهُ[28]
Berdasarkan keterangan di atas disimpulkan bahwa penambahan kata “بَعْدِى“ tertolak. Dengan demikian pendapat Syi’ah yang mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah pengganti tunggal Rasul juga tertolak. Menurut Ibnu Taimiyah, riwayat yang menyatakan, “Dia pemimpin umat setelahku” adalah sebuah kebohongan yang ditujukan pada Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi maksud hadist tersebut adalah bahwa “Ali kekasih umat Islam, dan umat Islam juga menjadi kekasih Ali, hal ini berlaku baik ketika hidup atau sepeninggalnya (Rasulullah SAW).”[29]
Jadi  penjelasan tentang matan hadist tersebut adalah bahwa kata وَلِىُّyang dimaksud bukan pemimpin tapi orang yang dikasihi. Dan menurut Imam Tirmidzi, hadist di atas adalah hadist Marfu’ karena sanad bersambung langsung dengan Rasulullah SAW. Menurutnya, berdasarkan sanad yang bersambung dan juga tidak didapatkan perawi yang cacat, maka secara kualitas hadist ini adalah Hasan Gharib.[30] Dikatakan Gharib karena hanya memiliki satu jalur riwayat hadist yang menyendiri. Hadist hasan gharib ini bisa diterima jika dari sanad dan matannya tidak mengandung masalah. Meskipun hadist yang dibahas berstatus hasan, namun keberadaan hadist-hadist yang diriwayatkan Imam Ahmad -yang disebutkan dalam pembahasan sebelumnya- sebagai penjelas (syarah) terhadap hadist tersebut. Dengan demikian, kesimpulan bahwa tidak ada kata “ba’dii” jelas dapat diterima.
Berdasarkan penelitian hadist tentang kepemimpinan Ali r.a tersebut, dapat disimpulkan bahwa hadist tersebut jika dilihat dari kualitasnya adalah Hasan Gharib. Meskipun di dalamnya terdapat perawi Tasyayyu’, namun hadist ini telah disyarah oleh hadist lain yang shahih sekaligus menjelaskan dengan sempurna makna hadist tersebut.
Jika merujuk pada pendapat Imam Ahmad, maka jelas terlihat bahwa hadist tersebut tertolak berdasarkan riwayat  lain yang juga terdapat dalam kitab musnadnya. Dan memungkinkan hadist tersebut telah dimansukh oleh hadist yang menjelaskan hadist yang menjadi fokus dalam pembahasan ini.

KEDUDUKAN IMAMAH
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa Imamah dalam pandangan Syi’ah tidak hanya merupakan suatu sistem pemerintahan, tetapi juga rancangan Tuhan yang absolut dan menjadi dasar syariat, yang kepercayaan kepadanya dianggap sebagai penegas keimanan. Oleh karena itu Syi’ah berpendapat bahwa Imamah merupakan bagian dari ushuluddin, yang mana tidak akan sempurna keimanan kecuali dengan keyakinan terhadap Imamah. Mereka juga berkeyakinan bahwasanya imamah sama seperti kenabian,[31] lutf (petunjuk) dari Allah SWT dan sudah menjadi keharusan di dalam setiap zaman ada seorang Imam sebagai penerus tugas kenabian dalam memberi petunjuk kepada umatnya. Para Imam juga memiliki hak-hak Nabi dalam memimpin manusia untuk mengurus berbagai permasalahan mereka, menegakkan keadilan dan menghilangkan kezaliman dan permusuhan di antara mereka.
Sebagian ulama Syi’ah menyatakan bahwa Imamah merupakan estafet dari kenabian, dan dalil yang menetapkan diutusnya Nabi dan Rasul  juga menetapkan diutusnya seorang Imam setelah Rasul.[32]Senada dengan hal itu, Ali Kasyifu al-Ghita’ juga menyatakan bahwa Imamah itu merupakan kedudukan Ilahiyah (manshobun ilahiyyun) seperti halnya kenabian. Allah-lah yang memilih para Imam, sebagaimana Allah berkehendak untuk memilih seorang Nabi dan memberikan mu’jizat kepada para Nabi.[33] Oleh sebab itu, teramat sulit bagi manusia untuk membedakan antara Nabi dan Imam.[34]
Pendapat yang lain mengatakan, barangsiapa tidak mempercayai Imamah dianggap kafir bahkan lebih buruk daripada mengingkari kenabian. Hal ini dikarenakan masih memungkinkannya sebuah zaman tanpa adanya seorang Nabi, tidak seperti halnya Imam yang selalu ada di setiap zaman. Karena Imamah merupakan petunjuk yang lebih umum (lutf ‘am), sedangkan kenabian hanya petunjuk khusus (lutf khos).[35]Adapun dalam beberapa kitab Syi’ah disebutkan perbedaan antara Rasul, Nabi dan Imam. Seperti dalam kitab awailu al-maqalat karya Al-Mufid, bahwa Rasul ialah seseorang yang turun Jibril kepadanya dan ia melihatnya serta mendengar perkataannya, kemudian turunlah wahyu. Dan Nabi ialah seseorang yang melihat jibril dalam mimpi dan mendengar perkataannya. Sedangkan Imam mendengar perkataan Jibril akan tetapi tidak melihatnya di dalam mimpi maupun secara langsung.[36]
Maka dapat disimpulkan bahwa Imamah menurut Syi’ah Imamiyah berada di luar otoritas manusia. Lebih dari itu, Ibnu Babawie al-Qummi, yang lebih dikenal dengan as-Shaduq, berpendapat bahwa iman kepada kenabian Muhammad SAW tidak ada artinya jika tidak dibarengi dengan keimanan kepada Imamah. Karenanya, Imam tak dapat dipilih berdasarkan keputusan manusia. Seperti Nabi SAW, Imam ditunjuk berdasarkan ketetapan Allah Swt. Bedanya, Nabi berhubungan langsung dengan Allah Swt, sedangkan Imam diangkat oleh Nabi SAW setelah mendapat perintah dari Allah Swt.[37] Jadi posisi para Imam identik dengan posisi kenabian.[38] Bahkan ada yang beranggapan bahwa Imam lebih tinggi derajatnya daripada Nabi.[39]
Oleh karena itu, Imam yang menggantikan Nabi SAW bukanlah sembarang orang, tetapi harus memiliki sejumlah sifat yang dimiliki Nabi SAW. Dan persyaratan menjadi Imam tidak cukup harus seorang Quraisy, seperti yang diyakini sahabat ketika itu, tetapi harus pula memiliki syarat-syarat lain, yaitu ‘ismah (bebasnya para Imam dari kesalahan dan dosa atau  kemampuan menjaga diri dari dosa walau sekecil apapun) dan ilm (ilmu yang sempurna).[40] Imamah yang memiliki sifat ‘ismah itu perlu, karena syariat tidak akan dapat berjalan tanpa adanya kekuasaan mutlak yang berfungsi memelihara serta menafsirkan pengertian yang benar dan murni (tanpa melakukan kesalahan) terhadap syariat itu. Begitu pula dengan ilmu imam, mestilah suci dan bersifat hudhuri (kehadiran langsung objek ilmu) dan syuhudi (tersaksikan dengan mata batin) atau bantuan gaib dan taufik ilahiah. Selain itu, struktur jasmani, otak serta urat syaraf, dan potensi ilmiah para imam sempurna dan senantiasa mendapat pertolongan ilahi. Semua itu, mutlak diperlukan untuk sampainya pesan-pesan ilahi secara jelas dan sempurna, tanpa cacat dan kesalahan.[41] Jadi bagi Syi’ah, orang yang memenuhi syarat untuk berperan sebagai penafsir hukum Tuhan hanyalah perantara ‘supra manusiawi’ yang diberi petunjuk oleh pencipta hukum tersebut, yaitu para Imam. Karenanya, Syi’ah mengembangkan teori tentang Imamah sesuai dengan ketentuan imam yang dipilih oleh Tuhan dan bukan hasil pilihan umat manusia.[42]
Mengenai penetepan Imamah, ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah, salah satunya Asy-syahrastani, menyatakan bahwa Imamah ditetapkan dengan musyawarah, pemilihan, pendapat dan ijma’, bukan dengan pengangkatan dan penunjukkan (Allah dan RasulNya / Nash wa Ta’ayun).[43] Karena Imamah bukanlah termasuk kategori ushuluddin, tetapi masalah furu’iyyah. Memang sebagian besar ulama Ahlu Sunnah mengharuskan imam berasal dari keturunan Quraisy, tetapi pendapat ulama mutaakhirin (abad IV dan sesudahnya) tidak mensyaratkan nasab tersebut. Dan juga syarat seorang imam ialah wujud (ada), bukan tersembunyi  dan juga bukan ditunggu. Tidak diisyaratkan harus ma’shum, namun seorang imam diharuskan memiliki ilmu pengetahuan, kemampuan dan sempurna anggota badan.[44] Namun apabila Syi’ah berpendapat imam itu haruslah ma’shum (terbebas dari dosa besar maupun dosa kecil), apakah mereka tidak memahami firman Allah SWT dalam surat ‘Abasa, bahwa seorang Nabipun pernah melakukan kesalahan dan mendapat teguran dari Allah karena mengabaikan seorang Ibnu Maktum yang buta.
Selain itu, Muhammad bin Ya’qub Al-Kulainy, pakar hadist Syi’ah, meriwayatkan sejumlah hadits yang menunjukkan bahwa Imamah merupakan rukun Islam terbesar.[45] Ia pun menambahkan bahwa Imamah yang paling utama, sebab ia kunci dari yang lainnya, sementara seorang imam adalah pemandu.[46] Jadi, barangsiapa yang meninggal dan tidak mengetahui Imam, maka mereka itu meninggal dalam kebodohan (maata maitatan jaahiliyyah).[47] Ia pun menjelaskan beberapa kelebihan para Imam dan menuliskan bab khusus tentang hal tersebut, seperti sesungguhnya bumi tidak pernah sunyi daripada al-hujjah (imam) sebanyak 13 riwayat, sesungguhnya para imam adalah saksi-saksi Allah ke atas makhluk-Nya 5 riwayat, sesungguhnya para imam a.s adalah uli amri llahi dan penyimpan ilmu-Nya 6 riwayat, sesungguhnya para imam a.s adalah khalifah Allah SAW di bumi-nya dan pintu-pintu-nya yang didatangi 3 riwayat, sesungguhnya para imam a.s di sisi mereka semua kitab yang diturunkan oleh Allah SAW dan sesungguhnya mereka mengetahuinya sekalipun bahasanya berbeda 2 riwayat, sesungguhnya tidak seorangpun yang telah mengumpulkan al-qur’an kesemuanya melainkan para imam a.s. sesungguhnya mereka mengetahui semua ilmuNya 6 riwayat, tanda-tanda para Nabi a.s dimiliki oleh para imam a.s 5 riwayat, sesungguhnya para imam a.s mengetahui semua ilmu yang telah keluar kepada malaikat, para nabi dan para rasul a.s 4 riwayat, sesungguhnya para imam a.s mengetahui bila mereka akan mati dan sesungguhnya mereka tidak akan mati melainkan dengan pilihan mereka sendiri 8 riwayat.[48] Itulah beberapa kelebihan para Imam yang tertulis dalam kitab Al-Kaafi dan sebagian lainnya dalam kitab Bihar al-Anwar.
Dalam pandangan ahlu as-sunnah dan hampir seluruh kelompok dan sekte Islam sepakat bahwa imamah (kepemimpinan) merupakan kebutuhan kemanusiaan serta kewajiban agama, dimana tidak mungkin sebuah masyarakat dimana saja mereka berada dapat menjalani kehidupan mereka secara ideal kecuali di bawah naungan sebuah negara atau pemerintahan. Karena dalam sebuah masyarakat pasti dibutuhkan pemimpin yang akan memimpin dan mengatur seluruh urusan rakyatnya.Namun Syi’ah Imamiah mengatakan bahwa Imamah merupakan kewajiban ketuhanan dan salah satu rukun iman. Dengan kata lain, mengangkat imam merupakan kewajiban bagi Allah, sebagaimana dikatakan oleh al-Hilly. Dan jika kita perhatikan pemaparan tentang kelebihan para imam di atas, dapat kita simpulkan bagaimana sikap mereka yang berlebihan (Al-Ghuluw) terhadap para Imam. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari penetapan Imamah sebagai salah satu aqidah Syi’ah Imamiah. Sikap tersebut mendesain dan berimplikasi terhadap seluruh pandangan-pandangan Syi’ah lainnya.

