|
Mengenal Allah
1. Mengapa kita perlu membahas masalah ma'rifatullah?
Tidak akan ada gerak tanpa motivasi. Tentu saja upaya untuk mengetahui
masalah asal-usul keberadaan semesta juga tidak dapat terlaksana tanpa
motivasi dan dorongan. Para filsuf dan ilmuwan menyebutkan tiga faktor
fundamental dalam rangka mengenal Tuhan. Faktor tersebut senada dengan apa
disinggung secara jelas oleh al-Qur'an, antara lain:
a. Motivasi Akal
b. Motivasi Fitri
c. Motivasi Kasih
a. Motivasi Akal
Setiap manusia pecinta kesempurnaan. Kecintaan ini bersifat substansial dan
merata. Hanya saja, setiap orang melihat kesempurnaannya pada suatu hal
tertentu, lalu mengusahakannya. Ada sekelompok orang yang, alih-alih mengejar
air, mengejar kepuasan dan kesempurnaan semu serta mengira bahwa itu adalah
realitas.
Motivasi ini kerap disebut sebagai "naluri mencari keuntungan dan
menghindari kerugian". Lantaran naluri ini, manusia melihat dirinya
memiliki tugas untuk menyikapi secara serius hubungannya dengan segala hal
yang bertalian dengan nasibnya (dari perspektif untung dan rugi).
Akan tetapi, menyebut kecintaan ini sebagai naluri (gharizah) bukanlah suatu
hal yang mudah, karena naluri biasanya digunakan pada hal-hal yang memiliki
efek tanpa intervensi pemikiran dalam pelbagai perbuatan manusia atau segala
makhluk lainya. Atas alasan ini, dalam urusan dunia fauna, istilah ini juga
sering dipakai.
Oleh karena itu, lebih baik kita menggunakan istilah
"kecendrungan-kecendrungan transendental" yang digunakan oleh
sebagian orang dalam masalah ini.
Secara umum, cinta pada kesempurnaan dan cenderung kepada keuntungan
spiritual dan material serta menghindar dari segala bentuk kerugian
mengarahkan seseorang untuk meneliti kemungkinan (ihtimâl) diperoleh atau
tidaknya. Yakni, semakin kemungkinan memperoleh keuntungan itu kuat, atau
semakin terjadinya kerugian itu besar, penelitian atas masalah ini semakin
penting.
Adalah mustahil bagi seseorang yang memberikan kemungkinan tentang suatu
perkara yang akan menentukan nasibnya, namun ia tidak memandang dirinya
bertanggung jawab untuk meneliti perkara tersebut.
Dalam kategori ini, iman kepada Allah dan pengkajian agama merupakan perkara
yang niscaya. Sebab, teks-teks agama banyak memuat persoalan nasib dan
persoalan baik-buruk perilaku manusia yang berhubungan erat dengan iman.
Dalam menjelaskan masalah ini, sebagian orang membawakan beberapa
perumpamaan. Misalnya, "Anggaplah kita melihat seseorang yang berada di
persimpangan dua jalan. Kepada dirinya ia berkata, 'Tinggal di tempat ini
sangat berbahaya, dan memilih jalan ini juga berbahaya, sedangkan jalan yang
lain adalah jalan keselamatan.' Kemudian, ia menguraikan indikasi-indikasi
dan bukti-bukti untuk keduanya. Tentu, ia perlu meneliti dua jalan di
hadapannya itu. Mengabaikan kedua-duanya adalah bertentangan dengan akal
sehat."
Kaidah akal "menghindari kerugian yang mungkin ada" yang popular
ini merupakan turunan dari motivasi akal. Kepada Nabi saw., Al-Qur'an
menegaskan, "Katakanlah, 'Bagaimanakah pendapat Kamu seandainya
Al-Qur'an ini berasal dari sisi Allah, kemudian Kamu mengingkarinya, siapakah
yang lebih sesat dari orang yang selalu berada dalam penyimpangan yang
jauh?'" (Qs. Fushshilat [41]: 52)
Tentu saja, ayat ini tidak ditujukan kepada mereka yang enggan menggunakan
argumentasi logis. Sejatinya, bila ayat ini ditujukan kepada orang-orang
keras kepala, pongah, dan fanatik, maka ia menyatakan bahwa sekiranya Anda
menolak mutlak akan kebenaran Al-Qur'an, Tauhid dan adanya kehidupan setelah
kematian (ma'âd), niscaya tidak ada argumentasi yang dapat menafikan semua
kebenaran ini. Dengan demikian, kemungkinan yang tersisa adalah bahwa ajakan
Al-Qur'an dan perkara hari kebangkitan sungguh sebuah kebenaran. Pada titik
ini, pikirkanlah nasib buruk yang kelak akan Anda hadapi akibat kesesatan dan
penentangan tak berdasar yang Anda lakukan terhadap ajakan Ilahi ini.
Pesan ayat ini serupa dengan apa yang disampaikan oleh para Imam Maksum a.s.
dalam menghadapi orang-orang yang keras kepala pada kesempatan terakhir,
sebagaimana hadis yang diriwayatkan dalam Al-Kâfî. Marilah kita simak
bersama!
Banyak informasi yang telah disampaikan kepada Imam Ash-Shadiq a.s. tentang
Ibn Abi Al-Aujah; seorang materialis dan ateis. Sampai akhirnya mereka
bertemu di musim haji. Sebagian dari sahabat Imam berkata, "Rupanya Ibn
Abi al-Aujah kini telah memeluk Islam".
Imam berkata, "Ia kini lebih gelap dan lebih buta hatinya. Ia tidak akan
pernah menjadi Muslim".
Tatkala melihat Imam, ia berkata, "Salam Sejahtera, wahai Tuanku!"
Imam menjawab dengan melontarkan pertanyaan kepadanya, "Untuk apa engkau
datang kemari?"
Ia menjawab, "Di samping sudah menjadi kebiasaan kami, juga tradisi
lingkungan menuntut demikian, aku hendak menyaksikan perbuatan orang-orang
ini yang biasa dilakukan oleh para jin; menggundul kepala dan melempar
jumrah."
Imam berkata, "Engkau masih saja tetap sesat dan keras kepala, Wahai
Abdul Karim."
Sebelum Ibn Abi al-Aujah menjawab, Imam segera menukas, "Di musim haji
ini, bukanlah tempat untuk berdebat!"
Lalu beliau menepikan aba'ah-nya seraya berkata, "jika benar seperti
yang kau katakan bahwa Allah dan Hari Kiamat itu tidak ada -padahal tidaklah
demikian- maka di samping kami adalah orang-orang selamat, engkau juga
demikian. Namun, jika benar apa yang kami yakini -dan memang demikian
kenyataannya- maka kami termasuk orang-orang selamat, sedangkan engkau pasti
binasa."
Ibn Abi al-Aujah menatap orang-orang yang menyertainya dan berkata, "Di
lubuk hatiku yang paling dalam aku merasakan luka. Bawalah aku kembali!"
Mereka membawanya pulang. Tidak lama setelah itu, ia meninggal.
b. Motivasi Kasih
Sebuah pepatah mengatakan, "Al-Insân 'abidul ihsân" (Manusia adalah
hamba kebaikan).
