Tarikh Syiah 2
Pendirian kalangan Syiah bahwa Ali bin Abi Talib adalah
imam atau khalifah yang seharusnya berkuasa setelah wafatnya Nabi Muhammad
SAW telah tumbuh sejak Nabi Muhammad SAW masih hidup, dalam arti bahwa Nabi
Muhammad SAW sendirilah yang menetapkannya. Dengan demikian menurut Syiah,
inti dari ajaran Syiah itu sendiri telah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
Namun demikian, terlepas dari semua pendapat tersebut,
yang jelas adalah bahwa Syiah baru muncul ke permukaan setelah dalam kemelut
antara pasukan Ali dan pasukan Mu'awiyah terjadi pula kemelut antara sesama
pasukan Ali. Di antara pasukan Ali pun terjadi pula pertentangan antara yang
tetap setia kepada Ali dan yang membangkang.
Setelah kematian Ali bin Abi Talib pada tahun 40 H akibat
tusukan benda tajam beracun oleh Abdur Rahman bin Muljam, kursi kekhalifahan
beralih kepada Hasan bin Ali, anak Khalifah Ali dari istrinya, Fatimah
az-Zahra, putri Nabi Muhammad SAW. Kekuasaan Hasan bin Ali tidak bertahan
lama karena pendukungnya makin lama makin berkurang. Sementara itu, para
pendukung Mu'awiyah bin Abu Sufyan yang menuntut kursi kekhalifahan bagi
dirinya semakin bertambah. Melihat gelagat yang kurang baik ini, akhirnya
Hasan bin Ali terpaksa menyerahkan kedudukannya kepada Mu'awiyah dengan persyaratan-persyaratan
yang telah disepakati bersama, yaitu antara lain : kursi kekhalifahan sesudah
Mu'awiyah diserahkan kepada pilihan umat, tidak melaknat Ali bin Abi Talib,
dan tidak mengambil tindakan balas dendam terhadap kaum Syiah. Namun, Mu'awiyah
tidak menepati janji-janjinya itu. Kedudukan sebagai khalifah dialihkannya
kepada putranya (Yazid), Ali bin Abi Talib selalu dikutuknya, dan para Syiah
pengikut Ali diburunya.
Akibat perlakuan Mu'awiyah, kaum Syiah hidup dalam suasana
tegang dengan para penguasa. Ketegangan ini memuncak pada tanggal 10 Muharam
61, yaitu ketika Husein bin Ali dan sebagian kerabat Nabi Muhammad SAW
dibantai di Padang Karbala, Irak. Peristiwa ini melahirkan aksi-aksi
pemberontakan yang berkepanjangan di kalangan sebagian pengikut Syiah di
kemudian hari, seperti pemberontakan Mukhtar as-Saqafi, pemberontakan Zaid
bin Ali bin Husein, pemberontakan Yahya bin Zaid, dan pemberontakan Nafs
az-Zakiyyah.
Persoalan Imamah.
Sejalan dengan perkembangan zaman dan sesuai dengan
keadaan umat Islam lainnya, dalam Syiah pun berkembang berbagai pemikiran
keislaman yang pada intinya berpusat pada tokoh-tokoh Ahlulbait (keluarga
Nabi Muhammad SAW), seperti Ali bin Husein Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir,
Zaid bin Ali, dan Ja'far as-Sadiq. Pemikiran yang paling menonjol terletak
pada persoalan imamah atau kepemimpinan umat Islam setelah wafatnya Nabi
Muhammad SAW. Hampir semua sekte Syiah menekankan arti penting kepemimpinan
Ali bin Abi Talib. Persoalan imamah inilah yang membedakan Syiah dari aliran-aliran
Islam lainnya seperti Khawarij, Muktazilah, dan Ahlusunah waljamaah.
Dalam hal ini, golongan Syiah mengajukan berbagai alasan
atas keyakinan mereka itu, baik berupa alasan-alasan 'aqliyyah (secara rasio) maupun alasan-alasan naqliyyah (berdasarkan yang tertulis,
yakni Al-Qur'an dan hadis). Alasan-alasan naqliyyah
yang mreka ajukan di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, surah al-Ma'idah ayat 55 yang artinya :
"Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang
yang beriman, yang mendirikan sholat dan menunaikan zakat, seraya mereka
tunduk (kepada Allah)." Menurut Syiah, orang yang beriman yang dimaksud
pada ayat tersebut adalah Ali bin Abi Talib. Kedua, sabda Nabi SAW dalam
hadis al-Gadir yang artinya : "Barangsiapa yang menganggap aku ini
adalah pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya." (HR. Ahmad)
Sekte-Sekte dalam Syiah.