IMPLIKASI AQIDAH IMAMAH
Telah disebutkan sebelumnya bahwa Syi’ah Itsna ‘Asyariyah berkeyakinan bahwa Imamah (kepemimpinan) dua belas imam telah ditunjuk melalui nash wa-l-washiyyah (naskah tertulis serta wasiat).Keyakinan inilah yang kemudian menjadi pangkal bagi konsepsi dan keyakinan-keyakinan yang lain. Dengan kata lain, konsep Imamah merupakan konsep pokok dalam pemikiran Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, sementara konsepsi yang lainnya merupakan konsepsi pendukung yang merupakan implikasi dari konsepsi pokok, yaitu Imamah.
Pengaruh Imamah secara eksplisit lebih menonjol dalam kegiatan dan moralitas Syi’ah, sehingga mewarnai semua ajarannya seperti aqidah, syariah dan tasawuf. Imamah menjadi sumber penafsiran Al-Quran, penjelasan hadits dan sumber kekuasaan setelah Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Implikasi konsepsi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :


RUKUN IMAN BGI pecinta ahlulbait=Mengenal Allah



Mengenal Allah

1. Mengapa kita perlu membahas masalah ma'rifatullah?

Tidak akan ada gerak tanpa motivasi. Tentu saja upaya untuk mengetahui masalah asal-usul keberadaan semesta juga tidak dapat terlaksana tanpa motivasi dan dorongan. Para filsuf dan ilmuwan menyebutkan tiga faktor fundamental dalam rangka mengenal Tuhan. Faktor tersebut senada dengan apa disinggung secara jelas oleh al-Qur'an, antara lain:
a. Motivasi Akal
b. Motivasi Fitri
c. Motivasi Kasih