Dengan kandungan yang sama, Imam Ali a.s. pernah berkata, "Al-Insân
'abdul ihsân" (Manusia adalah hamba kebaikan).
Pada hadis lain, beliau juga menegaskan, "Bil Ihsân tumlakul qulûb"
(Dengan perbuatan baik, hati akan tertaklukkan).
Juga sebuah hadis yang dinukil dari Imam Ali a.s. mengatakan: "Wa afdhil
man syi'ta takun amîrah(u)" (Lakukan kebaikan kepada siapa saja, niscaya
engkau menjadi tuannya).
Akar dari semua pesan itu dapat dijumpai pada hadis Rasulullah saw., bahwa
"Sesungguhnya Allah Swt. telah menjadikan hati takluk kepada siapa saja
yang berbuat baik kepadanya dan murka terhadap siapa saja yang berlaku buruk
kepadanya."
Kesimpulan dari semua itu ialah; barangsiapa berbuat khidmat atau kebaikan
kepada orang lain, niscaya ia (penerima kebaikan itu) memiliki kecendrungan
untuk mengenal pelaku kebaikan itu dan berterima kasih kepadanya. Dan semakin
tinggi nilai sebuah kebaikan, semakin takluk pula hati penerima dan semakin
tinggi keinginannya untuk mengenal pemberi kebaikan itu.
Namun, harus diperhatikan bahwa konsep "bersyukur kepada pemberi
kebaikan" terlebih dahulu diakui oleh rasa kasih, jauh sebelum
dibenarkan oleh akal sehat.
Kami ingin mengakhiri bagian ini dengan sebuah syair dari pujangga Arab
ternama sebagai sebuah isyarat kecil;
Berbuat baiklah kepada insan,
Niscaya hati mereka takluk kepada tuan,
Demikianlah insan adalah budak ihsan.
Dalam hadis Imam al-Baqir a.s. dikatakan, "Pada suatu malam, Rasulullah
saw. berada di rumah 'Aisyah. 'Aisyah bertanya kepada beliau, 'Mengapa Anda
begitu bersusah-payah untuk beribadah padahal Allah swt. telah mengampuni
segala dosa Anda, baik yang telah terjadi maupun yang akan datang?'
Nabi saw. menjawab, 'Apakah tidak pantas aku menjadi hamba yang
bersyukur?'"
c. Motivasi Fitri
Maksud fitrah di sini ialah perasaan-perasaan dan pengetahuan jiwa yang tidak
memerlukan penalaran rasional.
Ketika kita melihat sebuah pemandangan yang indah, atau sekuntum bunga yang
semerbak mewangi dan warnanya yang mempesona, kita merasakan ketertarikan dan
gairah di dalam diri kita. Ketertarikan ini disebut sebagai kecintaan kepada
keindahan. Kita tidak memerlukan penalaran untuk mencntai keindahan ini. Ya,
cinta keindahan adalah satu dari sekian kecendrungan transendental jiwa
manusia.
Upaya mengarahkan diri kepada agama, khususnya mengenal Tuhan, tidak hanya
merupakan salah satu perasaan esensial (dzati) dalam relung jiwa manusia,
tetapi juga sebagai salah satu dorongan yang paling kuat dalam fitrah dan
jiwa seluruh manusia.
Berdasarkan dalil ini, tidak satu kaum atau bangsa pun, di masa lalu atau
kini, yang tidak menjadikan pikiran dan ruh sebagai hakim atas jenis agama
atau ideologi. Dan kenyataan ini menunjukkan kemendasaran perasaan mendalam
ini.
Al-Qur'an, ketika menuturkan pengutusan nabi-nabi besar, seringkali
menandaskan bahwa risalah utama mereka ialah memerangi syirik dan penyembahan
berhala, bukan membuktikan keberadaan Tuhan, karena masalah terakhir ini
memang telah tertanam di dalam lubuk hati setiap manusia. Dengan kata lain,
manusia tidak menuntut masalah ini untuk menanamkannya pada setiap lubuk hati
manusia. Akan tetapi, para nabi menuntut bagaimana menyirami pokok masalah
itu dan membunuh hama dan belukar yang acapkali membuat kering dan layu pokok
tersebut.
Ungkapan "allâ ta'budû illallâh" atau "allâ ta'budû illâ
iyyâh" (jangan sembah selain Allah) diterangkan dalam bentuk menegasikan
berhala-berhala, bukan menetapkan keberadaan Tuhan. Pelbagai ucapan para nabi
tentang realita ini telah diuraikan dengan jelas di dalam Al-Qur'an, di
antaranya dakwah Nabi saw , Nabi Nuh , Nabi Yusuf , dan Nabi Hud .
Terlepas dari semua ini, jiwa kita memiliki perasaan-perasaan fitri lain yang
sangat mendasar. Di antaranya, ketertarikan yang luar biasa kepada
pengetahuan.
Apakah mungkin kita menyaksikan sistem menakjubkan di alam semesta yang luas
ini tanpa kita terdesak untuk mengenal pencipta sistemnya?
Apakah mungkin seorang ilmuwan yang telah meluangkan waktu dan susah-payah
selama puluhan tahun untuk mengenal kehidupan habitat semut, atau ilmuwan
yang lainnya dengan cucuran keringat telah menghabiskan waktu selama puluhan
tahun untuk meneliti habitat burung, pepohonan, atau ikan-ikan di laut, tanpa
tersisa dorongan selain cinta terhadap pengetahuan yang terpatri dalam lubuk
hatinya? Apakah mungkin para ilmuwan ini tidak ingin mengenal sumber sejati
samudera tak-bertepi ini semenjak azal (primordial) hingga abad (eternal)?
Ketertarikan kepada pengetahuan adalah motivasi yang mengajak kita kepada
ma'rifatullâh (mengenal Tuhan).
Alhasil, Akal kita menuntun kita kepada pengenalan kepada Tuhan ini, rasa
kasih menarik kita kepada keinginan untuk itu, dan fitrah kitalah yang
mendorong kita bergerak ke arahnya.
2. Apakah Agama Muncul dari Ketakutan ataukah Kebodohan, ataukah dari
Gejala-gejala Dua Faktor ini?
Sebagian sosiolog dan psiko-analisis materialis Barat dan Timur bersikeras
mengatakan bahwa sumber kemunculan agama dan ideologi terhadap ma'rifatullâh
berasal dari rasa takut dan kejahilan atau faktor-faktor lain yang termasuk
dalam kategori ini. Pendapat seperti ini dapat disimpulkan dalam empat asumsi
mendasar.
a. Asumsi Kejahilan
Salah seorang sosiolog ternama mengatakan, "Meskipun ilmu dan sains
telah berhasil menyingkap pelbagai misterius, namun betapa yang telah
tersingkap itu masih kabur di balik tirai ilmu, dan keperluan untuk memahami
hal-hal misterius ini telah menyebabkan kemunculan agama."
Salah seorang filsuf materialis menambahkan bahwa tatkala manusia menatap
kejadian-kejadian sejarah, dengan alasan yang sangat jelas mereka
membayangkan bahwa ilmu (baca: sains) dan agama adalah dua musuh bebuyutan
yang tidak dapat berdamai. Sebab, tatkala seseorang meyakini hukum
kausalitas, pada detik yang sama ia tidak dapat memberikan peluang kepada
akalnya untuk membayangkan bahwa barangkali terjadi dalam lintasan
peristiwa-peristiwa yang menciptakan rintangan dan kendala atas terjadinya
sebuah peristiwa.