Selain membedakan Syiah dengan aliran-aliran Islam
lainnya, persoalan imamah juga menimbulkan sekte-sekte dalam Syiah itu
sendiri. Semua sekte Syiah sepakat bahwa imam yang pertama adalah Ali bin Abi
Talib, kemudian Hasan bin Ali, lalu Husein bin Ali. Namun, setelah itu muncul
perselisihan mengenai siapa pengganti Imam Husein. Dalam hal ini muncul dua
kelompok dalam Syiah. Kelompok pertama meyakini imamah beralih kepada Ali bin
Husein - Zainal Abidin, putra Husein bin Ali. Sedangkan kelompok lainnya
meyakini bahwa imamah beralih kepada Muhammad bin Hanafiyah, putra Ali bin
Abi Talib dari istri bukan Fatimah.
Akibat perbedaan antara kedua kelompok ini, muncullah
berbagai sekte dalam Syiah. Sebagian di antara sekte-sekte ini sebetulnya
tidak dapat disebut sebagai sekte atau aliran karena hanya merupakan
pandangan seseorang atau sekelompok kecil saja. Para penulis klasik
berselisih tajam mengenai jumlah sekte dalam Syiah. Akan tetapi, para ahli
umumnya membagi sekte Syiah dalam empat golongan besar, yaitu Kaisaniyah,
Zaidiah, Imamiyah, dan Kaum Gulat.
|
Mosleminfo, Riyadl—Para hari Jumat (22/5) kemarin sebuah bom bunuh diri meledak di sebuah masjid Syiah di Arab Saudi. Diduga kuat bom itu dilakukan guna memicu konflik antara Sunni-Syiah yang dalam beberapa hari ini semakin memburuk pasca serangan Arab Saudi ke Syiah Houthi di Yaman.
Menanggapi hal itu, Mufti Agung Arab Saudi Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh mengatakan bahwa tragedi yang terjadi di Qatif sengaja dilakukan demi memecah persatuan warga Arab Saudi.
“Apa yang terjadi di Qatif adalah sebuah tragedi yang menyakitkan dan sebuah aksi kriminal yang disengaja. Para pelakunya sengaja ingin menciptakan ketidak-harmonian antar anak bangsa. Mereka ingin memprovokasi antar anak bangsa di saat negara sedang mempertahankan wilayah Selatan dari serangan musuh. Para pelaku itu ingin memecah-belah kita dan mencerai-beraikan persatuan kita. Akan tetapi ini tidak akan mempengaruhi kita. Karena kita adalah umat yang satu yang kuat dan saling mencintai. Kita harus bersatu padu,” demikian ungkap Syaikh Abdul Aziz, sebagaimana dikutip oleh media-media Arab Saudi.
Pernyataan Mufti Agung ini, meski kental muatan politisnya, namun mendapatkan respon dari seorang ulama pakar ilmu hadis Arab Saudi Syaikh Syarif Hatim al-Auni. Menurutnya, pernyataan mufti tersebut secara jelas menunjukkan bahwa Syiah masih dianggap muslim, padahal mereka adalah Syiah Imamiyah Ja’fariyah, dan ini membatalkan berbagai pandangan mufti sebelumnya.
“Ini sebuah pernyataan yang sangat jelas bahwa Syiah Qatif adalah muslim, padahal mereka Syiah Imamiyah Ja’fariyah. Ini jelas dalam pernyataan mufti “umat yang satu”. Karenanya siapapun setelah ini dari kalangan ulama yang mengafirkan mereka maka sejatinya ia telah menyelisihi mufti agung dalam hal itu!!”, tulis Syaikh Syarif Hatim dalam akun facebooknya. Beliau dikenal sebagai ulama Sunni Arab Saudi yang kerap memberikan pandangan yang berbeda dari ulama-ulama Saudi pada umumnya.
“Jika demikian, maka perlu dilakukan telaah ulang terhadap berbagai permasalahan yang selama ini dijadikan landasan untuk mengafirkan Syiah, seperti gemar ziarah kubur, istighatsah, mendustakan Al-Quran, mengubah Al-Quran, atau mengafirkan sahabat Nabi SAW.. Karena semua itu menurut mufti agung tidak layak dijadikan landasan untuk mengafirkan mereka,” pungkas Syaikh Syarif Hatim. (am/mosleminfo.com)
#sumber
http://mosleminfo.com/berita/internasional/syaikh-syarif-mufti-agung-saudi-nyatakan-syiah-imamiyah-adalah-muslim/