a. Motivasi Akal

Setiap manusia pecinta kesempurnaan. Kecintaan ini bersifat substansial dan merata. Hanya saja, setiap orang melihat kesempurnaannya pada suatu hal tertentu, lalu mengusahakannya. Ada sekelompok orang yang, alih-alih mengejar air, mengejar kepuasan dan kesempurnaan semu serta mengira bahwa itu adalah realitas.
Motivasi ini kerap disebut sebagai "naluri mencari keuntungan dan menghindari kerugian". Lantaran naluri ini, manusia melihat dirinya memiliki tugas untuk menyikapi secara serius hubungannya dengan segala hal yang bertalian dengan nasibnya (dari perspektif untung dan rugi).
Akan tetapi, menyebut kecintaan ini sebagai naluri (gharizah) bukanlah suatu hal yang mudah, karena naluri biasanya digunakan pada hal-hal yang memiliki efek tanpa intervensi pemikiran dalam pelbagai perbuatan manusia atau segala makhluk lainya. Atas alasan ini, dalam urusan dunia fauna, istilah ini juga sering dipakai.
Oleh karena itu, lebih baik kita menggunakan istilah "kecendrungan-kecendrungan transendental" yang digunakan oleh sebagian orang dalam masalah ini.
Secara umum, cinta pada kesempurnaan dan cenderung kepada keuntungan spiritual dan material serta menghindar dari segala bentuk kerugian mengarahkan seseorang untuk meneliti kemungkinan (ihtimâl) diperoleh atau tidaknya. Yakni, semakin kemungkinan memperoleh keuntungan itu kuat, atau semakin terjadinya kerugian itu besar, penelitian atas masalah ini semakin penting.
Adalah mustahil bagi seseorang yang memberikan kemungkinan tentang suatu perkara yang akan menentukan nasibnya, namun ia tidak memandang dirinya bertanggung jawab untuk meneliti perkara tersebut.
Dalam kategori ini, iman kepada Allah dan pengkajian agama merupakan perkara yang niscaya. Sebab, teks-teks agama banyak memuat persoalan nasib dan persoalan baik-buruk perilaku manusia yang berhubungan erat dengan iman.
Dalam menjelaskan masalah ini, sebagian orang membawakan beberapa perumpamaan. Misalnya, "Anggaplah kita melihat seseorang yang berada di persimpangan dua jalan. Kepada dirinya ia berkata, 'Tinggal di tempat ini sangat berbahaya, dan memilih jalan ini juga berbahaya, sedangkan jalan yang lain adalah jalan keselamatan.' Kemudian, ia menguraikan indikasi-indikasi dan bukti-bukti untuk keduanya. Tentu, ia perlu meneliti dua jalan di hadapannya itu. Mengabaikan kedua-duanya adalah bertentangan dengan akal sehat."
Kaidah akal "menghindari kerugian yang mungkin ada" yang popular ini merupakan turunan dari motivasi akal. Kepada Nabi saw., Al-Qur'an menegaskan, "Katakanlah, 'Bagaimanakah pendapat Kamu seandainya Al-Qur'an ini berasal dari sisi Allah, kemudian Kamu mengingkarinya, siapakah yang lebih sesat dari orang yang selalu berada dalam penyimpangan yang jauh?'" (Qs. Fushshilat [41]: 52)
Tentu saja, ayat ini tidak ditujukan kepada mereka yang enggan menggunakan argumentasi logis. Sejatinya, bila ayat ini ditujukan kepada orang-orang keras kepala, pongah, dan fanatik, maka ia menyatakan bahwa sekiranya Anda menolak mutlak akan kebenaran Al-Qur'an, Tauhid dan adanya kehidupan setelah kematian (ma'âd), niscaya tidak ada argumentasi yang dapat menafikan semua kebenaran ini. Dengan demikian, kemungkinan yang tersisa adalah bahwa ajakan Al-Qur'an dan perkara hari kebangkitan sungguh sebuah kebenaran. Pada titik ini, pikirkanlah nasib buruk yang kelak akan Anda hadapi akibat kesesatan dan penentangan tak berdasar yang Anda lakukan terhadap ajakan Ilahi ini.
Pesan ayat ini serupa dengan apa yang disampaikan oleh para Imam Maksum a.s. dalam menghadapi orang-orang yang keras kepala pada kesempatan terakhir, sebagaimana hadis yang diriwayatkan dalam Al-Kâfî. Marilah kita simak bersama!
Banyak informasi yang telah disampaikan kepada Imam Ash-Shadiq a.s. tentang Ibn Abi Al-Aujah; seorang materialis dan ateis. Sampai akhirnya mereka bertemu di musim haji. Sebagian dari sahabat Imam berkata, "Rupanya Ibn Abi al-Aujah kini telah memeluk Islam".
Imam berkata, "Ia kini lebih gelap dan lebih buta hatinya. Ia tidak akan pernah menjadi Muslim".
Tatkala melihat Imam, ia berkata, "Salam Sejahtera, wahai Tuanku!"
Imam menjawab dengan melontarkan pertanyaan kepadanya, "Untuk apa engkau datang kemari?"
Ia menjawab, "Di samping sudah menjadi kebiasaan kami, juga tradisi lingkungan menuntut demikian, aku hendak menyaksikan perbuatan orang-orang ini yang biasa dilakukan oleh para jin; menggundul kepala dan melempar jumrah."
Imam berkata, "Engkau masih saja tetap sesat dan keras kepala, Wahai Abdul Karim."
Sebelum Ibn Abi al-Aujah menjawab, Imam segera menukas, "Di musim haji ini, bukanlah tempat untuk berdebat!"
Lalu beliau menepikan aba'ah-nya seraya berkata, "jika benar seperti yang kau katakan bahwa Allah dan Hari Kiamat itu tidak ada -padahal tidaklah demikian- maka di samping kami adalah orang-orang selamat, engkau juga demikian. Namun, jika benar apa yang kami yakini -dan memang demikian kenyataannya- maka kami termasuk orang-orang selamat, sedangkan engkau pasti binasa."
Ibn Abi al-Aujah menatap orang-orang yang menyertainya dan berkata, "Di lubuk hatiku yang paling dalam aku merasakan luka. Bawalah aku kembali!" Mereka membawanya pulang. Tidak lama setelah itu, ia meninggal.

b. Motivasi Kasih

Sebuah pepatah mengatakan, "Al-Insân 'abidul ihsân" (Manusia adalah hamba kebaikan).
Dengan kandungan yang sama, Imam Ali a.s. pernah berkata, "Al-Insân 'abdul ihsân" (Manusia adalah hamba kebaikan).
Pada hadis lain, beliau juga menegaskan, "Bil Ihsân tumlakul qulûb" (Dengan perbuatan baik, hati akan tertaklukkan).
Juga sebuah hadis yang dinukil dari Imam Ali a.s. mengatakan: "Wa afdhil man syi'ta takun amîrah(u)" (Lakukan kebaikan kepada siapa saja, niscaya engkau menjadi tuannya).
Akar dari semua pesan itu dapat dijumpai pada hadis Rasulullah saw., bahwa "Sesungguhnya Allah Swt. telah menjadikan hati takluk kepada siapa saja yang berbuat baik kepadanya dan murka terhadap siapa saja yang berlaku buruk kepadanya."
Kesimpulan dari semua itu ialah; barangsiapa berbuat khidmat atau kebaikan kepada orang lain, niscaya ia (penerima kebaikan itu) memiliki kecendrungan untuk mengenal pelaku kebaikan itu dan berterima kasih kepadanya. Dan semakin tinggi nilai sebuah kebaikan, semakin takluk pula hati penerima dan semakin tinggi keinginannya untuk mengenal pemberi kebaikan itu.
Namun, harus diperhatikan bahwa konsep "bersyukur kepada pemberi kebaikan" terlebih dahulu diakui oleh rasa kasih, jauh sebelum dibenarkan oleh akal sehat.
Kami ingin mengakhiri bagian ini dengan sebuah syair dari pujangga Arab ternama sebagai sebuah isyarat kecil;

Berbuat baiklah kepada insan,
Niscaya hati mereka takluk kepada tuan,
Demikianlah insan adalah budak ihsan.

Dalam hadis Imam al-Baqir a.s. dikatakan, "Pada suatu malam, Rasulullah saw. berada di rumah 'Aisyah. 'Aisyah bertanya kepada beliau, 'Mengapa Anda begitu bersusah-payah untuk beribadah padahal Allah swt. telah mengampuni segala dosa Anda, baik yang telah terjadi maupun yang akan datang?'
Nabi saw. menjawab, 'Apakah tidak pantas aku menjadi hamba yang bersyukur?'"

c. Motivasi Fitri

Maksud fitrah di sini ialah perasaan-perasaan dan pengetahuan jiwa yang tidak memerlukan penalaran rasional.
Ketika kita melihat sebuah pemandangan yang indah, atau sekuntum bunga yang semerbak mewangi dan warnanya yang mempesona, kita merasakan ketertarikan dan gairah di dalam diri kita. Ketertarikan ini disebut sebagai kecintaan kepada keindahan. Kita tidak memerlukan penalaran untuk mencntai keindahan ini. Ya, cinta keindahan adalah satu dari sekian kecendrungan transendental jiwa manusia.
Upaya mengarahkan diri kepada agama, khususnya mengenal Tuhan, tidak hanya merupakan salah satu perasaan esensial (dzati) dalam relung jiwa manusia, tetapi juga sebagai salah satu dorongan yang paling kuat dalam fitrah dan jiwa seluruh manusia.
Berdasarkan dalil ini, tidak satu kaum atau bangsa pun, di masa lalu atau kini, yang tidak menjadikan pikiran dan ruh sebagai hakim atas jenis agama atau ideologi. Dan kenyataan ini menunjukkan kemendasaran perasaan mendalam ini.
Al-Qur'an, ketika menuturkan pengutusan nabi-nabi besar, seringkali menandaskan bahwa risalah utama mereka ialah memerangi syirik dan penyembahan berhala, bukan membuktikan keberadaan Tuhan, karena masalah terakhir ini memang telah tertanam di dalam lubuk hati setiap manusia. Dengan kata lain, manusia tidak menuntut masalah ini untuk menanamkannya pada setiap lubuk hati manusia. Akan tetapi, para nabi menuntut bagaimana menyirami pokok masalah itu dan membunuh hama dan belukar yang acapkali membuat kering dan layu pokok tersebut.
Ungkapan "allâ ta'budû illallâh" atau "allâ ta'budû illâ iyyâh" (jangan sembah selain Allah) diterangkan dalam bentuk menegasikan berhala-berhala, bukan menetapkan keberadaan Tuhan. Pelbagai ucapan para nabi tentang realita ini telah diuraikan dengan jelas di dalam Al-Qur'an, di antaranya dakwah Nabi saw , Nabi Nuh , Nabi Yusuf , dan Nabi Hud .
Terlepas dari semua ini, jiwa kita memiliki perasaan-perasaan fitri lain yang sangat mendasar. Di antaranya, ketertarikan yang luar biasa kepada pengetahuan.
Apakah mungkin kita menyaksikan sistem menakjubkan di alam semesta yang luas ini tanpa kita terdesak untuk mengenal pencipta sistemnya?
Apakah mungkin seorang ilmuwan yang telah meluangkan waktu dan susah-payah selama puluhan tahun untuk mengenal kehidupan habitat semut, atau ilmuwan yang lainnya dengan cucuran keringat telah menghabiskan waktu selama puluhan tahun untuk meneliti habitat burung, pepohonan, atau ikan-ikan di laut, tanpa tersisa dorongan selain cinta terhadap pengetahuan yang terpatri dalam lubuk hatinya? Apakah mungkin para ilmuwan ini tidak ingin mengenal sumber sejati samudera tak-bertepi ini semenjak azal (primordial) hingga abad (eternal)? Ketertarikan kepada pengetahuan adalah motivasi yang mengajak kita kepada ma'rifatullâh (mengenal Tuhan).
Alhasil, Akal kita menuntun kita kepada pengenalan kepada Tuhan ini, rasa kasih menarik kita kepada keinginan untuk itu, dan fitrah kitalah yang mendorong kita bergerak ke arahnya. 
2. Apakah Agama Muncul dari Ketakutan ataukah Kebodohan, ataukah dari Gejala-gejala Dua Faktor ini?