Sederhananya, mereka hendak mengklaim bahwa ketidaktahuan manusia terhadap
sebab-sebab alami telah menyebabkannya berpikir akan adanya kekuatan di luar
alam yang menciptakan dan mengatur semesta raya ini. Dengan demikian, tidak
terungkapnya faktor dan sebab-sebab alami ini menjadi alasan baginya untuk
meyakini keberadaan Tuhan dan agama.
Kesalahan mendasar para penggagas pendapat ini akan terlihat jelas melalui
poin-poin berikut ini:
Pertama, mereka membayangkan bahwa beriman kepada keberadaan Tuhan berarti
mengingkari hukum kausalitas. Dan kita berlaku sebagai seorang hakim; apakah
kita harus menerima sebab-sebab alami tersebut atau menerima keberadaan
Tuhan?
Padahal dalam filsafat Islam, meyakini hukum kausalitas dan menyingkap
sebab-sebab alami merupakan salah satu jalan yang terbaik untuk dapat
mengenal Tuhan.
Kita tidak pernah mengkaji Tuhan di antara ketakberaturan dan
kejadian-kejadian yang tak jelas. Akan tetapi, kita menemukan-Nya di antara
keteraturan-keteraturan alam semesta. Karena, adanya keteraturan ini
merupakan penanda jelas atas wujud satu Sumber Awal bagi alam semesta dan
wujud satu Kekuatan yang mengaturnya.
Kedua, mengapa mereka lalai bahwa sesungguhnya manusia semenjak dahulu hingga
hari ini melihat adanya sistem yang khas yang berlaku atas jagad raya ini.
Menafsirkan sistem ini dengan sebab-sebab irasional tidak mungkin dapat
diterima. Dan mereka menganggap keutuhan sistem jagad raya ini sebagai
pertanda wujud Tuhan. Akan tetapi, pada masa lalu, sistem ini tidak banyak
dikenal orang. Dan semakin maju ilmu-pengetahuan manusia, semakin ia dapat
menyingkap seluk-beluk sistem jagad raya ini. Dengan demikian, ilmu dan
kemahakuasaan Sumber Awal bagi keberadaan semesta ini akan semakin gamblang.
Atas dasar ini, kita yakin bahwa iman kepada keberadaan Tuhan dan agama
relevan dengan kemajuan ilmu dan pengetahuan. Dan setiap penemuan baru akan
rahasia dan aturan-aturan jagad raya ini merupakan langkah baru untuk
pengenalan yang semakin cermat terhadap Tuhan. Apa yang dapat kita lakukan
hari ini dalam rangka mengenal Tuhan tentu tidak pernah dikenal oleh manusia
jaman dahulu, lantaran mereka tidak menikmati kemajuan ilmu pengetahuan.
b. Asumsi Rasa Takut
Will Durant, seorang sejarawan kenamaan Barat, di dalam buku sejarahnya,
ketika membahas "Sumber-sumber Agama", menukil pendapat Luctrius,
seorang filsuf Romawi, bahwa rasa takut adalah ibu para dewa! Dan bagian rasa
takut yang paling penting ialah rasa takut dari kematian. Atas dasar ini,
manusia pertama tidak dapat meyakini bahwa kematian adalah satu fenomena
alam. Oleh karena itu, mereka senantiasa menganggap bahwa sebab metafisislah
yang menjadi penyebab kematian itu.
Senada dengan teori di atas, B. Russel berkata, "Aku berasumsi bahwa
sumber agama -sebelum segala sesuatunya- ialah rasa takut. Rasa takut
bersumber dari musibah-musibah alam, dari peperangan dan sebagainya. Rasa
takut dari pekerjaan-pekerjaan salah yang dilakukan manusia ketika syahwat
mendominasi."
Kekeliruan asumsi ini akan tampak jelas bila para pendukung asumsi ini
sepakat bahwa akar keyakinan kepada Tuhan dan agama tidak memiliki dasar
metafisis. Dan tentu saja, harus ditemukan sebuah faktor di alam semesta ini.
Sebuah faktor yang akhirnya kembali kepada prasangka dan khayalan belaka.
Oleh karena itu, mereka senantiasa melihatnya dalam kerangka cabang dan
melupakan kerangka aslinya.
Benar bahwa iman kepada Tuhan memberikan kekuatan spiritual dan ketenangan
kepada manusia. Benar bahwa manusia akan bersikap prawira dalam menghadapi
kematian dan berbagai peristiwa pelik yang dialaminya; terkadang berupa sikap
pengorbanan. Akan tetapi, mengapa kita lupakan faktor-faktor yang kerap hadir
secara telanjang di hadapan mata manusia, yakni sistem semesta yang berlaku
atas bumi dan langit ini, kehidupan flora dan fauna, dan keberadaan
manusia?
Dengan kata lain, meskipun manusia tidak memiliki ilmu anatomi dan fisiologi
atau semisalnya, seketika mencermati struktur mata, telinga, hati, tangan dan
kakinya, ia akan melihatnya sebagai sebuah bangunan yang menakjubkan dan
kokoh. Bangunan kokoh dan menakjubkan ini niscaya tidak dapat dimengerti bila
bersumber dari gejala-gejala aksidental dan faktor-faktor yang tidak masuk
akal. Sekuntum bunga, seekor lebah, matahari dan bulan dan alurnya yang
tertata apik serta fenomena-fenomena semesta lainnya merupakan contoh
gamblang dari kenyataan itu.
kenyataan ini senantiasa hadir di hadapan manusia semenjak dulu hingga kini
dan ia merupakan faktor utama adanya iman kepada Tuhan. Lantaran melalaikan
realitas nyata ini, akhirnya mereka mencari-cari faktor iman kepada Tuhan dan
agama, lalu menyimpulkan bahwa semua itu disebabkan oleh rasa takut dan
kedunguan manusia. Atribut yang dapat kita lekatkan kepada mereka adalah
"dungu" dalam menghadapi realitas telanjang ini dan
"takut" terhadap kemajuan ideologi agama, sebab mereka melepaskan
jalan utama dan terang ini, menapakkan kaki di jalan yang tak menentu, serta
bersandarkan kepada asumsi-asumsi yang tak berdasar.
c. Asumsi Faktor Ekonomi
Eksponen asumsi ini adalah mereka yang percaya bahwa kekuatan penggerak
sejarah adalah alat-alat reproduksi. Mereka yakin bahwa seluruh fenomena
sosial, seperti budaya, ilmu, filsafat, politik, bahkan agama muncul sebagai
akibat dari perkara ini.
Untuk menghubungkan kemunculan agama dan masalah-masalah ekonomi, mereka
mengajukan penafsiran yang aneh. Di antaranya, mereka berasumsi bahwa menurut
kaum imperialis dalam lingkungan sosial, dalam rangka mengenyahkan resistensi
dan gerakan massif kaum terjajah, kaum imperialis mencandu mereka dan
menciptakan agama. kalimat yang terkenal dari Lenin yang tertuang dalam buku
"Sosialisme wa Mazhab" (Sosialisme dan Agama) adalah, "Agama
di tengah masyarakat merupakan candu." Dalam kasus ini terdapat sederet
ungkapan yang serupa; terulang-ulang.