Sebagian sosiolog dan psiko-analisis materialis Barat dan Timur bersikeras mengatakan bahwa sumber kemunculan agama dan ideologi terhadap ma'rifatullâh berasal dari rasa takut dan kejahilan atau faktor-faktor lain yang termasuk dalam kategori ini. Pendapat seperti ini dapat disimpulkan dalam empat asumsi mendasar.

a. Asumsi Kejahilan

Salah seorang sosiolog ternama mengatakan, "Meskipun ilmu dan sains telah berhasil menyingkap pelbagai misterius, namun betapa yang telah tersingkap itu masih kabur di balik tirai ilmu, dan keperluan untuk memahami hal-hal misterius ini telah menyebabkan kemunculan agama."
Salah seorang filsuf materialis menambahkan bahwa tatkala manusia menatap kejadian-kejadian sejarah, dengan alasan yang sangat jelas mereka membayangkan bahwa ilmu (baca: sains) dan agama adalah dua musuh bebuyutan yang tidak dapat berdamai. Sebab, tatkala seseorang meyakini hukum kausalitas, pada detik yang sama ia tidak dapat memberikan peluang kepada akalnya untuk membayangkan bahwa barangkali terjadi dalam lintasan peristiwa-peristiwa yang menciptakan rintangan dan kendala atas terjadinya sebuah peristiwa.
Sederhananya, mereka hendak mengklaim bahwa ketidaktahuan manusia terhadap sebab-sebab alami telah menyebabkannya berpikir akan adanya kekuatan di luar alam yang menciptakan dan mengatur semesta raya ini. Dengan demikian, tidak terungkapnya faktor dan sebab-sebab alami ini menjadi alasan baginya untuk meyakini keberadaan Tuhan dan agama.
Kesalahan mendasar para penggagas pendapat ini akan terlihat jelas melalui poin-poin berikut ini:

Pertama, mereka membayangkan bahwa beriman kepada keberadaan Tuhan berarti mengingkari hukum kausalitas. Dan kita berlaku sebagai seorang hakim; apakah kita harus menerima sebab-sebab alami tersebut atau menerima keberadaan Tuhan?
Padahal dalam filsafat Islam, meyakini hukum kausalitas dan menyingkap sebab-sebab alami merupakan salah satu jalan yang terbaik untuk dapat mengenal Tuhan.
Kita tidak pernah mengkaji Tuhan di antara ketakberaturan dan kejadian-kejadian yang tak jelas. Akan tetapi, kita menemukan-Nya di antara keteraturan-keteraturan alam semesta. Karena, adanya keteraturan ini merupakan penanda jelas atas wujud satu Sumber Awal bagi alam semesta dan wujud satu Kekuatan yang mengaturnya.

Kedua, mengapa mereka lalai bahwa sesungguhnya manusia semenjak dahulu hingga hari ini melihat adanya sistem yang khas yang berlaku atas jagad raya ini. Menafsirkan sistem ini dengan sebab-sebab irasional tidak mungkin dapat diterima. Dan mereka menganggap keutuhan sistem jagad raya ini sebagai pertanda wujud Tuhan. Akan tetapi, pada masa lalu, sistem ini tidak banyak dikenal orang. Dan semakin maju ilmu-pengetahuan manusia, semakin ia dapat menyingkap seluk-beluk sistem jagad raya ini. Dengan demikian, ilmu dan kemahakuasaan Sumber Awal bagi keberadaan semesta ini akan semakin gamblang.
Atas dasar ini, kita yakin bahwa iman kepada keberadaan Tuhan dan agama relevan dengan kemajuan ilmu dan pengetahuan. Dan setiap penemuan baru akan rahasia dan aturan-aturan jagad raya ini merupakan langkah baru untuk pengenalan yang semakin cermat terhadap Tuhan. Apa yang dapat kita lakukan hari ini dalam rangka mengenal Tuhan tentu tidak pernah dikenal oleh manusia jaman dahulu, lantaran mereka tidak menikmati kemajuan ilmu pengetahuan.

b. Asumsi Rasa Takut

Will Durant, seorang sejarawan kenamaan Barat, di dalam buku sejarahnya, ketika membahas "Sumber-sumber Agama", menukil pendapat Luctrius, seorang filsuf Romawi, bahwa rasa takut adalah ibu para dewa! Dan bagian rasa takut yang paling penting ialah rasa takut dari kematian. Atas dasar ini, manusia pertama tidak dapat meyakini bahwa kematian adalah satu fenomena alam. Oleh karena itu, mereka senantiasa menganggap bahwa sebab metafisislah yang menjadi penyebab kematian itu.
Senada dengan teori di atas, B. Russel berkata, "Aku berasumsi bahwa sumber agama -sebelum segala sesuatunya- ialah rasa takut. Rasa takut bersumber dari musibah-musibah alam, dari peperangan dan sebagainya. Rasa takut dari pekerjaan-pekerjaan salah yang dilakukan manusia ketika syahwat mendominasi."
Kekeliruan asumsi ini akan tampak jelas bila para pendukung asumsi ini sepakat bahwa akar keyakinan kepada Tuhan dan agama tidak memiliki dasar metafisis. Dan tentu saja, harus ditemukan sebuah faktor di alam semesta ini. Sebuah faktor yang akhirnya kembali kepada prasangka dan khayalan belaka. Oleh karena itu, mereka senantiasa melihatnya dalam kerangka cabang dan melupakan kerangka aslinya.
Benar bahwa iman kepada Tuhan memberikan kekuatan spiritual dan ketenangan kepada manusia. Benar bahwa manusia akan bersikap prawira dalam menghadapi kematian dan berbagai peristiwa pelik yang dialaminya; terkadang berupa sikap pengorbanan. Akan tetapi, mengapa kita lupakan faktor-faktor yang kerap hadir secara telanjang di hadapan mata manusia, yakni sistem semesta yang berlaku atas bumi dan langit ini, kehidupan flora dan fauna, dan keberadaan manusia?
Dengan kata lain, meskipun manusia tidak memiliki ilmu anatomi dan fisiologi atau semisalnya, seketika mencermati struktur mata, telinga, hati, tangan dan kakinya, ia akan melihatnya sebagai sebuah bangunan yang menakjubkan dan kokoh. Bangunan kokoh dan menakjubkan ini niscaya tidak dapat dimengerti bila bersumber dari gejala-gejala aksidental dan faktor-faktor yang tidak masuk akal. Sekuntum bunga, seekor lebah, matahari dan bulan dan alurnya yang tertata apik serta fenomena-fenomena semesta lainnya merupakan contoh gamblang dari kenyataan itu.
kenyataan ini senantiasa hadir di hadapan manusia semenjak dulu hingga kini dan ia merupakan faktor utama adanya iman kepada Tuhan. Lantaran melalaikan realitas nyata ini, akhirnya mereka mencari-cari faktor iman kepada Tuhan dan agama, lalu menyimpulkan bahwa semua itu disebabkan oleh rasa takut dan kedunguan manusia. Atribut yang dapat kita lekatkan kepada mereka adalah "dungu" dalam menghadapi realitas telanjang ini dan "takut" terhadap kemajuan ideologi agama, sebab mereka melepaskan jalan utama dan terang ini, menapakkan kaki di jalan yang tak menentu, serta bersandarkan kepada asumsi-asumsi yang tak berdasar.

c. Asumsi Faktor Ekonomi

Eksponen asumsi ini adalah mereka yang percaya bahwa kekuatan penggerak sejarah adalah alat-alat reproduksi. Mereka yakin bahwa seluruh fenomena sosial, seperti budaya, ilmu, filsafat, politik, bahkan agama muncul sebagai akibat dari perkara ini.
Untuk menghubungkan kemunculan agama dan masalah-masalah ekonomi, mereka mengajukan penafsiran yang aneh. Di antaranya, mereka berasumsi bahwa menurut kaum imperialis dalam lingkungan sosial, dalam rangka mengenyahkan resistensi dan gerakan massif kaum terjajah, kaum imperialis mencandu mereka dan menciptakan agama. kalimat yang terkenal dari Lenin yang tertuang dalam buku "Sosialisme wa Mazhab" (Sosialisme dan Agama) adalah, "Agama di tengah masyarakat merupakan candu." Dalam kasus ini terdapat sederet ungkapan yang serupa; terulang-ulang.
Untungnya, penyokong asumsi ini (kaum sosialis) telah memberikan jawaban sendiri yang ternyata kontradiktif. Ketika mereka berhadapan dengan Islam sebagai gerakan sebuah bangsa tertinggal yang dapat menjungkalkan kaum imperialis seperti kesultanan Sasani, kekaisaran Romawi, para Fir'aun Mesir dan kesultanan Yaman dari singgasana kekuasaan mereka, terpaksa mereka mengecualikan Islam pada batasan minimal kasus ini dari fakta sejarah.
Lebih dari itu, tatkala mereka menyaksikan gerakan dan aksi-aksi Islam menentang kaum imperialis, khususnya pada masa kini, dan berhadapan dengan kekuasaan Timur dan Barat, atau resistensi bangsa Palestina atas kekuasaan Zionisme, mereka tidak memiliki jalan lain kecuali meragukan analisa-analisa mereka sendiri. Biarkanlah mereka terjerat dalam pagar-pagar kesulitan, karena tidak mampu melihat terangnya sinar matahari.
Secara umum, dengan memperhatikan sejarah kemarin dan hari ini, khususnya sejarah Islam, akan tampak bahwa kemunculan agama tidak sesuai dengan asumsi mereka. Tidak hanya candu yang menjadi sebab munculnya gerakan-gerakan sosial yang paling perkasa, akan tetapi masalah-masalah ekonomi juga membentuk bagian dari kehidupan manusia. Dan mendefinisikan manusia pada dimensi ekonomi merupakan kesalahan besar dalam mengenal motivasi dan kecendrungan transendental manusia.

d. Asumsi Kebutuhan kepada Etika

Dalam tema agama dan sains, Einstein berujar, "Dengan sedikit hati-hati, akan menjadi maklum bahwa agitasi dan perasaan-perasaan insani menjadi penyebab munculnya agama yang beraneka dan beragam coraknya….". Setelah menyebutkan asumsi takut, ia menambahkan, tipologi manusia sebagai makhluk sosial juga merupakan salah satu faktor munculnya agama. Seseorang melihat orang tuanya. Kerabat, para pemimpin dan orang-orang besar meninggal dunia. Satu demi satu orang-orang di sekelilingnya berlalu. Setelah itu, harapan untuk terbimbing dengan petunjuk, menyukai, mencintai, bersandar dan bergantung adalah landasan yang membentuk keyakinannya kepada Tuhan". Dengan urutan seperti ini, Einstein beranggapan bahwa penyebab munculnya agama adalah motivasi moral dan motivasi sosial.
Mari kita kembali menelaah pendapat di atas. Orang-orang yang memberikan asumsi akhlak ini keliru dalam memahami efek dan motivasi. Kita mengetahui bahwa setiap efek tidak mengharuskan adanya motivasi. Boleh jadi tatkala menggali sebuah sumur yang dalam kita menemukan hartu karun. Ini adalah efek. Sedangkan penggerak dan motivasi utama kita untuk menggali sumur ialah untuk mendapatkan air, bukan untuk menemukan harta karun.
Oleh karena itu, adalah benar bahwa agama dapat menenangkan keluh dan derita spiritual manusia. Iman kepada Tuhan dapat melepaskan manusia dari kesendirian tatkala harus kehilangan orang-orang terkasih, sahabat tercinta dan orang-orang besar yang dibanggakan. Iman kepada Tuhan dapat memenuhi segala sesuatu yang lepas dari tangannya dan mengisi kekosongan akibat kehilangan yang dideritanya. Akan tetapi, semua ini adalah sebuah efek, bukan sebuah motivasi.
motivasi utama agama yang tampak paling logis adalah sebagaimana yang disebutkan sebelumnya; semakin manusia mengamati sistem semesta, semakin ia mengenal kedalaman, kerumitan dan keagungan semesta ini. Ia sekali-kali tidak akan menerima begitu saja akan munculnya munculnya sekuntum bunga dengan segala elegansinya, keajaiban strukturnya, atau matahari dengan seluruh sistem sedemikian agung dan kompleksnya, yang lahir dari rahim semesta yang tak berakal dan pelbagai benturan. Dan berangkat dari sini, manusia bergerak kepada Sumber Awal sistem jagad ini.
Tentu saja kasus lain dengan maksud yang sama dapat membantu, sebagaimana telah diisyaratkan sebelumnya.
Dan anehnya, Einstein sendirilah yang telah mengusulkan asumsi ini. Di tempat lain ia mengubah pernyataannya. Ia mengekspresikan, dengan bahasa yang berbeda, keyakinannya yang teguh terhadap penyebab terjadinya fenomena semesta dan imannya kepada Sumber Awal Yang Agung tersebut. Dan hal ini menunjukkan bahwa ia mengingkari ideologi yang bergantung kepada khurafat-khurafat, bukan kepada sebuah tauhid yang tulus dan bersih dari segala bentuk khurafat.
Ia menuturkan, "Sebuah makna real dari keberadaan Tuhan di balik imaginasi-imaginasi yang secuil telah ditemukan oleh mereka." Kemudian, Einstein dan para ilmuwan besar lainnya menamakan keyakinan mereka sebagai sebuah jenis keyakinan yang disebut "perasaan religius penciptaan" atau "perasaan religius keberadaan". Dan di tempat lain, disebut sebagai "takjub yang mengairahkan dari sistem ajaib dan akurat jagad raya".
Dan yang lebih menarik adalah penegasannya, "Iman religius adalah suluh bagi jalan pencarian hidup para cendikiawan."
Tentu saja, dalam masalah ini banyak pernyataan yang dapat dinukil. Sekiranya kita ingin melepaskan dari kendali pena, pembahasan kita akan keluar dari pembahasan tafsir tematik.
Oleh karena itu, kita kembalikan kepada persoalan utama. Dan pembahasan ini kita akhiri sampai di sini. Kami ingatkan bahwa untuk mengetahui motivasi atau dorongan munculnya agama seyogyanya terlebih dahulu menelaah penciptaan semesta (alasan logis dan rasional), dan selepas itu mengkaji kekuatan magnetis dalam lubuk hati (motivasi fitri), kemudian mengalihkan perhatian kepada Sumber Awal Yang Agung, sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya mengenai anugerah-anugerah-Nya yang nir-batas. 
3. Mengapa Dzat Tuhan tidak Dapat Diketahui?

Poin utama dalam masalah nir-batasnya Dzat Allah dan terbatasnya akal adalah ilmu dan pengetahuan kita sebagai manusia.
Dia adalah wujud mutlak dari segala dimensi. Dzat-Nya, seperti ilmu, kuasa dan seluruh sifat-sifat-Nya, adalah tak terbatas. Dari sisi lain, kita dan seluruh yang bertalian dengan keberadaan kita, seperti ilmu, kuasa, hidup, ruang dan waktu, semuanya serba terbatas.
Oleh karena itu, dengan segala keterbatasan yang kita miliki, bagaimana mungkin kita dapat mengenal wujud dan sifat yang mutlak dan tak terbatas? Bagaimana mungkin ilmu kita yang terbatas dapat menyingkap wujud nir-batas?
Ya, dari satu sisi, kita dapat melihat dari jauh kosmos pikiran dan memberikan isyarat global ihwal Dzat dan sifat Allah swt. Akan tetapi, untuk mencapai hakikat Dzat dan sifat-Nya secara detail adalah mustahil bagi kita.
Dari sisi lain, wujud nir-batas dari segala dimensi ini tidak memiliki keserupaan dan kesamaan. Dan ketakterbatasan ini hanyalah Dia; Allah Swt. sebab, sekiranya Dia memiliki keserupaan dan persamaan, maka kedua-duanya menjadi terbatas.
Sekarang bagaimana kita dapat memahami wujud yang tak memiliki kesamaan dan keserupaan? Segala sesuatu yang kita lihat selain-Nya adalah wujud yang mungkin (mumkinul wujûd)., sedangkan sifat- sifat wajib al-Wujud berbeda dengan sifat yang lainnya.
Kita tidak berasumsi bahwa kita tidak memiliki pengetahuan tentang hakikat wujud Allah, tentang ilmu, kuasa, kehendak dan hidup-Nya. Akan tetapi, kita berasumsi bahwa kita memiliki pengetahuan global tentang hakikat wujud dan sifat-sifat-Nya. Dan kedalaman serta batin seluruh hal-hal ini tidak akan pernah kita ketahui. Dan kaki akal seluruh orang-orang bijak dunia, tanpa kecuali, dalam masalah ini tampak lumpuh:

Pada akal seorang hakim hingga kapan Anda menggapai?
Tak 'kan pernah terlintas dalam benakmu jalan ini.
Akal tak 'kan memahami kedalaman Dzat-Nya,
bilamanakah sampai bongkahan kayu ke dasar laut!