Untungnya, penyokong asumsi ini (kaum sosialis) telah memberikan jawaban
sendiri yang ternyata kontradiktif. Ketika mereka berhadapan dengan Islam
sebagai gerakan sebuah bangsa tertinggal yang dapat menjungkalkan kaum
imperialis seperti kesultanan Sasani, kekaisaran Romawi, para Fir'aun Mesir
dan kesultanan Yaman dari singgasana kekuasaan mereka, terpaksa mereka
mengecualikan Islam pada batasan minimal kasus ini dari fakta sejarah.
Lebih dari itu, tatkala mereka menyaksikan gerakan dan aksi-aksi Islam
menentang kaum imperialis, khususnya pada masa kini, dan berhadapan dengan
kekuasaan Timur dan Barat, atau resistensi bangsa Palestina atas kekuasaan
Zionisme, mereka tidak memiliki jalan lain kecuali meragukan analisa-analisa
mereka sendiri. Biarkanlah mereka terjerat dalam pagar-pagar kesulitan,
karena tidak mampu melihat terangnya sinar matahari.
Secara umum, dengan memperhatikan sejarah kemarin dan hari ini, khususnya
sejarah Islam, akan tampak bahwa kemunculan agama tidak sesuai dengan asumsi
mereka. Tidak hanya candu yang menjadi sebab munculnya gerakan-gerakan sosial
yang paling perkasa, akan tetapi masalah-masalah ekonomi juga membentuk
bagian dari kehidupan manusia. Dan mendefinisikan manusia pada dimensi
ekonomi merupakan kesalahan besar dalam mengenal motivasi dan kecendrungan
transendental manusia.
d. Asumsi Kebutuhan kepada Etika
Dalam tema agama dan sains, Einstein berujar, "Dengan sedikit hati-hati,
akan menjadi maklum bahwa agitasi dan perasaan-perasaan insani menjadi
penyebab munculnya agama yang beraneka dan beragam coraknya….". Setelah
menyebutkan asumsi takut, ia menambahkan, tipologi manusia sebagai makhluk
sosial juga merupakan salah satu faktor munculnya agama. Seseorang melihat
orang tuanya. Kerabat, para pemimpin dan orang-orang besar meninggal dunia.
Satu demi satu orang-orang di sekelilingnya berlalu. Setelah itu, harapan
untuk terbimbing dengan petunjuk, menyukai, mencintai, bersandar dan
bergantung adalah landasan yang membentuk keyakinannya kepada Tuhan".
Dengan urutan seperti ini, Einstein beranggapan bahwa penyebab munculnya
agama adalah motivasi moral dan motivasi sosial.
Mari kita kembali menelaah pendapat di atas. Orang-orang yang memberikan
asumsi akhlak ini keliru dalam memahami efek dan motivasi. Kita mengetahui
bahwa setiap efek tidak mengharuskan adanya motivasi. Boleh jadi tatkala
menggali sebuah sumur yang dalam kita menemukan hartu karun. Ini adalah efek.
Sedangkan penggerak dan motivasi utama kita untuk menggali sumur ialah untuk
mendapatkan air, bukan untuk menemukan harta karun.
Oleh karena itu, adalah benar bahwa agama dapat menenangkan keluh dan derita
spiritual manusia. Iman kepada Tuhan dapat melepaskan manusia dari
kesendirian tatkala harus kehilangan orang-orang terkasih, sahabat tercinta
dan orang-orang besar yang dibanggakan. Iman kepada Tuhan dapat memenuhi
segala sesuatu yang lepas dari tangannya dan mengisi kekosongan akibat
kehilangan yang dideritanya. Akan tetapi, semua ini adalah sebuah efek, bukan
sebuah motivasi.
motivasi utama agama yang tampak paling logis adalah sebagaimana yang
disebutkan sebelumnya; semakin manusia mengamati sistem semesta, semakin ia
mengenal kedalaman, kerumitan dan keagungan semesta ini. Ia sekali-kali tidak
akan menerima begitu saja akan munculnya munculnya sekuntum bunga dengan
segala elegansinya, keajaiban strukturnya, atau matahari dengan seluruh
sistem sedemikian agung dan kompleksnya, yang lahir dari rahim semesta yang
tak berakal dan pelbagai benturan. Dan berangkat dari sini, manusia bergerak
kepada Sumber Awal sistem jagad ini.
Tentu saja kasus lain dengan maksud yang sama dapat membantu, sebagaimana telah
diisyaratkan sebelumnya.
Dan anehnya, Einstein sendirilah yang telah mengusulkan asumsi ini. Di tempat
lain ia mengubah pernyataannya. Ia mengekspresikan, dengan bahasa yang
berbeda, keyakinannya yang teguh terhadap penyebab terjadinya fenomena semesta
dan imannya kepada Sumber Awal Yang Agung tersebut. Dan hal ini menunjukkan
bahwa ia mengingkari ideologi yang bergantung kepada khurafat-khurafat, bukan
kepada sebuah tauhid yang tulus dan bersih dari segala bentuk khurafat.
Ia menuturkan, "Sebuah makna real dari keberadaan Tuhan di balik
imaginasi-imaginasi yang secuil telah ditemukan oleh mereka." Kemudian,
Einstein dan para ilmuwan besar lainnya menamakan keyakinan mereka sebagai
sebuah jenis keyakinan yang disebut "perasaan religius penciptaan"
atau "perasaan religius keberadaan". Dan di tempat lain, disebut
sebagai "takjub yang mengairahkan dari sistem ajaib dan akurat jagad
raya".
Dan yang lebih menarik adalah penegasannya, "Iman religius adalah suluh
bagi jalan pencarian hidup para cendikiawan."
Tentu saja, dalam masalah ini banyak pernyataan yang dapat dinukil. Sekiranya
kita ingin melepaskan dari kendali pena, pembahasan kita akan keluar dari
pembahasan tafsir tematik.
Oleh karena itu, kita kembalikan kepada persoalan utama. Dan pembahasan ini kita
akhiri sampai di sini. Kami ingatkan bahwa untuk mengetahui motivasi atau
dorongan munculnya agama seyogyanya terlebih dahulu menelaah penciptaan
semesta (alasan logis dan rasional), dan selepas itu mengkaji kekuatan
magnetis dalam lubuk hati (motivasi fitri), kemudian mengalihkan perhatian
kepada Sumber Awal Yang Agung, sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya
mengenai anugerah-anugerah-Nya yang nir-batas.
3. Mengapa Dzat Tuhan tidak Dapat Diketahui?
Poin utama dalam masalah nir-batasnya Dzat Allah dan terbatasnya akal adalah
ilmu dan pengetahuan kita sebagai manusia.
Dia adalah wujud mutlak dari segala dimensi. Dzat-Nya, seperti ilmu, kuasa
dan seluruh sifat-sifat-Nya, adalah tak terbatas. Dari sisi lain, kita dan
seluruh yang bertalian dengan keberadaan kita, seperti ilmu, kuasa, hidup,
ruang dan waktu, semuanya serba terbatas.