Dalam hadis yang diriwayatkan dari Imam Ash-Shadiq a.s. dikatakan: "Diamlah bilamana pembahasan sampai pada Dzat Allah". Artinya, jangan membahas ihwal Dzat Allah. Dalam masalah ini, seluruh akal buntu dan tidak akan pernah mencapai tujuannya. Berpikir tentang Dzat Nir-batas melalui akal yang terbatas adalah mustahil. Karena segala yang dirangkum oleh akal bersifat terbatas; dan terbatas bagi Tuhan adalah mustahil.
Dengan ungkapan yang lebih jelas, tatkala kita menyaksikan jagad raya dan seluruh keajaiban makhluk-makhluk, dengan segenap kompleksitas dan keagungannya, atau bahkan melihat wujud diri kita sendiri, secara umum,kita memahami bahwa jagad raya ini memiliki pencipta dan Sumber Awal. Pengetahuan ini adalah pengetahuan global yang merupakan tahapan akhir bagi kekuatan pengenalan manusia tentang Tuhan. Namun, semakin kita mengetahui rahasia-rahasia keberadaan, semakin juga kita mengenal keagungan-Nya serta jalan pengetahuan global tentang-Nya semakin kuat.
Akan tetapi, ketika kita bertanya kepada diri kita sendiri apakah hakikat Dia? Dan bagaimanakah Dia? Ketika kita mengarahkan tangan ke arah realitas Dzat Allah, kita tidak akan mendapatkan sesuatu selain keheranan dan rasa takjub. Kita akan mengatakan bahwa jalan untuk menuju ke arah-Nya adalah terbuka, dan jalan untuk menyentuh hakikatnya adalah tertutup.
Dengan menyebutkan satu perumpamaan kita dapat menjelaskan masalah ini. Bahwa kita semua tahu bahwa ada kekuatan alam yang disebut sebagai kekuatan gravitasi. Segala sesuatu yang terlepas akan jatuh dan tertarik ke bawah. jika kekuatan gravitasi ini tidak ada, ketenangan dan ketentraman bagi seluruh makhluk di muka bumi tidak akan ada.
Ilmu tentang adanya gravitasi bumi bukanlah sesuatu yang hanya diketahui oleh para ilmuwan saja. Anak-anak yang berakal sehat pun dapat mencerap realitas gravitasi bumi ini dengan baik. Akan tetapi, hakikat gravitasi bumi itu apa, apakah ia adalah gelombang-gelombang frekuensi atau atom-atom atau kekuatan lain?
Dan anehnya adalah gravitasi bumi bertentangan dengan segala sesuatu yang kita kenal dari alam semesta ini. Secara lahiriah, untuk transformasi dari satu titik ke titik yang lain tidak memerlukan waktu yang cukup. Berbeda dengan cahaya yang memiliki gerakan tercepat dalam dunia materi ini. Akan tetapi, ketika mengalami transformasi dari satu titik ke titik yang lain, ia masih memerlukan waktu jutaan tahun lamanya. Namun, gravitasi bumi dapat berpindah dalam satu detik dari satu titik bumi ke titik bumi yang lain dalam waktu yang cukup pendek dan atau sekurang-kurangnya kecepatan yang dimilikinya lebih singkat dari yang kita dengar hingga kini.
Kekuatan macam apakah yang memiliki efek seperti ini? Bagaimanakah hakikat kekuatan ini? Tidak ada seorang pun yang memiliki jawaban yang jelas atas pertanyaan-pertanyaan ini.
Kita hanya memiliki pengetahuan global tentang kekuatan gravitasi ini sebagai salah satu makhluk. Kita tidak memiliki pengetahuan tentangnya secara detail. Bagaimana kita dapat menguak ihwal Pencipta dunia materi dan hakikat metafisis yang merupakan wujud nir-batas dan dapat mengetahui kedalaman dzat-Nya?
Akan tetapi, dengan kondisi seperti ini pun kita dapat menyaksikan bahwa Dia selalu hadir, mengawasi setiap tempat dan bersama setiap wujud di alam semesta ini.

Seratus ribu jelmaan yang keluar dari-Mu,
Seratus ribu pandangan aku menyaksikan-Mu

4. Apakah Pencipta juga Memiliki Pencipta?

Galibnya, dalam pembahasan ma'rifatullah, soal seperti ini dilontarkan oleh orang-orang yang baru menelusuri padang luas ini. Mereka akan bertanya, "Jika Anda mengatakan bahwa segala sesuatu memiliki pencipta, kini katakan kepada kami siapakah pencipta Tuhan itu?"
Anehnya, acapkali soal seperti ini terurai pada sebagian ucapan-ucapan filsuf Barat yang menandakan hingga batas mana mereka berbuat dan berstatus Awal dalam pembahasan filsafat .
Bertrand Russel, salah seorang filsuf ternama Inggris dalam bukunya "Why I am Not a Cristian?" (Mengapa Aku Bukan Seorang Kristian?)" berkata, "Aku beriman kepada Tuhan ketika aku berusia muda. Aku meyakininya melaui argumen kausalitas yang terbaik. Dan Aku melihat segala sesuatu yang ada di muka bumi ini memiliki sebab. Apabila mata-rantai sebab itu kita kaji, pada akhirnya kita akan sampai kepada sebab awal dan aku menamai sebab awal ini sebagai Tuhan. Akan tetapi setelah itu, aku meninggalkan kepercayaan ini. Lantaran aku berpikir; apabila segala sesuatu harus memiliki sebab dan pencipta, maka Tuhan juga harus memiliki sebab dan pencipta."
Namun, kita tidak berpikir bahwa seseorang yang paling tidak mengenal masalah-masalah filsafat yang berhubungan dengan pembahasan ma'rifatullâh dan dunia metafisika, akan bungkam dalam menjawab pertanyaan ini.
Pembahasan ini sangatlah jelas. Ketika kita berkata bahwa segala sesuatu memiliki pencipta, maksudnya adalah setiap sesuatu yang terjadi (hâdits) dan mumkin al-wujud. Dengan demikian, kaidah universal ini hanya berlaku pada sesuatu yang sebelumnya tidak ada dan kemudian ada, bukan pada wâjib al-wujud yang bersifat azali (tidak bermula) dan abadi (tidak berakhir). Satu wujud azali dan abadi tidak memerlukan pencipta sehingga kita bertanya-tanya; siapakah pencipta Sang Pencipta? Dia berdiri sendiri (qâ`im) atas Dzat-Nya sendiri. Dia tidak pernah tiada sebelumnya sehingga memerlukan sebab untuk diwujudkan.
Dengan kata lain, wujud Tuhan berasal dari wujud-Nya sendiri, bukan berasal dari luar Dzat-Nya. Dia tidak diciptakan sehingga ada pencipta-Nya. Ini dari satu perspektif.
Dari perspektif lain, sebaiknya Tuan Russel dan orang-orang yang sepaham dengannya mengajukan soal ini kepada diri mereka sendiri' yakni, dalam ungkapan "apabila Tuhan memiliki pencipta..", kata pencipta akan terulang. Apabila kita bertanya bahwa pencipta-nya pencipta itu siapa, niscaya akan berlanjut begitu seterusnya; dimana setiap pencipta memerlukan penciptanya entah sampai kapan. Inilah tasalsul (vicious circle) yang tak berujung, dan ketidakabsahan tasalsul ini sangatlah jelas.
Dan apabila kita sampai pada wujud yang keberadaanya berasal dari diri-Nya sendiri (mandiri) dan tidak memerlukan pencipta (baca: wâjib al-Wujud), Dialah Tuhan Sang Pencipta seluruh semesta raya ini.
pembahasan ini juga dapat diterangkan dengan pendekatan lain,. Ketika kita bukan seorang mukmin dan sepaham dengan apa yang diyakini oleh kaum materialis, kita tetap harus menjawab soal ini. Dengan menerima hukum sebab-akibat, segala sesuatu di alam ini adalah akibat dari sebab yang lain. Sementara soal serupa yang kita ajukan kepada orang-orang mukmin, juga kita ajukan kepada seorang materialis; bahwa sekiranya segala akibat adalah materi, lalu apa yang menjadi sebab wujudnya materi?
Mereka juga tidak memiliki alternatif lain dalam menjawab soal ini. Mereka akan berkata, "Materi azali yang senantiasa ada dan akan tetap ada. Materi azali ini tidak memerlukan sebab. Dengan ungkapan lain, ia adalah wâjib al-Wujud."
Atas dasar ini, kita melihat seluruh filsuf dunia, baik Ilahi atau materialis meyakini satu wujud azali. Suatu wujud yang tidak memerlukan pencipta dan senantiasa ada. Perbedaannya adalah kaum materialis beranggapan bahwa sebab awal ini hampa ilmu, pengetahuan, akal dan nalar. Dan mereka percaya, sebab awal ini memiliki jasad, terikat di dalam ruang dan waktu. Akan tetapi, bagi para fisuf Ilahi, Sebab Awal ini memiliki ilmu, kehendak dan tujuan. Mereka tidak percaya bahwa Sebab Awal ini memiliki jasad, dan terikat di dalam ruang dan waktu. Ia berada di atas ruang dan waktu.
Oleh karena itu, berlawanan dengan anggapan Tuan Russel yang berpandangan bahwa sekiranya ia mengucapkan selamat tinggal kepada orang-orang mukmin dan berada di barisan kaum materialis dan kabur dari cengkaraman soal ini, pertanyaan itu tidak akan membiarkannya lolos. Karena, kaum materialis juga percaya kepada hukum sebab-akibat dan berkata bahwa setiap peristiwa memiliki sebab.
Dengan demikian, solusi untuk memecahkan masalah ini adalah kita harus memahami dengan baik perbedaan antara wujud hâdits dan azali, mumkin al-wujud dan wâjib al-wujud, sehingga kita mengetahui bahwa yang memerlukan pencipta adalah wujud-wujud yang hâdits (yang terjadi) dan mungkin. Maksudnya ialah bahwa setiap yang tercipta, memerlukan pencipta. Namun, yang tidak tercipta, tidak akan memiliki pencipta. 
5. Bagaimana Kita Beriman kepada Tuhan Yang Gaib?