Oleh karena itu, dengan segala keterbatasan yang kita miliki, bagaimana
mungkin kita dapat mengenal wujud dan sifat yang mutlak dan tak terbatas?
Bagaimana mungkin ilmu kita yang terbatas dapat menyingkap wujud nir-batas?
Ya, dari satu sisi, kita dapat melihat dari jauh kosmos pikiran dan
memberikan isyarat global ihwal Dzat dan sifat Allah swt. Akan tetapi, untuk
mencapai hakikat Dzat dan sifat-Nya secara detail adalah mustahil bagi kita.
Dari sisi lain, wujud nir-batas dari segala dimensi ini tidak memiliki
keserupaan dan kesamaan. Dan ketakterbatasan ini hanyalah Dia; Allah Swt.
sebab, sekiranya Dia memiliki keserupaan dan persamaan, maka kedua-duanya
menjadi terbatas.
Sekarang bagaimana kita dapat memahami wujud yang tak memiliki kesamaan dan
keserupaan? Segala sesuatu yang kita lihat selain-Nya adalah wujud yang
mungkin (mumkinul wujûd)., sedangkan sifat- sifat wajib al-Wujud berbeda
dengan sifat yang lainnya.
Kita tidak berasumsi bahwa kita tidak memiliki pengetahuan tentang hakikat
wujud Allah, tentang ilmu, kuasa, kehendak dan hidup-Nya. Akan tetapi, kita
berasumsi bahwa kita memiliki pengetahuan global tentang hakikat wujud dan
sifat-sifat-Nya. Dan kedalaman serta batin seluruh hal-hal ini tidak akan
pernah kita ketahui. Dan kaki akal seluruh orang-orang bijak dunia, tanpa
kecuali, dalam masalah ini tampak lumpuh:
Pada akal seorang hakim hingga kapan Anda menggapai?
Tak 'kan pernah terlintas dalam benakmu jalan ini.
Akal tak 'kan memahami kedalaman Dzat-Nya,
bilamanakah sampai bongkahan kayu ke dasar laut!
Dalam hadis yang diriwayatkan dari Imam Ash-Shadiq a.s. dikatakan:
"Diamlah bilamana pembahasan sampai pada Dzat Allah". Artinya,
jangan membahas ihwal Dzat Allah. Dalam masalah ini, seluruh akal buntu dan
tidak akan pernah mencapai tujuannya. Berpikir tentang Dzat Nir-batas melalui
akal yang terbatas adalah mustahil. Karena segala yang dirangkum oleh akal
bersifat terbatas; dan terbatas bagi Tuhan adalah mustahil.
Dengan ungkapan yang lebih jelas, tatkala kita menyaksikan jagad raya dan
seluruh keajaiban makhluk-makhluk, dengan segenap kompleksitas dan
keagungannya, atau bahkan melihat wujud diri kita sendiri, secara umum,kita
memahami bahwa jagad raya ini memiliki pencipta dan Sumber Awal. Pengetahuan
ini adalah pengetahuan global yang merupakan tahapan akhir bagi kekuatan
pengenalan manusia tentang Tuhan. Namun, semakin kita mengetahui
rahasia-rahasia keberadaan, semakin juga kita mengenal keagungan-Nya serta jalan
pengetahuan global tentang-Nya semakin kuat.
Akan tetapi, ketika kita bertanya kepada diri kita sendiri apakah hakikat
Dia? Dan bagaimanakah Dia? Ketika kita mengarahkan tangan ke arah realitas
Dzat Allah, kita tidak akan mendapatkan sesuatu selain keheranan dan rasa
takjub. Kita akan mengatakan bahwa jalan untuk menuju ke arah-Nya adalah
terbuka, dan jalan untuk menyentuh hakikatnya adalah tertutup.
Dengan menyebutkan satu perumpamaan kita dapat menjelaskan masalah ini. Bahwa
kita semua tahu bahwa ada kekuatan alam yang disebut sebagai kekuatan
gravitasi. Segala sesuatu yang terlepas akan jatuh dan tertarik ke bawah.
jika kekuatan gravitasi ini tidak ada, ketenangan dan ketentraman bagi
seluruh makhluk di muka bumi tidak akan ada.
Ilmu tentang adanya gravitasi bumi bukanlah sesuatu yang hanya diketahui oleh
para ilmuwan saja. Anak-anak yang berakal sehat pun dapat mencerap realitas
gravitasi bumi ini dengan baik. Akan tetapi, hakikat gravitasi bumi itu apa,
apakah ia adalah gelombang-gelombang frekuensi atau atom-atom atau kekuatan
lain?
Dan anehnya adalah gravitasi bumi bertentangan dengan segala sesuatu yang
kita kenal dari alam semesta ini. Secara lahiriah, untuk transformasi dari
satu titik ke titik yang lain tidak memerlukan waktu yang cukup. Berbeda
dengan cahaya yang memiliki gerakan tercepat dalam dunia materi ini. Akan
tetapi, ketika mengalami transformasi dari satu titik ke titik yang lain, ia
masih memerlukan waktu jutaan tahun lamanya. Namun, gravitasi bumi dapat
berpindah dalam satu detik dari satu titik bumi ke titik bumi yang lain dalam
waktu yang cukup pendek dan atau sekurang-kurangnya kecepatan yang
dimilikinya lebih singkat dari yang kita dengar hingga kini.
Kekuatan macam apakah yang memiliki efek seperti ini? Bagaimanakah hakikat kekuatan
ini? Tidak ada seorang pun yang memiliki jawaban yang jelas atas
pertanyaan-pertanyaan ini.
Kita hanya memiliki pengetahuan global tentang kekuatan gravitasi ini sebagai
salah satu makhluk. Kita tidak memiliki pengetahuan tentangnya secara detail.
Bagaimana kita dapat menguak ihwal Pencipta dunia materi dan hakikat
metafisis yang merupakan wujud nir-batas dan dapat mengetahui kedalaman
dzat-Nya?
Akan tetapi, dengan kondisi seperti ini pun kita dapat menyaksikan bahwa Dia
selalu hadir, mengawasi setiap tempat dan bersama setiap wujud di alam
semesta ini.
Seratus ribu jelmaan yang keluar dari-Mu,
Seratus ribu pandangan aku menyaksikan-Mu
4. Apakah Pencipta juga Memiliki Pencipta?
Galibnya, dalam pembahasan ma'rifatullah, soal seperti ini dilontarkan oleh
orang-orang yang baru menelusuri padang luas ini. Mereka akan bertanya,
"Jika Anda mengatakan bahwa segala sesuatu memiliki pencipta, kini
katakan kepada kami siapakah pencipta Tuhan itu?"
Anehnya, acapkali soal seperti ini terurai pada sebagian ucapan-ucapan filsuf
Barat yang menandakan hingga batas mana mereka berbuat dan berstatus Awal
dalam pembahasan filsafat .