Keberatan yang kerap dilontarkan oleh kaum materialis terhadap kaum mukmin adalah bagaimana mungkin manusia dapat menerima dan beriman kepada wujud yang tidak dapat diindra. Anda berkata bahwa Tuhan tidak memiliki jasad, tidak bertempat, tidak memiliki ruang, tidak bercorak dan …. Dengan perantara apa wujud seperti ini dapat diindra? Kami beriman kepada sesuatu yang dapat diindra. Wujud yang tidak dapat diindra adalah wujud yang sama sekali tidak wujud (ada).
Keberatan ini dari dapat dibahas dari beberapa sisi:

1. Sebab-sebab utama alasan penentangan kaum Materialis terhadap subjek ma'rifatullah tampak secara sempurna dalam masalah ini.

Salah satunya adalah kepongahan sains mereka dan menganggap ilmu-ilmu alam (baca: sains) sebagai superior atas seluruh realitas, seperti halnya mengkomparasikan segala sesuatu dengan ukuran ilmu-ilmu itu dan membatasi sarana pemahaman pada ebab-sebab natural dan material. Kita bertanya kepada mereka, apakah ranah aktifitas dan penetrasi seluruh ilmu alam memiliki batasan atau tidak?
Jelas bahwa jawaban atas soal semacam ini akan bernada afirmatif. Karena, wilayah ilmu-ilmu alam adalah seluruh wujud terbatas yang bersifat material, dan selesai. Oleh karena itu, bagaimana mungkin sesuatu yang tidak terbatas dapat diindra oleh instrumen-instrumen alam.
Pada dasarnya, Tuhan dan seluruh wujud metafisis berada di luar wilayah alam. Sesuatu yang telah keluar dari wilayah natural, sekali-kali tidak dapat diindra dan ditafsirkan oleh sebab-sebab natural. Wilayah metafisika bersifat tidak terbatas dengan dirinya sendiri dan tidak dapat dikomparasikan dan dibandingkan ukuran dengan ilmu-ilmu alam, seperti halnya cabang dan spesifikasi beragam ilmu-ilmu alam itu sendiri. Setiap jenis ilmu alam, masing-masing memiliki instrumen dan ukuran-ukuran tersendiri yang tidak relevan dengan ilmu alam yang lain. Ilmu astronomi, anatomi, dan mikrologi, berbeda instrumen-instrumen pengkajiannya.
Seorang ilmuwan materialis tidak akan pernah memberikan izin kepada seseorang untuk bertanya kepada seorang astronom, "Coba Anda buktikan salah satu mikroba dengan menggunakan instrumen-instrumen dan alat kalkulasi astronomi!" Demikian pula kita tidak layak berharap dari seorang spesialis mikroba untuk dapat menyingkap bintang-bintang senja dengan menggunakan instrumen-instrumen mikrologi. Karena, mereka masing-masing hanya dapat digunakan dalam wilayah spesialisasi ilmunya dan tidak dapat digunakan di luar wilayah spesialisasi dan aplikasinya. Mereka tidak dapat berkata positif (iya) atau negatif (tidak) dalam menyampaikan pendapat. Oleh karena itu, bagaimana kita mengetahui kebenaran ilmu-ilmu alam dalam membahas sesuatu yang berada di luar wilayah naturalnya, dengan pertimbangan bahwa wilayah penetrasinya terbatas pada alam, efek dan spesialisasinya saja.
Pada akhirnya, kebenaran yang dapat diyakini oleh seorang ilmuwan ilmu alam adalah sebatas ia dapat mengatakan bahwa, "Dalam masalah metafisika, aku memilih diam, karena masalah itu berada di luar batas pengkajian dan instrumen wilayah kerjaku. Bukan aku mengingkarinya."
Auguste Comte, salah seorang founding fathers (pendiri) aliran Empirisme dalam bukunya Beberapa Kalimat Tentang Filsafat Empiris berkata, "Karena kita tidak memiliki informasi sejak awal tentang seluruh wujud, kita tidak dapat mengingkari adanya wujud sebelum atau sesudahnya, sebagaimana kita juga tidak dapat membuktikannya".
Pendeknya, Empirisme menghindar dari menyampaikan setiap bentuk pendapat karena ketidaktahuan mereka dalam masalah ini. Demikian juga, ilmu-ilmu cabang yang menjadi fondasi Empirisme harus menghindarkan diri dari bentuk penilaian atas awal dan akhir seluruh wujud. Maksudnya, kami tidak mengingkari ilmu dan hikmah Ilahi serta wujud-Nya, dan kami menjaga diri dalam netralitas; antara penafian dan pembuktian.
Maksud kami adalah, bahwa alam metafisika tidak dapat disaksikan melalui jendela ilmu-ilmu alam. Menurut perspektif Ilahiyah (orang-orang mukmin), secara mendasar bahwa Tuhan yang dapat dibuktikan melalui sebab dan instrumen natural adalah bukan Tuhan.
Karena, sesuatu yang dapat dibuktikan oleh sebab-sebab natural, berada di dalam jangkauan materi dan spesialisasi ilmu-ilmu alam. Dan bagaimana wujud materi dan natural dapat diyakini menjadi pencipta materi dan alam?
Dasar keyakinan orang-orang beriman adalah bahwa Tuhan bebas dari segala bentuk materi dan aksiden-aksiden materi. Dan sekali-kali Ia tidak dapat dicerap melalui instrumen-instrumen materi.
Oleh karena itu, jangan pernah kita menantikan bahwa Pencipta seluruh wujud semesta dapat dilihat pada kedalaman langit melalui alat mikroskop dan teleskop. Pengharapan dan penantian ini adalah tidak pada tempatnya."