Bertrand Russel, salah seorang filsuf ternama Inggris dalam bukunya "Why
I am Not a Cristian?" (Mengapa Aku Bukan Seorang Kristian?)" berkata,
"Aku beriman kepada Tuhan ketika aku berusia muda. Aku meyakininya
melaui argumen kausalitas yang terbaik. Dan Aku melihat segala sesuatu yang
ada di muka bumi ini memiliki sebab. Apabila mata-rantai sebab itu kita kaji,
pada akhirnya kita akan sampai kepada sebab awal dan aku menamai sebab awal
ini sebagai Tuhan. Akan tetapi setelah itu, aku meninggalkan kepercayaan ini.
Lantaran aku berpikir; apabila segala sesuatu harus memiliki sebab dan
pencipta, maka Tuhan juga harus memiliki sebab dan pencipta."
Namun, kita tidak berpikir bahwa seseorang yang paling tidak mengenal
masalah-masalah filsafat yang berhubungan dengan pembahasan ma'rifatullâh dan
dunia metafisika, akan bungkam dalam menjawab pertanyaan ini.
Pembahasan ini sangatlah jelas. Ketika kita berkata bahwa segala sesuatu
memiliki pencipta, maksudnya adalah setiap sesuatu yang terjadi (hâdits) dan
mumkin al-wujud. Dengan demikian, kaidah universal ini hanya berlaku pada
sesuatu yang sebelumnya tidak ada dan kemudian ada, bukan pada wâjib al-wujud
yang bersifat azali (tidak bermula) dan abadi (tidak berakhir). Satu wujud
azali dan abadi tidak memerlukan pencipta sehingga kita bertanya-tanya;
siapakah pencipta Sang Pencipta? Dia berdiri sendiri (qâ`im) atas Dzat-Nya
sendiri. Dia tidak pernah tiada sebelumnya sehingga memerlukan sebab untuk
diwujudkan.
Dengan kata lain, wujud Tuhan berasal dari wujud-Nya sendiri, bukan berasal
dari luar Dzat-Nya. Dia tidak diciptakan sehingga ada pencipta-Nya. Ini dari
satu perspektif.
Dari perspektif lain, sebaiknya Tuan Russel dan orang-orang yang sepaham
dengannya mengajukan soal ini kepada diri mereka sendiri' yakni, dalam
ungkapan "apabila Tuhan memiliki pencipta..", kata pencipta akan
terulang. Apabila kita bertanya bahwa pencipta-nya pencipta itu siapa, niscaya
akan berlanjut begitu seterusnya; dimana setiap pencipta memerlukan
penciptanya entah sampai kapan. Inilah tasalsul (vicious circle) yang tak
berujung, dan ketidakabsahan tasalsul ini sangatlah jelas.
Dan apabila kita sampai pada wujud yang keberadaanya berasal dari diri-Nya
sendiri (mandiri) dan tidak memerlukan pencipta (baca: wâjib al-Wujud),
Dialah Tuhan Sang Pencipta seluruh semesta raya ini.
pembahasan ini juga dapat diterangkan dengan pendekatan lain,. Ketika kita
bukan seorang mukmin dan sepaham dengan apa yang diyakini oleh kaum
materialis, kita tetap harus menjawab soal ini. Dengan menerima hukum
sebab-akibat, segala sesuatu di alam ini adalah akibat dari sebab yang lain.
Sementara soal serupa yang kita ajukan kepada orang-orang mukmin, juga kita
ajukan kepada seorang materialis; bahwa sekiranya segala akibat adalah
materi, lalu apa yang menjadi sebab wujudnya materi?
Mereka juga tidak memiliki alternatif lain dalam menjawab soal ini. Mereka
akan berkata, "Materi azali yang senantiasa ada dan akan tetap ada.
Materi azali ini tidak memerlukan sebab. Dengan ungkapan lain, ia adalah
wâjib al-Wujud."
Atas dasar ini, kita melihat seluruh filsuf dunia, baik Ilahi atau materialis
meyakini satu wujud azali. Suatu wujud yang tidak memerlukan pencipta dan
senantiasa ada. Perbedaannya adalah kaum materialis beranggapan bahwa sebab
awal ini hampa ilmu, pengetahuan, akal dan nalar. Dan mereka percaya, sebab
awal ini memiliki jasad, terikat di dalam ruang dan waktu. Akan tetapi, bagi
para fisuf Ilahi, Sebab Awal ini memiliki ilmu, kehendak dan tujuan. Mereka
tidak percaya bahwa Sebab Awal ini memiliki jasad, dan terikat di dalam ruang
dan waktu. Ia berada di atas ruang dan waktu.
Oleh karena itu, berlawanan dengan anggapan Tuan Russel yang berpandangan
bahwa sekiranya ia mengucapkan selamat tinggal kepada orang-orang mukmin dan
berada di barisan kaum materialis dan kabur dari cengkaraman soal ini,
pertanyaan itu tidak akan membiarkannya lolos. Karena, kaum materialis juga
percaya kepada hukum sebab-akibat dan berkata bahwa setiap peristiwa memiliki
sebab.
Dengan demikian, solusi untuk memecahkan masalah ini adalah kita harus
memahami dengan baik perbedaan antara wujud hâdits dan azali, mumkin al-wujud
dan wâjib al-wujud, sehingga kita mengetahui bahwa yang memerlukan pencipta
adalah wujud-wujud yang hâdits (yang terjadi) dan mungkin. Maksudnya ialah
bahwa setiap yang tercipta, memerlukan pencipta. Namun, yang tidak tercipta,
tidak akan memiliki pencipta.
5. Bagaimana Kita Beriman kepada Tuhan Yang Gaib?
Keberatan yang kerap dilontarkan oleh kaum materialis terhadap kaum mukmin
adalah bagaimana mungkin manusia dapat menerima dan beriman kepada wujud yang
tidak dapat diindra. Anda berkata bahwa Tuhan tidak memiliki jasad, tidak
bertempat, tidak memiliki ruang, tidak bercorak dan …. Dengan perantara apa
wujud seperti ini dapat diindra? Kami beriman kepada sesuatu yang dapat
diindra. Wujud yang tidak dapat diindra adalah wujud yang sama sekali tidak
wujud (ada).
Keberatan ini dari dapat dibahas dari beberapa sisi:
1. Sebab-sebab utama alasan penentangan kaum Materialis terhadap subjek
ma'rifatullah tampak secara sempurna dalam masalah ini.
Salah satunya adalah kepongahan sains mereka dan menganggap ilmu-ilmu alam
(baca: sains) sebagai superior atas seluruh realitas, seperti halnya
mengkomparasikan segala sesuatu dengan ukuran ilmu-ilmu itu dan membatasi
sarana pemahaman pada ebab-sebab natural dan material. Kita bertanya kepada
mereka, apakah ranah aktifitas dan penetrasi seluruh ilmu alam memiliki
batasan atau tidak?
Jelas bahwa jawaban atas soal semacam ini akan bernada afirmatif. Karena,
wilayah ilmu-ilmu alam adalah seluruh wujud terbatas yang bersifat material,
dan selesai. Oleh karena itu, bagaimana mungkin sesuatu yang tidak terbatas
dapat diindra oleh instrumen-instrumen alam.
Pada dasarnya, Tuhan dan seluruh wujud metafisis berada di luar wilayah alam.
Sesuatu yang telah keluar dari wilayah natural, sekali-kali tidak dapat
diindra dan ditafsirkan oleh sebab-sebab natural. Wilayah metafisika bersifat
tidak terbatas dengan dirinya sendiri dan tidak dapat dikomparasikan dan
dibandingkan ukuran dengan ilmu-ilmu alam, seperti halnya cabang dan
spesifikasi beragam ilmu-ilmu alam itu sendiri. Setiap jenis ilmu alam,
masing-masing memiliki instrumen dan ukuran-ukuran tersendiri yang tidak
relevan dengan ilmu alam yang lain. Ilmu astronomi, anatomi, dan mikrologi,
berbeda instrumen-instrumen pengkajiannya.
Seorang ilmuwan materialis tidak akan pernah memberikan izin kepada seseorang
untuk bertanya kepada seorang astronom, "Coba Anda buktikan salah satu
mikroba dengan menggunakan instrumen-instrumen dan alat kalkulasi
astronomi!" Demikian pula kita tidak layak berharap dari seorang
spesialis mikroba untuk dapat menyingkap bintang-bintang senja dengan
menggunakan instrumen-instrumen mikrologi. Karena, mereka masing-masing hanya
dapat digunakan dalam wilayah spesialisasi ilmunya dan tidak dapat digunakan
di luar wilayah spesialisasi dan aplikasinya. Mereka tidak dapat berkata
positif (iya) atau negatif (tidak) dalam menyampaikan pendapat. Oleh karena
itu, bagaimana kita mengetahui kebenaran ilmu-ilmu alam dalam membahas
sesuatu yang berada di luar wilayah naturalnya, dengan pertimbangan bahwa
wilayah penetrasinya terbatas pada alam, efek dan spesialisasinya saja.
Pada akhirnya, kebenaran yang dapat diyakini oleh seorang ilmuwan ilmu alam
adalah sebatas ia dapat mengatakan bahwa, "Dalam masalah metafisika, aku
memilih diam, karena masalah itu berada di luar batas pengkajian dan
instrumen wilayah kerjaku. Bukan aku mengingkarinya."
Auguste Comte, salah seorang founding fathers (pendiri) aliran Empirisme
dalam bukunya Beberapa Kalimat Tentang Filsafat Empiris berkata, "Karena
kita tidak memiliki informasi sejak awal tentang seluruh wujud, kita tidak
dapat mengingkari adanya wujud sebelum atau sesudahnya, sebagaimana kita juga
tidak dapat membuktikannya".
Pendeknya, Empirisme menghindar dari menyampaikan setiap bentuk pendapat
karena ketidaktahuan mereka dalam masalah ini. Demikian juga, ilmu-ilmu
cabang yang menjadi fondasi Empirisme harus menghindarkan diri dari bentuk
penilaian atas awal dan akhir seluruh wujud. Maksudnya, kami tidak
mengingkari ilmu dan hikmah Ilahi serta wujud-Nya, dan kami menjaga diri
dalam netralitas; antara penafian dan pembuktian.
Maksud kami adalah, bahwa alam metafisika tidak dapat disaksikan melalui
jendela ilmu-ilmu alam. Menurut perspektif Ilahiyah (orang-orang mukmin),
secara mendasar bahwa Tuhan yang dapat dibuktikan melalui sebab dan instrumen
natural adalah bukan Tuhan.
Karena, sesuatu yang dapat dibuktikan oleh sebab-sebab natural, berada di
dalam jangkauan materi dan spesialisasi ilmu-ilmu alam. Dan bagaimana wujud
materi dan natural dapat diyakini menjadi pencipta materi dan alam?
Dasar keyakinan orang-orang beriman adalah bahwa Tuhan bebas dari segala
bentuk materi dan aksiden-aksiden materi. Dan sekali-kali Ia tidak dapat
dicerap melalui instrumen-instrumen materi.
Oleh karena itu, jangan pernah kita menantikan bahwa Pencipta seluruh wujud
semesta dapat dilihat pada kedalaman langit melalui alat mikroskop dan
teleskop. Pengharapan dan penantian ini adalah tidak pada tempatnya."
2. Tanda-tanda-Nya
Secara umum, instrumen-instrumen yang digunakan untuk mengenal setiap wujud
di jagad ini adalah melalui efek-efeknya. Kita hanya dapat mengenal setiap wujud
dari efek-efek yang ditimbulkan dari setiap wujud tersebut, termasuk
wujud-wujud yang dapat kita cerap melalui persepsi dan indra. Wujud-wujud ini
juga kita kenal melalui efek-efeknya. Karena, tidak satu pun wujud yang tidak
akan pernah masuk ke dalam pikiran kita, dan mustahil otak kita menjadi wadah
seluruh wujud.
Sebagai contoh, sekiranya Anda hendak menentukan sebuah benda dengan mata dan
mencerap wujud benda tersebut, pada mulanya, Anda letakkan mata Anda di
hadapan benda yang telah Anda perkirakan letaknya, cahaya memendar di
atasnya, dan dari bola mata, pendaran-pendaran cahaya itu akan terefleksi
pada area khusus yang bernama retinoscopy. Kemudian, syaraf-syaraf indra
penglihatan menangkap cahaya tersebut, dan sampai kepada otak dan lalu benda itu
dapat dicerap oleh manusia.
Apabila hal itu dilakukan dengan jalan meraba, dengan syaraf di bawah kulit,
benda tersebut memberikan informasi kepada otak lalu dicerap oleh manusia.
Kemudian pencerapan satu benda dari efeknya (warna dan suara) memberikan efek
kepada indra peraba dan manusia tidak akan pernah meletakkan benda tersebut
pada kapasitas otaknya. Dan sekiranya tidak ada warna, dan atau pencerapan
tidak bekerja, ia tidak akan pernah mengenal benda tersebut.
Uraian ini harus kita sempurnakan. Satu efek telah memadai untuk dapat
mengenal satu wujud,. Umpamanya, untuk dapat mengetahui apa yang pernah
terjadi sepuluh ribu tahun silam pada suatu titik bumi, cukup kita menyingkap
satu cerek keramik atau satu senjata yang telah berkarat dan mengadakan pengkajian
mendalam atas efek-efek ini. Dari efek ini kita dapat memahami
keadaan-keadaan dan desain kehidupan serta pemikiran masyarakat kala itu.
Dengan memperhatikan bahwa setiap wujud materi atau non-materi dapat dikenal
melalui efek-efeknya, dan bahwameneliti satu efeknya akan memadai untuk
mengenal satu wujud, lalu apakah seluruh wujud -yang penuh dengan misteri dan
rahasia yang menakjubkan di seluruh penjuru alam semesta yang membentang ini-
tidak memadai bagi kita untuk dapat mengenal Tuhan?
Untuk dapat mengenal satu wujud, cukup bagi Anda meneliti satu efek darinya,
dan itu sudah memadai. Dari satu cerek keramik, setidak-tidaknya bagian dari
kondisi masyarakat ribuan tahun silam dapat diketahui. Sekarang kita memiliki
efek yang tidak terbatas, wujud yang tidak terbatas, dan sistem yang tidak
terbatas. Apakah segala efek yang ada ini tidak memadai bagi kita untuk dapat
mengenal-Nya?! Anda saksikan pada setiap sudut jagad terdapat tanda-tanda
kekuasaan dan ilmu-Nya. Masihkah Anda berkata, "Kami tidak melihatnya
dengan mata, kami tidak mendengarnya dengan telinga, kami tidak
menyaksikannya melalui pisau anatomi, dengan teleskop!" Memangnnya mata
diperlukan untuk segala sesuatu?