2. Tanda-tanda-Nya

Secara umum, instrumen-instrumen yang digunakan untuk mengenal setiap wujud di jagad ini adalah melalui efek-efeknya. Kita hanya dapat mengenal setiap wujud dari efek-efek yang ditimbulkan dari setiap wujud tersebut, termasuk wujud-wujud yang dapat kita cerap melalui persepsi dan indra. Wujud-wujud ini juga kita kenal melalui efek-efeknya. Karena, tidak satu pun wujud yang tidak akan pernah masuk ke dalam pikiran kita, dan mustahil otak kita menjadi wadah seluruh wujud.
Sebagai contoh, sekiranya Anda hendak menentukan sebuah benda dengan mata dan mencerap wujud benda tersebut, pada mulanya, Anda letakkan mata Anda di hadapan benda yang telah Anda perkirakan letaknya, cahaya memendar di atasnya, dan dari bola mata, pendaran-pendaran cahaya itu akan terefleksi pada area khusus yang bernama retinoscopy. Kemudian, syaraf-syaraf indra penglihatan menangkap cahaya tersebut, dan sampai kepada otak dan lalu benda itu dapat dicerap oleh manusia.
Apabila hal itu dilakukan dengan jalan meraba, dengan syaraf di bawah kulit, benda tersebut memberikan informasi kepada otak lalu dicerap oleh manusia.
Kemudian pencerapan satu benda dari efeknya (warna dan suara) memberikan efek kepada indra peraba dan manusia tidak akan pernah meletakkan benda tersebut pada kapasitas otaknya. Dan sekiranya tidak ada warna, dan atau pencerapan tidak bekerja, ia tidak akan pernah mengenal benda tersebut.
Uraian ini harus kita sempurnakan. Satu efek telah memadai untuk dapat mengenal satu wujud,. Umpamanya, untuk dapat mengetahui apa yang pernah terjadi sepuluh ribu tahun silam pada suatu titik bumi, cukup kita menyingkap satu cerek keramik atau satu senjata yang telah berkarat dan mengadakan pengkajian mendalam atas efek-efek ini. Dari efek ini kita dapat memahami keadaan-keadaan dan desain kehidupan serta pemikiran masyarakat kala itu.
Dengan memperhatikan bahwa setiap wujud materi atau non-materi dapat dikenal melalui efek-efeknya, dan bahwameneliti satu efeknya akan memadai untuk mengenal satu wujud, lalu apakah seluruh wujud -yang penuh dengan misteri dan rahasia yang menakjubkan di seluruh penjuru alam semesta yang membentang ini- tidak memadai bagi kita untuk dapat mengenal Tuhan?
Untuk dapat mengenal satu wujud, cukup bagi Anda meneliti satu efek darinya, dan itu sudah memadai. Dari satu cerek keramik, setidak-tidaknya bagian dari kondisi masyarakat ribuan tahun silam dapat diketahui. Sekarang kita memiliki efek yang tidak terbatas, wujud yang tidak terbatas, dan sistem yang tidak terbatas. Apakah segala efek yang ada ini tidak memadai bagi kita untuk dapat mengenal-Nya?! Anda saksikan pada setiap sudut jagad terdapat tanda-tanda kekuasaan dan ilmu-Nya. Masihkah Anda berkata, "Kami tidak melihatnya dengan mata, kami tidak mendengarnya dengan telinga, kami tidak menyaksikannya melalui pisau anatomi, dengan teleskop!" Memangnnya mata diperlukan untuk segala sesuatu?

3. Kasat mata dan non-kasat mata

Untungnya alat yang diberikan oleh ilmu-ilmu sains adalah alat terbaik untuk menafikan keyakinan kaum materialis.
Kalau dulu seorang ilmuwan dapat berkata, "Kami tidak dapat menerima sesuatu yang tidak dapat dicerap oleh panca indra. Namun, berdasarkan penemuan-penemuan ilmiah yang sedemikian berkembang telah terbuktikan, bahwa wujud yang bersemayam di alam semesta adalah tak terindra. Berdasarkan penelitian, derajat yang kini telah dapat dicerap semakin bertambah. Dalam relung alam semesta, karena banyaknya wujud yang tidak dapat dicerap indra, wujud-wujud yang telah dicerap -dibandingkan dengan wujud-wujud yang belum dapat dicerap- bernilai kosong.
Sebagai contoh, beberapa kasus di bawah ini kita renungkan bersama:

a. Dalam ilmu fisika, para ahli fisika berpendapat bahwa dasar warna tidak lebih dari tujuh warna. Warna yang pertama adalah merah dan yang terakhir adalah warna ungu. Akan tetapi, di balik itu semua terdapat seribu satu macam warna. Kita tidak dapat mencerap seribu satu macam warna ini. Dan mereka beranggapan bahwa beberapa hewan barangkali dapat melihat warna-warna tersebut.
Sebab perkara ini adalah jelas. Karena, warna dapat terlihat dari efek gelombang cahaya. Artinya, cahaya matahari dengan cahaya-cahaya yang lain tersusun dari warna-warni yang beraneka ragam. Aneka warna-warni inilah yang membentuk warna putih. Lantaran cahaya ini berpendar menyinari benda, benda yang tersinari tersebut mencerna bagian-bagian yang beragam dari warna-warni pada dirinya. Dan sebagian lainnya dipantulkan. Warna-warni yang dipantulkan ini adalah warna-warni yang kita saksikan. Oleh karena itu, benda-benda yang berada dalam kegelapan tidak memiliki warna.
Perubahan dan keragaman warna dihasilkan dari kuat dan lemahnya gelombang cahaya. Artinya, apabila gelombangnya kuat hingga mencapai 458 ribu miliar per detik, akan terbentuk warna merah. Dan pada gelombang 727 ribu miliar per detik, akan terbentuk warna ungu. Di antara warna ini, terdapat warna-warni yang beragam jumlahnya yang tidak dapat kita cerap dan cerna.

b. Gelombang suara yang dapat kita tangkap hanya pada 16 frekuaensi per detik hingga 20.000 frekuensi per detik. Lebih atau kurang dari hitungan ini, berapa pun jumlahnya, tidak tertangkap oleh pendengaran kita.

c. Gelombang cahaya yang dapat kita cerap dalam setiap detik adalah terhitung dari 458 ribu miliar hingga 727 ribu miliar. Lebih dan kurang dari hitungan ini, berapa pun jumlahnya, tidak dapat kita lihat.

d. Kita semua tahu bahwa bilangan makhluk yang dapat dilihat melalui kaca pembesar (virus dan bakteri) adalah lebih banyak dari jumlah manusia. Makhluk-makhluk tersebut tidak dapat dicerap oleh mata tanpa menggunakan mikroskop dan kaca pembesar. Alangkah banyaknya makhluk yang paling kecil yang hingga kini belum diketahui dan disingkap oleh sains.

e. Satu atom, dengan strukturnya yang tipikal, dan putaran elektron-elektron atas lingkaran proton-proton, dengan kekuatan raksasanya, tidak dapat dicerap dan dilihat oleh setiap indra. Dan setiap benda-benda alam natural terbentuk dari atom. Debu-debu yang kita lihat dengan susah-payah di udara terbentuk dari ribuan atom. Para ilmuwan yang berbicara ihwal atom, pendapat mereka tidak melampaui batas-batas teori dan asumsi, dan sementara itu, tidak seorang pun yang menafikan pendapat mereka itu.
Oleh karena itu, pendapat yang menyatakan bahwa tak terindranya sesuatu adalah dalil atas ketiadaannya, sama sekali tidak dapat dijadikan alasan. Alangkah banyaknya bilangan benda-benda indrawi yang memenuhi jagad ini dan indra kita tidak mampu mencerapnya.
Sebagaimana bahwa sebelum penemuan atom atau wujud-wujud yang memerlukan lup atau kaca pembesar untuk melihatnya (seperti virus dan bakteri), setiap orang tidak berhak menafikan keberadaan wujud-wujud tersebut. Alangkah banyaknya bilangan wujud lain yang masih luput dari pandangan kita. Dan sains hingga kini masih belum dapat menguaknya untuk menyingkap rahasianya. Akal kita sekali-kali tidak memperkenankan kita -dalam kondisi seperti ini (keterbatasan sains dan impotensinya dalam mencerap wujud-wujud tersebut)- untuk berpendapat; menafikan atau menetapkannya.
Konklusinya adalah jangkauan indra dan instrumen-instrumen alam bersifat terbatas, dan kita tidak dapat membatasi semesta ini hanya pada indra dan instrument-instrumen tersebut.
Jangan sampai Anda berpikiran bahwa sebagaimana elektron dan proton-proton atau sebagian warna telah tersingkap dengan peralatan ilmiah dewasa ini, dan dengan kemajuan sains, kita akan dapat menyingkap segala ketidaktahuan, mungkin suatu saat alam metafisika dapat disingkap dengan instrumen-instrumen dan sebab-sebab natural!
Hal ini tidak mungkin dapat terwujud. Karena -sebagaimana telah kami jelaskan- dunia metafisika tidak dapat ditempuh melalui jalan-jalan natural dan material. Secara umum, jalan-jalan natural dan material ini keluar dari ranah aktifitas sebab-sebab materi.
Maksudnya, sebelum menyingkap dan mencerap wujud-wujud ini, tidak sah bagi kita untuk mengingkarinya dan kita tidak berhak untuk menghukuminya dengan alasan bahwa kita tidak dapat mencerapnya. Sebab-sebab natural tidak akan menunjukkan wujud-wujud ini kepada kita, sains tidak dapat membuktikannya kepada kita, dan...(bla..bla..bla, -AK) Kita mengetahui dengan niscaya ketidakmampuan sebab-sebab natural dan sains ini. Demikian juga dalam hubungannya dengan dunia metafisika, bahwa kita tidak dapat menafikannya.
Oleh karena itu, kita harus melepaskan metode-metode salah ini, sambil dengan teliti menelaah dalil-dalil rasional orang-orang mukmin. Baru setelah itu kita menyampaikan keyakinan kita. Niscaya akan mendapatkan konklusi yang positif.