3. Kasat mata dan non-kasat mata
Untungnya alat yang diberikan oleh ilmu-ilmu sains adalah alat terbaik untuk
menafikan keyakinan kaum materialis.
Kalau dulu seorang ilmuwan dapat berkata, "Kami tidak dapat menerima
sesuatu yang tidak dapat dicerap oleh panca indra. Namun, berdasarkan
penemuan-penemuan ilmiah yang sedemikian berkembang telah terbuktikan, bahwa
wujud yang bersemayam di alam semesta adalah tak terindra. Berdasarkan
penelitian, derajat yang kini telah dapat dicerap semakin bertambah. Dalam
relung alam semesta, karena banyaknya wujud yang tidak dapat dicerap indra, wujud-wujud
yang telah dicerap -dibandingkan dengan wujud-wujud yang belum dapat dicerap-
bernilai kosong.
Sebagai contoh, beberapa kasus di bawah ini kita renungkan bersama:
a. Dalam ilmu fisika, para ahli fisika berpendapat bahwa dasar warna tidak
lebih dari tujuh warna. Warna yang pertama adalah merah dan yang terakhir
adalah warna ungu. Akan tetapi, di balik itu semua terdapat seribu satu macam
warna. Kita tidak dapat mencerap seribu satu macam warna ini. Dan mereka
beranggapan bahwa beberapa hewan barangkali dapat melihat warna-warna
tersebut.
Sebab perkara ini adalah jelas. Karena, warna dapat terlihat dari efek
gelombang cahaya. Artinya, cahaya matahari dengan cahaya-cahaya yang lain
tersusun dari warna-warni yang beraneka ragam. Aneka warna-warni inilah yang
membentuk warna putih. Lantaran cahaya ini berpendar menyinari benda, benda
yang tersinari tersebut mencerna bagian-bagian yang beragam dari warna-warni
pada dirinya. Dan sebagian lainnya dipantulkan. Warna-warni yang dipantulkan
ini adalah warna-warni yang kita saksikan. Oleh karena itu, benda-benda yang
berada dalam kegelapan tidak memiliki warna.
Perubahan dan keragaman warna dihasilkan dari kuat dan lemahnya gelombang
cahaya. Artinya, apabila gelombangnya kuat hingga mencapai 458 ribu miliar per
detik, akan terbentuk warna merah. Dan pada gelombang 727 ribu miliar per
detik, akan terbentuk warna ungu. Di antara warna ini, terdapat warna-warni
yang beragam jumlahnya yang tidak dapat kita cerap dan cerna.
b. Gelombang suara yang dapat kita tangkap hanya pada 16 frekuaensi per detik
hingga 20.000 frekuensi per detik. Lebih atau kurang dari hitungan ini,
berapa pun jumlahnya, tidak tertangkap oleh pendengaran kita.
c. Gelombang cahaya yang dapat kita cerap dalam setiap detik adalah terhitung
dari 458 ribu miliar hingga 727 ribu miliar. Lebih dan kurang dari hitungan
ini, berapa pun jumlahnya, tidak dapat kita lihat.
d. Kita semua tahu bahwa bilangan makhluk yang dapat dilihat melalui kaca
pembesar (virus dan bakteri) adalah lebih banyak dari jumlah manusia.
Makhluk-makhluk tersebut tidak dapat dicerap oleh mata tanpa menggunakan
mikroskop dan kaca pembesar. Alangkah banyaknya makhluk yang paling kecil
yang hingga kini belum diketahui dan disingkap oleh sains.
e. Satu atom, dengan strukturnya yang tipikal, dan putaran elektron-elektron
atas lingkaran proton-proton, dengan kekuatan raksasanya, tidak dapat dicerap
dan dilihat oleh setiap indra. Dan setiap benda-benda alam natural terbentuk
dari atom. Debu-debu yang kita lihat dengan susah-payah di udara terbentuk
dari ribuan atom. Para ilmuwan yang berbicara ihwal atom, pendapat mereka
tidak melampaui batas-batas teori dan asumsi, dan sementara itu, tidak
seorang pun yang menafikan pendapat mereka itu.
Oleh karena itu, pendapat yang menyatakan bahwa tak terindranya sesuatu
adalah dalil atas ketiadaannya, sama sekali tidak dapat dijadikan alasan.
Alangkah banyaknya bilangan benda-benda indrawi yang memenuhi jagad ini dan
indra kita tidak mampu mencerapnya.
Sebagaimana bahwa sebelum penemuan atom atau wujud-wujud yang memerlukan lup
atau kaca pembesar untuk melihatnya (seperti virus dan bakteri), setiap orang
tidak berhak menafikan keberadaan wujud-wujud tersebut. Alangkah banyaknya
bilangan wujud lain yang masih luput dari pandangan kita. Dan sains hingga
kini masih belum dapat menguaknya untuk menyingkap rahasianya. Akal kita
sekali-kali tidak memperkenankan kita -dalam kondisi seperti ini
(keterbatasan sains dan impotensinya dalam mencerap wujud-wujud tersebut)-
untuk berpendapat; menafikan atau menetapkannya.
Konklusinya adalah jangkauan indra dan instrumen-instrumen alam bersifat
terbatas, dan kita tidak dapat membatasi semesta ini hanya pada indra dan
instrument-instrumen tersebut.
Jangan sampai Anda berpikiran bahwa sebagaimana elektron dan proton-proton
atau sebagian warna telah tersingkap dengan peralatan ilmiah dewasa ini, dan
dengan kemajuan sains, kita akan dapat menyingkap segala ketidaktahuan,
mungkin suatu saat alam metafisika dapat disingkap dengan instrumen-instrumen
dan sebab-sebab natural!
Hal ini tidak mungkin dapat terwujud. Karena -sebagaimana telah kami
jelaskan- dunia metafisika tidak dapat ditempuh melalui jalan-jalan natural
dan material. Secara umum, jalan-jalan natural dan material ini keluar dari
ranah aktifitas sebab-sebab materi.
Maksudnya, sebelum menyingkap dan mencerap wujud-wujud ini, tidak sah bagi
kita untuk mengingkarinya dan kita tidak berhak untuk menghukuminya dengan
alasan bahwa kita tidak dapat mencerapnya. Sebab-sebab natural tidak akan
menunjukkan wujud-wujud ini kepada kita, sains tidak dapat membuktikannya
kepada kita, dan...(bla..bla..bla, -AK) Kita mengetahui dengan niscaya
ketidakmampuan sebab-sebab natural dan sains ini. Demikian juga dalam
hubungannya dengan dunia metafisika, bahwa kita tidak dapat menafikannya.
Oleh karena itu, kita harus melepaskan metode-metode salah ini, sambil dengan
teliti menelaah dalil-dalil rasional orang-orang mukmin. Baru setelah itu
kita menyampaikan keyakinan kita. Niscaya akan mendapatkan konklusi yang
positif.
|
|
|
|
|
No comments:
Post a Comment